29. Pertarungan Guru dan Murid

81 37 2
                                    


"Lawan aku."

Hari masih pagi dan matahari bahkan baru saja naik beberapa saat lalu. Zhura mendongak, ia melihat langit di atas juga sangat cerah. Tidak ada satu gemuruh pun yang bersiap melemparkan petirnya ke bumi atau entahlah. Semuanya baik-baik saja hingga sekujur tubuhnya terlonjak seakan ratusan petir yang menyambarnya bersamaan dengan keluarnya kalimat Azhara. Jika diingat lagi, dirinya belum pernah menerim bimbingan teori apapun dari gurunya, bagaimana bisa mereka langsung melakukan praktek?

"Lailla hanya orang lemah yang tidak tahu apapun mengenai pertarungan, lagipula saya tidak punya keberanian untuk melawan. Tolong pertimbangkan permintaan Anda lagi, Guru," ujar Zhura.

"Kenapa? Kau bilang akan melakukan apapun asal aku mengampunimu?" sergah Azhara.

Zhura memutar bola matanya, dalam hati ia merasa terhina. Ia sudah susah payah menahan rasa gelisah selama berhari-hati untuk meminta maaf, tapi Azhara dengan lagaknya masih menyimpan dendam kesumat padanya. Yang benar saja! Daripada melawan, pemuda perak itu pasti berniat untuk membunuh Zhura. "Benar, tapi bukankah saya hanya murid biasa? Tidak sepantasnya saya mencoba melawan guru saya sendiri. Lagipula, saya tidak mempunyai kekuatan untuk bisa mengimbangi kemampuan Anda, saya hanya akan menjadi beban."

Ramia yang melihat Zhura mendebat tuannya lantas berujar dari sisi halaman, "Lailla, kau pernah bilang memilih Tuan Azhara karena kau yakin kemampuanmu akan terlatih dengan baik di bawah bimbingannya. Lalu, kenapa sekarang kau meragukannya?"

Zhura mengangkat pandangan, hanya untuk kembali tertunduk. Siapa yang mengira Azhara ternyata tengah melototinya, sebegitu bencikah ia padanya? Segala sesuatu di dekatnya sungguh terasa sulit bahkan untuk sekadar bernapas. "Tidak, saya tidak meragukannya. Tapi ini bukan sepenuhnya salah saya. Jika kalian tidak berpura-pura menjadi pencuri waktu itu, lampu gantungnya mungkin masih utuh."

"Kami mempunyai alasan melakukannya, dan kau bukan orang yang berkepentingan dalam rencana itu. Jadi jangan banyak bicara! Cepat pilih salah satu, ini adalah bagian dari latihan, kau tahu?" Ramia mendekat lalu menyodorkan dua benda di tangannya, sebuah pisau bergerigi tajam juga seutas tali yang panjang.

"Apa yang harus aku lakukan dengan salah satu dari itu?" Zhura menatap dua benda itu bergantian.

"Gunakan salah satu dari mereka untuk melawan Tuan Azhara."

Zhura mengalihkan pandangan pada batu biru di leher Azhara. Satu bagian darinya ingin kabur saja dari ini. Tapi di sisi lain, ia masih harus membuktikan pada pemuda itu bahwa ia tidak pernah meragukannya. Jika sampai ia curiga, bisa hancur rencana Zhura mendekati Azhara untuk mendapat batu biru itu. Bagaimana pun ia harus mendapatkannya. Jalannya juga pasti akan semakin mudah, jika ia mendapat kepercayaan dari pemuda perak itu.

"Aku pilih pisau."

Terdengar menggelikan. Biarpun sudah tahu hasilnya nanti, tapi Zhura harus tetap mengayunkan pisau. Hari sialnya belum berakhir juga. Segalanya berjalan dengan begitu menyebalkan, tapi ia tidak pernah punya pilihan demi menjaga hubungan sebagai murid yang baik terhadap Azhara. Guguran sakura merah muda menjadi latar belakang yang paling tepat untuk jubah putih yang berkibar penuh gelora itu. Zhura menepuk dada kirinya yang berdegup kencang, rasanya begitu menakutkan tapi juga hangat saat menyadari seluruh atensi Azhara kini tercurah untuk dirinya.

"Mulai!"

Zhura melepaskan ancang-ancang dan berlari menerjang Azhara. Perjalanannya mendekat terasa sangat panjang dan berat. Tatapannya yang mengarah lurus, membuat gadis itu gelagapan memikirkan apa yang sedang ia pikirkan. Ia ayunkan pisau bertubi-tubi pada pemuda itu. Entah ke kanan, kiri atau pun depan. Tidak ada rencana apapun. Perintahnya hanyalah lukai tubuh pemuda itu. Dengan usaha matian, tentu saja ia kerahkan seluruh kekuatan dan tekadnya, jarang juga ada kesempatan seperti ini. Namun, dengan gerakan yang andal Azhara begitu lihai menghindar. Seolah tak terpengaruh, rautnya tetap datar. Jubahnya yang panjang kini terseret-seret pada tanah saat ia bergerak, tapi itu bahkan tetap rapi dan tak menyinggung langkah kakinya.

"Kenali kelemahan lawanmu," ujar Azhara menangkis tangan Zhura

"Hah?" Zhura mengumpat dalam hati. Satu lawan satu memang adil, tapi tidak jika lawanmu makhluk hidup sejenis Azhara. Dia bahkan tidak terlihat sedikit pun kepayahan. Pemuda itu masih saja tak berekpresi seolah semua serangan Zhura hanyalah gangguan serangga. Detik berlalu dengan sengit sebelum punggung Zhura menghantam tanah, terlempar oleh Azhara. Ini sulit, adalah apa yang terus ia ucapkan dalam hati. Bukan karena tubuh pemuda itu yang tidak bisa diserang. Dia kuat. Hanya saja, ini lebih pada kinerja tubuh Zhura yang selalu tidak berfungsi jika ada di dekatnya.

Gadis itu tidak menyerah, tampak ia meraih kembali pisau yang tergeletak di dekatnya lalu bangkit. Ia mengusap darah yang keluar dari hidungnya, lalu menarik napas panjang. Denyut jantung yang mulai menormal membuat situasinya sedikit lebih baik. Hati gadis itu kini meniati bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh aura sialan pemuda itu lagi. "Jangan lemah karena seorang laki-laki, Zhura." Kakinya mengambil ancang-ancang. Zhura mengeratkan pisau dan berlari ke arah Azhara yang entah bagaimana kini sudah memegang sebuah tali.

"Mati kau!"

Dirinya mengayunkan pisau seratus delapan puluh derajat ke arah Azhara. Tidak ada waktu untuk memikirkan sejak kapan tali itu ada di tangannya, yang ada di kepala Zhura hanya tekad untuk melawan. Tanpa sadar semakin membabi buta, Zhura getir mencari celah di mana perhatian pemuda itu tidak terpusat, yaitu kelemahannya. Gerakannya cekat dan mahir, Azhara tiba-tiba mencekal ayunan tangan Zhura. Ketika gadis zamrud meronta, sosok perak di belakang beraksi melempar pisau Zhura dengan sentakan. Sebelum terlambat, Zhura harus mengatasinya. Ia rapatkan sebelah tangan yang bebas, mendorong tubuh Azhara menjauh.

"Akh!" Serangan Zhura berhasil tapi juga gagal pada waktu bersamaan. Azhara memang terdorong beberapa langkah. Namun, siapa sangka pemuda itu sudah lebih dulu melilitkan talinya pada kaki Zhura. Sebelah kaki gadis itu yang tertarik oleh tali, membuat tubuhnya ikut terjerembab ke tanah. Ini lebih cocok disebut senjata makan tuan. Beranjak berdiri, Zhura berusaha melepas tali yang melilit kaki kanannya. Namun, Azhara gesit melilitkan talinya yang tersisa pada kedua tangannya.

"Guru, apa yang Anda lakukan?! Lepaskan aku!" Tali yang melilit tiba-tiba terangkat, membalik tubuh Zhura hingga ia tergantung di batang pohon. Gadis itu mengerjapkan mata, ia mati-matian menetralisir rasa pusing yang mulai memenuhi kepala. Di bawahnya, Azhara tampak menatap Zhura puas, seolah baru saja menangkap sapi yang kabur dari tempat penjagalan.

"Guru, tolong!" pinta Zhura seraya memejamkan mata.

Rasanya seperti naik wahana ekstrem di taman hiburan kota. Zhura kalang kabut menahan gejolak di perut yang ingin keluar karena tubuhnya terbalik melawan gravitasi. "Guru, Lailla mengaku kalah. Tolong lepaskan talinya, saya sangat mual!"

Azhara masih bergeming, tatapan pemuda itu justru turun pada kalung belati yang menggantung di depan mata Zhura.

"Hei, turunkan aku!" ujar Zhura menggunakan intonasi memaksa. Zhura berusaha meliukkan tubuh, berharap pohon tempatnya tergantung tumbang saja langsung. Tepat setelah itu, bunyi keretak terdengar dari batang pohon tempat ia tergantung

"Siapa sebenarnya-" tanya Azhara tertahan, untuk kemudian mengalihkan pandangannya ke danau yang tidak jauh dari tempat mereka. Jika saja bukan dia yang berkata barusan, Zhura pasti sudah mengernyitkan kening alias kebingungan. Pemuda perak itu sungguh kurang cakap dalam hal penyampaian aspirasi.

Zhura membuang napasnya. Bisakah Azhara mengatakan satu kalimat dengan jelas atau setidaknya kalimat yang mempunyai unsur-unsur yang lengkap. Parasnya memang baik, tapi nilai bahasanya pasti terendah di kelas. Dari semua hal yang menimpa Zhura, ada satu hal yang ia yakini segenap hati, bahwa hidup itu dipenuhi dengan kata tiba-tiba. Tidak ada sepatah kata pun, pemuda itu tiba-tiba berlalu. Masuk ke dalam paviliunnya dan meninggalkan Zhura yang masih tergantung di bawah pohon dengan posisi terbalik.

Bagaimana bisa dia melakukan ini padanya? Zhura sungguh tidak habis pikir, jika Azhara tidak memiliki sifat lemah lembut, setidaknya dia harus memiliki rasa kasihan pada seorang gadis. Ia penasaran dosa apa yang ia lakukan pada Azhara di masa lalu hingga pemuda itu benar-benar tega. Ini namanya cara keren untuk mengikat dan menggantung musuh di bawah pohon. Jika bukan karena batu birunya, Zhura tidak akan pernah sudi menginjakkan kaki atau pun menjadi murid pemuda brengsek itu.

"Siapa pun turunkan aku!"

***

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang