100. Sandera

3 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Syukurlah, Anda terlihat lebih baik."

Azhara menganggukkan kepalanya merespon ucapan Nenek Manira. Meskipun berwajah kaku, Azhara tidak lagi menundukkan kepalanya yang kini tidak dibungkus selendang. Ia seperti sudah pasrah pada siapapun yang melihat penampilannya. Senyum ramah sekaligus canggung terpatri di wajah nenek tua yang berdiri di hadapannya. Semua orang datang mengantarkan mereka, beberapa di antaranya sangat hangat sementara sisanya masih ragu dan takut karena mengingat kejadian kemarin.

"Kami tidak akan pernah melupakan kalian." Zhura berujar seraya tersenyum haru. "Tinggal bersama kalian terasa sangat menyenangkan. Hari demi hari terlewat mengajarkan saya pengalaman berharga tentang arti pentingnya keluarga. Saya sangat menyayangi kalian semua."

"Karena kau adalah gadis suci, kau akan pergi ke dataran terkutuk itu seperti Ra. Bagaimana jika kau tidak kembali sepertinya? Aku tidak mau kehilanganmu, Kak!" Yara memeluk Zhura dengan erat seakan tak ingin melepas kepergiannya.

Azhara yang mendengar itu turut terseret pada lingkaran kegusarannya.

"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja, bukankah aku itu kuat? Aku bahkan bisa mengalahkan serigala, tidak ada yang pelru kau khawatirkan dariku." Zhura menepuk bahu Yara. Gadis muda itu adalah teman yang sangat baik. Zhura bahkan sudah menganggapnya sebagai saudaranya sendiri.

Yara menggeleng sembari mengusap air matanya menggunakan lengan baju. "Tetap saja, kau akan pergi ke sana. Aku jadi kesepian!"

La yang tadi hanya berdiri di samping neneknya pun tiba-tiba memeluk kaki Zhura. Anak kecil itu muram. Zhura mengusap kepalanya, pucuk kepala La terasa pas di ujung tangannya.

"Setelah semuanya selesai, aku janji akan kembali ke sini. Ayo kita bermain, pergi ke ladang, menulis surat atau memasak bersama. Jangan khawatir, aku tidak akan lupa janjiku. Tunggu aku kembali, oke?"

Yara dan La mengangguk berat. Nenek Manira mengulurkan tangannya, mengusap wajah Zhura. "Jaga baik-baik diri kalian, kami akan terus berdoa untuk keselamatan kalian. Kau bisa kembali kapan pun kau mau. Kami selalu menunggumu."

"Terima kasih banyak! Kalau begitu kami akan pergi sekarang, sampai jumpa." Zhura dan Azhara mulai menaiki kuda mereka. Setelah mengucapkan salam perpisahan, mereka akhirnya melaju meninggalkan pemukiman suku Wiyyam. Atau mungkin lebih tepatnya bekas pemukiman. Di sela kemudinya, Zhura menoleh ke padang rumput yang kini semakin mengecil karena jarak di antara mereka bertambah jauh. Dalam hati ia menjanjikan pada diri sendiri untuk menemui mereka lagi suatu hari nanti.

Karena Azhara buta, Zhura pun bertugas memegang kendali kuda. Dia duduk di depan, sementara pemuda itu duduk membonceng. Sebenarnya Azhara masih bisa menggunakan Indra pendengarannya untuk melihat ke sekeliling. Namun, Zhura bilang bahwa sebaik apapun telinga, akan jauh lebih mudah melihat dengan menggunakan mata. Hari begitu berwarna. Langit begitu cerah, awan putih bahkan melayang dengan pelan di atasnya. Namun, Azhara yang tidak kunjung membuka suaranya lekas menciptakan keheranan di kepala Zhura.

Di bawah teriknya sinar mentari, pemuda itu terlihat semu.

Beberapa waktu terakhir melewati hidup bersamanya menjadikan Zhura hapal dengan tindak tanduk Azhara. Diamnya mungkin adalah tanda sesuatu sedang dirasakan  atau dipikirkan dengan serius oleh Azhara. Aura yang memancar dari sosok itu pun tak sehangat saat mereka merayakan ulang tahunnya malam itu. Seakan ada dinding tidak kasat mata di antara mereka, Zhura mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi hingga Azhara menjadi dingin seperti sekarang.

Mungkinkah Azhara merasa menyesal karena hampir membunuhnya kemarin?

***

Ramia berlari ke arah balai tempat para Shar berkumpul. Baru saja, ada pengumuman mengenai tertangkapnya seorang tahanan yang hendak kabur. Pemuda elf itu menelisik dari balik punggung kerumunan, matanya melebar tak percaya melihat Tusk terikat dengan banyak luka di tubuhnya. Dia terus dicambuk dengan keji oleh salah satu Shar yang terus memaksanya untuk bicara. Ramia menelan ludahnya gugup, ia tidak menyangka jika Tusk yang ia cari-cari ternyata benar-benar dijadikan tawanan.

"Katakan, dengan siapa lagi kau menyusup?!" Jadin berseru pada Tusk seraya mengibaskan cemetinya. Tusk keras kepala, ia masih tidak mau menjawabnya. Tampaknya pria itu sangat menderita hingga tak lagi sanggup mengangkat kepalanya. Orang-orang Shar yang kesal dengan Tusk melempar umpatan dan bahkan batu ke arahnya. Jadin yang melihat itu segera menengahi, ia membawa Tusk pergi dari balai.

Pertunjukan berdarah itu selesai, para Shar kembali melanjutkan tugas mereka masing-masing. Tapi Ramia tidak tinggal diam, ia mengikuti ke mana Jadin membawa temannya. Dia bersembunyi di balik dinding saat Tusk dimasukkan ke kurungan. Ramia menunggu hingga Jadin pergi, setelah situasinya aman ia menghampiri Tusk.

"Ramia?!" Tusk yang terkejut melihat Ramia lantas berseru.

"Jangan berteriak." Ramia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Ia mengulurkan tangannya ke arah Tusk, dengan kekuatan spiritual ia salurkan sihirnya untuk menstabilkan kondisi pria itu. Setelah selesai, Ramia memberikan salep ajaib pereda nyeri pada lawan bicaranya yang tampak lemah. Karena aroma salep itu cukup menyengat, ia meminta Tusk untuk menyembunyikannya baik-baik.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa tertangkap?" tanyanya.

Tusk melihat ke sekeliling dengan khawatir. "Ceritanya panjang. Aku sudah berada di sini sejak beberapa minggu lalu. Untuk mengirim surat menggunakan burung, kita harus menyelinap di tempat yang terhubung ke dunia luar. Aku tertangkap saat hendak mengirim surat yang kedua pada Yang Mulia Azhara. Kemungkinannya mereka menemukan jejak pengiriman surat yang pertama," jelas Tusk dengan pandangannya yang linglung. Jelas dia begitu terpuruk.

"Aku paham." Ramia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya ditahan di markas musuh selama berminggu-minggu.

"Karena kau masih hidup, apakah kau sudah tahu siapa serigala berbulu dombanya?"

Ramia mengangguk. Dia menjawab, "Tuan Minra."

"Aku pun tak menyangka. Sejak awal penyelidikanku di sini adalah untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai Shar. Tapi, yang kutemui justru dia. Fakta ini adalah senjata untuk kita, sebaliknya jika kita bisa mengungkapkan fakta ini pada dunia maka itu akan menjadi senjata bagi Tuan Minra. Sekarang, bagaimana cara kita membongkarnya? Penjagaan di sini sangat ketat. Aku hampir putus asa, sudah sangat lama sejak aku bertemu anak-anakku. Aku sungguh ingin pulang." Tusk menatap sebelah kakinya yang dipasung.

"Jangan khawatir. Aku akan membebaskanmu, kita akan pergi dari sini bersama." Ramia mencari solusi, "Kudengar malam nanti mereka akan melakukan misi itu lagi. Untuk sesaat, gerbangnya akan dibuka. Aku akan membawamu kabur, kita berdua akan pulang saat itu."

Tusk terdiam, entah apakah ia sedih memikirkan suatu hal atau dia terlalu bahagia karena akhirnya bisa kembali, tiba-tiba saja dia menangis. Bibirnya menggumamkan kata secara tidak jelas. Ramia yang melihat itu seketika kasihan, ia yakin pria di depannya pasti merasakan kerinduan yang teramat pada anaknya. Dia menjulurkan tangannya melewati jeruji besi, menepuk bahu Tusk. "Tenanglah, semua ini pasti akan segera berlalu. Aku di sini, tidak akan kubiarkan mereka menyiksamu lagi."

Suara langkah kaki terdengar, itu milik penjaga yang sedang berpatroli. Ramia harus segera pergi atau penjaga itu akan melihatnya. "Tusk, mereka datang, aku harus pergi dulu. Nanti malam, kau tunggu aku di sini. Kita akan kabur bersama." Pemuda itu berlari keluar dari area penjara tanpa menyadari tatapan Tusk yang berubah. Pria itu menatap punggung Ramia yang menjauh dengan tatapan datar tak terbaca.

Apa yang terlihat, belum tentu itu yang terjadi.

"Maafkan aku, Ramia."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang