101. Sanguina

1 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Benarkah ini tempat yang dimaksud Nenek Manira?"

Zhura memeriksa alamat yang tertera di kertas, ia yakin ini adalah tempat yang cocok dengan alamatnya. Azhara yang masih belum mau membuka suara, kini memilih berdiam diri di belakangnya. Tak menunggu lama, Zhura langsung saja membuka pintu masuk. Yah, sepertinya Sanguina mulai beralih profesi sebagai pedagang karena seperti yang terlihat, tempat mereka berdiri sekarang adalah toko. Wajar saja, catatan yang ditulis di buku catatan Kakek Maral terjadi hampir sepuluh tahun lalu.

Sebelum melangkah lebih jauh, ia sempatkan untuk melihat ke pasar di depan toko. Sama seperti pasar yang biasa Zhura temui, banyak penjual menggelar dagangannya di meja atau karpet. Orang-orang berseliweran dari berbagai ras, kesibukan menyeruak di sana. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pasar di alun-alun dekat istana, pasar di hadapan Zhura sekarang terlihat lebih unik. Gadis itu mengernyitkan kening, tidak ada satu pun manusia murni yang melintasi jalanan pasar. Semua warga pasar yang melintas hanyalah makhluk campuran.

Mengabaikan pikiran-pikiran aneh yang mulai berdatangan, Zhura memilih melangkah masuk. Azhara yang sudah lebih dulu masuk ke dalam berhenti sejenak menunggunya. Tepat setelah melewati pintu, tubuh Zhura terkesiap. Ia tak menyangka keadaan di dalam ruangan jauh berbeda dari perkiraannya. Ruangan toko itu cukup luas. Barang-barang kerajinan atau pernak-pernik diletakkan di bilik kayu atau digantung pada dinding, sementara rak-rak berderet di sana sini membuat ruangan terkesan berantakan.

Mata hijaunya bergulir membaca satu per satu tulisan yang tertera di atas masing-masing rak. "Pernikahan trol, kencan gadis serigala, bulan madu ors." Zhura yang tak mengerti sontak mengernyit, pikirnya nama-nama itu terdengar merepotkan. Zhura mengedarkan pandangan lagi ke sekeliling ruangan toko, sedikit gelap dan pengap membuatnya berkeringat. Sepertinya Sanguina bukan tipe orang yang menyukai udara segar.

Cahaya matahari bahkan tidak bisa masuk dengan sempurna akibat debu dan jaring laba-laba yang ada di jendela. Zhura mendongak, menatap lantai dua yang sepertinya memiliki keadaan tak jauh berbeda dari lantai satu.

"Mungkin dia ada di lantai dua, ayo," ujarnya menghela Azhara menapaki anak tangga.

Tidak terlihatnya eksistensi Sanguina di lantai satu, membuat mereka akhirnya memutuskan untuk naik ke lantai dua. Sebelah tangannya mencengkram pegangan tangga dengan sedikit gemetar, sementara yang lain menggenggam tangan Azhara. Lempengan kayu berderit keras saat mereka menginjakkan kakinya. Setelah menaiki lima belas anak tangga yang sudah reot dan berdebu itu, mereka akhirnya sukses tiba di lantai dua. Angin siang itu yang menyelinap lewat celah di dinding menerbangkan helai surai Azhara dengan ringan.

"Toko masih tutup." Sebuah suara cempreng khas wanita terdengar.

Zhura mengedarkan pandangan pada ruangan kayu seluas sepuluh kali sepuluh meter itu untuk mencari sumber suara. Di dekat jendela, ada seorang wanita berpakaian terusan putih duduk mengangkat satu kaki. Wanita berambut keriting sebahu itu terlihat sibuk melukiskan cat merah menyala pada kuku-kuku jari kaki kirinya.

"Dia Sanguina?" tanya Zhura yang hanya dibalas lirikan acuh tak acuh oleh Azhara.

"Kalian bisa kembali besok, ini hari libur," tutur wanita itu fokus memoles kuku jempol kakinya.

"Jadi Anda benar-benar Sanguina? Maaf, ada hal mendesak dan hanya Anda yang bisa membantu kami," pinta Zhura mendekat pada wanita itu.

"Sialan, aku memang terlahir menjadi budak orang lain," gumam wanita berambut keriting itu masih berkutat pada kuku kaki kirinya. "Karena suasana hatiku sedang baik hari ini, jadi pilih saja pakaian yang kalian suka, bayar dan keluar."

"Maaf, Nyonya, tapi kami tidak ingin membeli barang," timpal Zhura mengibaskan tangannya. Dia menyadari sepasang telinga lancip terpasang di sisi wajah wanita paruh baya itu yang menandakan dia adalah elf seperti Inara.

Sanguina menatap dua orang di hadapannya. Alisnya yang dilukis menukik, menggambarkan kekesalan yang ia rasakan karena kegiatannya diganggu. "Kalau begitu kalian salah tempat. Apa kalian berdua buta? Atau memang tidak sempat lihat? Di depan ada tulisannya, ini toko! Jika mencari yang lain, maka pergilah ke tempat lain. Dasar pengganggu!"

"Ayo." Azhara meraih tangan Zhura. Ia berniat menariknya keluar, tapi Zhura menolak.

Gadis itu kekeh ingin menyampaikan niatnya. "Kami sangat memerlukan penawar racun dan hanya Anda yang bisa membuatnya, Nyonya!"

"Selain yang ada di sini, aku tidak mau melayani permintaan apapun," jawab wanita itu mengangkat bahu.

Zhura menyatukan kedua tangannya, "Saya mohon! Hanya Anda harapan kami!"

"Pergilah, aku sedang sibuk!" tukas Sanguina mengibas-ibaskan tangan, menyuruh mereka pergi.

"Tolong, Nyonya Sanguina! Aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi! Seseorang meracuni teratai bulan dengan racun dan sekarang bunga itu sedang sekarat!" pinta Zhura berlutut di depan kaki Sanguina.

Umpatan dikeluarkan Sanguina seraya melempar kuas kukunya ke arah Zhura. Dia berdiri, kemarahan tampak berkobar di matanya. "Masa bodoh! Sudah kubilang, aku tidak mau tahu urusan kalian! Aku sudah lama berhenti menjadi pesuruh orang lain! Mau bunga itu mati pun aku tidak peduli! Kalian dengar?! Sekarang pergi!" serunya bangkit dan mendorong tubuh mereka menuruni anak tangga.

"Tidak, kau harus peduli!" Zhura berusaha keras menahan kakinya untuk tetap berada di tempat semula. Ia mencengkram tangan wanita elf itu.

Sanguina menghempaskan tangannya. Ia melotot, dengan pandangan sarkas ia memperhatikan sekujur tubuh Zhura dari kepala hingga ujung kaki. "Siapa kau beraninya memerintahku Gadis ringkih sepertimu jangan sok jadi jagoan! Aku akan memberimu kesempatan. Kuhitung sampai tiga, jika kau dan antek-antekmu ini tidak keluar, maka aku akan memberimu pelajaran...-"

Zhura mengangkat dagu ke arahnya, "Aku tidak takut! Tidak kusangka penilaianku salah! Seorang Sanguina yang dielu-elukan sebagai biarawati penyembuh ternyata memiliki sifat seburuk ini!"

"Bocah sialan!" seru wanita itu, perkataan Zhura membuatnya merasa ditantang. Bibirnya terbuka mengucapkan mantra, untuk kemudian mengarahkan ujung telunjuknya yang menyala merah ke arah Zhura. Serangan itu dilayangkan tanpa diprediksi. Tak adanya ketersediaan waktu untuk menghindar, memaksa Zhura untuk menunduk, bersiap menerima apapun yang dia layangkan.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang