153. Cawan Jiwa

4 1 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Angin menerbangkan helaian Arlia, gadis bermata hazel itu menatap ke atas. Matahari bersinar seolah merayakan azam tanda mimpi buruk dunia berakhir. Sebelah lengannya naik mengusap keringat yang mengalir dari pelipis, kesejukan nyatanya tidak membantu banyak. Ia mengembuskan napas, menyandarkan punggung pada pilar besar di belakang.

Di hadapan gadis hazel itu terbentang halaman luas istana yang diisi tubuh-tubuh sekarat atau sudah tak bernyawa. Satu demi satu yang terluka diberi tindakan oleh tabib yang berkumpul, sementara yang lainnya dirujuk ke rumah sakit di seluruh kerajaan. Lalu, ditatapnya sosok-sosok tak bergerak itu dengan datar. "Ah." Mereka orang-orang yang tidak beruntung.

Berjejer, mayat demi mayat dibaringkan terselimuti kain dari ujung kepala sampai kaki. Semalam mereka masih bertarung bersama, meneriakkan semangat berjuang. Tapi sekarang jiwa-jiwa berkobar itu padam. Mereka pahlawan, pembebas kutukan dan rasa takut. Arlia mendapati gadis berambut perak terbaring di antara mereka, di sekelilingnya berdiri banyak orang.

Orang-orang itu menangis, menyebut namanya seolah-olah Zhura akan bangun untuk menyahut. Inara dan Valea tertangkap penglihatan Arlia dari sela-sela kerumunan, mereka berdua berlinang air mata memeluk tubuh dingin itu. Arlia mendengkus lirih ketika perasaan buruk datang. Ia tidak bisa memahami seperti apa Zhura hingga setelah mati pun ia masih menarik banyak perhatian. Tunggu, sepertinya ia mengerti. Arlia luruh, dia menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan.

Bertarung bersama duka lara yang menggema.

Seorang pemuda lewat. Langkahnya berat karena letih, tapi ia berusaha untuk bergerak cepat. Telinga lancipnya naik saat yang mengedar ke seluruh istana. Ramia mengembuskan napas gusar. Kaki-kaki lemahnya sudah ia bawa berputar-putar ke segala arah, tapi sosok yang ia cari tidak juga terlihat.Takut, sedih, gelisah, bingung, dan banyak lagi, pemuda elf itu tertelan perasaan campur aduk.

Matahari bersinar tepat di atas kepala, beberapa jam berlalu sejak seluruh pasukan kembali ke Silvermist. Ia merasakan nyeri di sekujur tubuh, tapi ketidaktahuan atas keberadaan tuannya justru yang mengkhawatirkan. Setelah menyerahkan Zhura, Azhara tidak lagi terlihat. Dia menghilang. Perang dan mimpi buruk memang sudah berakhir, tapi kekacauannya justru tertinggal. Semuanya menjadi membingungkan.

Sementara itu, jauh di tempat Azhara berada, pemuda itu sedang mengikuti pria bertopeng di depannya. Dia berbelok ke kanan jalan terjal dengan pohon-pohon besar dan tanaman liar. Dari balik tudung, mata birunya melihat situasi di sekitar. Hutan. Beberapa menit berlalu, mereka keluar dari pepohonan rindang. Langkah kaki berlanjut ke bangunan yang berdiri menjulang di antara yang lain.

Sebuah kastel besar.

Kerlipan cahaya membuat Azhara menengok ke samping. Jendela-jendela di dinding batu terbuka. Bangunan kastel yang berada di atas bukit membuat semua wilayah terlihat. Pemuda itu menatap dunia roh bawah yang dipenuhi penerangan meskipun di siang hari. Ini hal wajar. Langit di dunia arwah atau roh selalu gelap, tidak peduli siang atau pun malam. Tidak ada awan maupun bintang, apalagi sinar matahari. Tentu saja, para roh akan musnah jika terpapar matahari.

"Dia ada di sini," tutur pria itu mengantar Azhara pada seseorang di dalam kastel.

Azhara masuk ke ruangan besar dengan kubah melingkar yang dilukis sayap burung hitam raksasa. Ruangan seluas dua puluh kali tujuh belas meter itu, ada banyak patung gagak bertubuh manusia yang berdiri dengan sikap bertarung. Sekujur tubuhnya dipahat dengan luar biasa seolah-olah batu itu adalah bulu asli. Patung-patung itu menggenggam cermin di tangan kanan dan rantai di tangan kiri. Azhara pernah mendengar tentang makna di balik itu.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang