Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.
.
."Biar aku ingatkan, ini bukan sekadar tugas gadis-gadis untuk mendapatkan darah suci lagi. Perkara ini sudah berubah menjadi peperangan melawan pihak pemboikot kerajaan."
Mereka bertiga berjalan di jalur bebatuan dengan tanaman-tanaman berduri tajam di sisinya. Satu langkah keliru, tamat riwayat hidup.
"Apa kau lelah?" Zhura bertanya dari balik punggung pemuda di hadapannya. Sebenarnya hanya dua orang yang berjalan karena Ramia memaksa untuk menggendong Zhura.
Pemuda tu menggeleng, "Kau tidak begitu berat. Soalnya daripada saat pertama bertemu, tubuhmu yang sekarang lebih kecil. Kuharap kau makan dengan baik setelah ini berakhir."
"Ya, pasti," sahut Zhura mengangguk.
"Aku masih tidak habis pikir, dalam keadaan seperti ini kau masih mau pergi ke sana. Maksudku, Yiwen juga memilih berhenti dari perjalanan."
"Dia perlu mendapat perawatan. Lukanya sangat parah. Sementara aku masih bisa bergerak. Setidaknya selain kaki kananku, tubuhku baik-baik saja. Kalau aku berhenti, perasaan kecewa saat aku tahu ada kesempatan, tapi tidak aku gunakan, aku tidak menyukainya." Ia mengeratkan pegangan pada bahu Ramia karena jalan yang mereka lalui menanjak. Suasana hutan kembali, kicauan burung-burung dan hewan lain terdengar dengan jelas, Zhura menyukainya.
Ketenangan hinggap karena tidak seorang pun di antara mereka yang kembali membuka suara. Senyap. Hanya saja ketenangan yang belum lama datang ternyata pergi lebih cepat dari yang ia bayangkan. Suasana berubah dalam sekejap karena dentuman besar terjadi. Suaranya berasal dari arah jam tiga, tujuan di mana mereka mengarahkan langkah kaki. Ramia segera mempercepat larinya melaju ke sumber suara. Valea gesit mengikuti di belakang.
"Yang tadi itu apa?!" seru gadis merah itu.
Zhura melihat dengan jelas raut panik di wajah Ramia yang dibanjiri peluh saat pemuda elf itu menoleh. "Kalian mendengarnya, 'kan? Suara itu datang dari medan pertempuran. Seharusnya kita masih cukup jauh, tapi suaranya sangat keras. Kuharap tidak ada hal buruk yang terjadi di sana."
"Jarak kita dua kilometer. Jika perkiraanku tidak salah, maka terjadi ledakan besar di sana!" timpal Valea.
Tubuh Zhura sangat terguncang. Tidak hanya karena gerakan Ramia yang berlari cepat, tapi juga karena getaran pada tanah. Hutan terasa seperti lapisan karet yang bergoyang saat disentuh. Bukan hanya dirinya, Ramia dan Valea yang menapak langsung pada tanah juga lebih dulu merasakannya. Jantungk Zhura tiba-tiba dipaksa berdenyut dua kali lipat. Ia sadar bahwa dirinya sedang menunjukkan reaksi ketakutan saat Valea kembali membuka suaranya.
"Kalin tahu, firasatku berkata ledakan tadi bukanlah yang terburuk. Ada sesuatu yang jauh lebih kuat, dan aku yakin dia pasti sangat merepotkan."
Di tempatnya, Inara berdiri kaku dengan wajah pucat. Sebelumnya mata gelapnya tertutup untuk nenerawang, kini itu kembali terbuka. Tidak berniat jumawa, tapi jika para prajurit atau orang lain yang mempunyai kemampuan seperti dirinya, mungkin saja mereka akan langsung berlari tunggang langgang. Tidak banyak orang yang bisa menahan hawa intimidasi yang sangat besar dari kejauhan. Bahkan gadis itu mati-matian membuat raut datar hanya agar mental orang-orang tetap positif.
"Inara, kau baik-baik saja?"
Telinga lancipnya menangkap suara Aryana. Pemuda yang tergopoh-gopoh mendekat padanya itu kini memakai baju pelindung berwarna merah berbahan baja, sama seperti zirah yang orang-orang kenakan. "Ledakan tadi sangat besar, mungkinkah itu gertakan?" tanyanya mengamati keadaan sekitar.
"Saya pikir bukan." Ucapan Inara terhenti saat ia kembali menangkap hawa menakutkan dari kejauhan. Seakan melawan hukum alam, peluh keluar begitu deras dari kening gadis itu meskipun tempatnya berdiri sekarang adalah padang es. Pada saat itu, Aryana pun menyadari perubahan raut Inara.
"Inara?" panggil pemuda itu.
Suara terompet terdengar menguncang dataran. Seolah diperintah, angin pun berderu kencang menerbangkan salju ke udara. Pandangan semua orang dipenuhi putih yang dinginnya menusuk bola mata. Inara memeluk tubuhnya sendiri yang hampir membeku. Satu-satunya yang masih dapat dia rasakan adalah detakkan jantungnya yang semakin tak karuan. Hal yang ia takutkan akan dimulai.
"Musuh terlihat di arah jam dua belas!"
Seruan seorang prajurit pengawas menggugah kewaspadaan semua orang. Ribuan pasukan berzirah yang sudah masuk ke dataran terlihat memasuki portal dengan wajah tegas. Gadis-gadis terlihat menegakkan punggungnya, sementara Jenderal Dima terlihat sibuk mengatur pasukan dengan suara lantang. Langkah-langkah kaki berat dan seirama menyatukan bunyi-bunyian di tempat, tanda para prajurit mulai menempati perannya di medan.
"Prajurit petarung jarak jauh siaga! Cepat! Cepat! Cepat!" teriak Jenderal Dima yang kelimpungan berlari kesana-kemari. Untuk seorang jenderal, dia terbiasa mengeluarkan suara dengan nada tinggi, mengingat situasi dan kondisi di tempat pertempuran yang biasanya riuh ramai.
Inara menatap pasukan baja di depannya, "Belum semua prajurit masuk, tapi musuh sudah mengeluarkan tanda. Sekarang apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?"
"Inara," panggil Aryana mengalihkan perhatian Inara dari pemandangan riuh itu. "Bergabunglah bersama gadis-gadis lain di belakang. Kalau kau bersedia, pantau kondisi ini sesuai kemampuanmu. Aku dan Jenderal Dima akan berada di depan bersama prajurit pertahanan! Pastikan kalian aman!"
"Tunggu!" Mendengar interuksi Pangeran Aryana, membuat Inara merasa gugup.
"Jangan khawatir, Inara. Ini akan berakhir dengan mudah, kita akan baik-baik saja. Sekarang bergabunglah dengan gadis-gadis lain, dan berusahalah untuk terlibat pertarungan seminim mungkin!"
"Saya mengerti," ujar gadis elf itu tersenyum kecil.
"Sekarang pergilah!" suruhnya lalu berlari bergabung bersama pasukan.
Melewati tubuh-tubuh tinggi dan tegap, Inara berlari ke belakang di mana gadis-gadis lain berkumpul. Empat belas gadis suci lain tengah berdiri menunggu interuksi lanjutan dari para jenderal. Di dekatnya, Vilois, Luther, dan Pangeran Asyaralia terlihat sibuk membuka portal bersama ratusan pemuda lain. Ada ratusan trebuchet dan senjata besar sudah rapi ditata di sisi lapangan. Karena jumlahnya yang banyak, mereka yang diatur memanjang memakan tempat hingga ratusan meter.
"Inara, apa yang ada di depan sana?!" Seorang gadis suci berambut pirang kecokelatan bertanya.
Inara mengembuskan napasnya, tersenyum menenangkan, "Jangan khawatir, akan lebih baik jika kita tetap tenang. Keadaan di sini juga semakin riuh, kalau kalian tidak keberatan tolong bantu aku mengatur para prajurit yang baru datang. Tapi jangan pergi terlalu jauh, kita harus selalu berdekatan. Kalian mengerti, 'kan?"
"Baik, Inara!"
Gadis-gadis suci mulai menyebar dengan jarak dekat untuk menjelaskan situasi dan posisi prajurit yang baru masuk, atau sekadar menawarkan bantuan pada mereka. Inara sendiri mulai memasang baju zirahnya seperti yang sudah gadis-gadis suci lakukan. Di kedua tangannya, dipersiapkan sebuah pedang dengan bilah putih. Setelah memastikan persiapan dirinya lengkap, gadis elf itu berjalan ke arah prajurit-prajurit baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...