18. Lailla

120 59 11
                                    


"Semua gadis sudah mengirimkan surat keterangan identitas mereka pada kerajaan. Namun, aku tidak melihat ada surat identitas dengan namamu. Hanya kau yang belum memberikannya. Di mana surat itu?"

Zhura diam membatu terjebak bayangan dirinya yang diseret keluar oleh para prajurit berwajah seram, lalu mereka akan mengaraknya keliling kerajaan untuk dieksekusi di depan warga. Tidak ada jawaban atau ide apapun yang datang membuatnya hanya bisa membisu bahkan saat ia sadar bahwa itu justru akan menarik kecurigaan orang lain.

"Mohon ampuni dia, Yang Mulia." Suara seseorang terdengar, Zhura sontak menoleh ke samping. Dirinya hampir meloncat begitu menyadari pemilik suara itu adalah Valea yang kini duduk bersimpuh di sisinya. Belum juga Zhura berhasil keluar dari mode terkejut, gadis merah itu tiba-tiba menyorotnya dengan pandangan aneh yang langsung membuat ubun-ubun Zhura keheranan.

Dengan wajah polos yang terlihat seperti malaikat tak berdosa, Valea menyerahkan selebaran berwarna cokelat pada Raja Amarhaz. "Berikut ini adalah surat keterangan identitas Lailla, Yang Mulia," ujarnya.

"Bagaimana surat identitasnya bisa ada padamu?" Tepat setelah Raja Amarhaz menyelesaikan kalimatnya, Zhura mendengar suara langkah kaki lain mendekat dari arah belakang.

"Mohon ampuni teman kami, Yang Mulia," pinta Inara datang dan ikut berlutut di sisi Zhura.

"Hei, ada apa dengan kalian?" bisik gadis zamrud itu kebingungan setengah mati.

"Lailla adalah teman dekat kami, jadi kami bisa menjamin dia tidak mempunyai niat buruk apapun karena sebenarnya ia hanya lalai. Lailla mengidap penyakit lupa. Suratnya sempat hilang di tempat ritual, beruntung kami berhasil menemukannya. Karena khawatir surat ini akan hilang lagi, jadi saya dan teman saya memutuskan untuk menyimpannya," ujar Valea berperan sangat meyakinkan. Untuk mendukung aksi temannya, Inara mengangguk membenarkan perkataan gadis merah.

Gadis itu mengulas senyum seraya mengumpat dalam hati. Setelah terjebak di dunia aneh yang dipenuhi makhluk mengerikan, sekarang dirinya dibilang berpenyakit. Dosa apa yang ia lakukan hingga nasibnya begitu merepotkan. Suara cekikikan terdengar jelas dari belakang. Zhura memberanikan diri meliriknya hanya untuk menemukan tatapan-tatapan cemooh. Gadis-gadis suci yang menghinanya menggunakan plat mengkilap berbahan perak di pinggang mereka, para merak. Status yang tinggi mungkin membuat pandangan mereka pada Zhura begitu rendah.

Seorang pria berjubah biru tua berujar, "Lalu kenapa kau tidak mengumpulkannya saat sampai di istana?"

Inara bersujud hingga kepalanya hampir menyentuh lantai. "Kami hendak mengumpulkannya, tetapi luka kami sedikit lebih parah hingga tidak memungkinkan untuk bergerak. Anda bisa memastikannya dengan tabib yang merawat kami. Mohon ampuni kesalahan kami, Yang Mulia," ucapnya.

"Benarkah yang mereka katakan? Apa ini sungguh surat identitasmu?" Raja Amarhaz memperhatikan surat di tangannya. Tampak rambut raja itu hampir habis terkikis oleh uban. Melihat dari suaranya yang serak dan bagaimana terkadang ia terbatuk-batuk, tubuhnya pasti sudah sakit-sakitan. Zhura beradu pandang dengan kedua temannya, kemudian mengangguk. Ia kira semua permasalahan akan selesai jika dirinya mengakui kepemilikan surat itu. Namun, pria berjubah hitam bersuara dengan nada yang menusuk.

"Hukuman apa yang akan kau terima jika surat itu terbukti bukan milikmu?" tanya Tuan Minra menambah atmosfer keruh ruangan.

"Saya siap menanggung hukuman apapun, Yang Mulia," ujarnya berat setengah hati.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang