119. Sok Akrab

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Tiga jam berlalu semenjak rombongan meninggalkan gerbang istana. Sorak-sorakan penduduk yang berdiri di sepanjang jalan terdengar riuh dan ramai. Mereka menyerukan kata-kata semangat dan harapan. Kini mereka melewati jalur yang lebih tenang. Zhura melirik ke arah kanan. Arlia terlihat mengendarai kudanya dengan punggung membungkuk. Rautnya yang tertutupi tudung, sulit dilihat karena gadis itu menunduk. Kedua tangan gadis itu erat menggenggam tali kekang kuda hingga jari-jarinya memerah.

Dia tidak melirik atau pun mengajak berbicara. Bahkan dari cara ia melajukan kudanya, gadis itu seperti menjaga jarak dari Zhura. Aroma manis tercium, Zhura mendongakkan kepala. Kabut berwarna merah muda mengepul di antara pepohonan. Mereka persis seperti permen kapas raksasa yang tergantung di atas hutan. Para gadis lain pun tampak sama terperangahnya. Mereka terpana seraya mengucapkan kata-kata kekagumannya atas benda merah muda itu.

Kabut merah muda itu turun semakin ke bawah saat  rombongan masuk lebih dalam ke hutan. Aroma manisnya masuk ke dalam penciuman setiap orang dengan pekat. Ilyza yang berkuda tepat di depan Zhura mengulurkan jemarinya, berusaha menangkap kabut merah muda itu.

"Bukan hanya Silvermist yang mempunyai hutan kabut. Ini adalah hutan kabut merah yang terkenal di perbatasan Roseleaf. Hutan kabut ini adalah yang terindah dari hutan kabut di lima dataran. Saat pagi akan berwarna merah muda, tapi di malam hari hutan ini akan penuh dengan kabut merah darah."

Semua orang mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Aryana. Dia memimpin di depan dengan kuda hitam seberat lima ratus kilogramnya. Wajahnya tersembunyi di balik jubahnya yang terlihat sangat hangat, sementara tangannya sesekali mengibas-ngibaskan pedang membuka semak-semak. Pembicaraan hanya muncul satu dua kali setelah itu. Terkadang Aryana yang menanyakan arah, dan Ramia yang akan menunjukannya. Kabut merah muda yang sebelumnya pekat, kini memudar tanda bahwa mereka sudah keluar dari hutan.

Zhura menyingkap tudungnya lalu mengikuti arah pandang mata gadis-gadis yang melebar melihat pamandangan di atas mereka. Orang-orang berpakaian tebal terlihat berterbangan menggunakan benda pipih yang bersinar kehijauan. Mereka berdiri di atas papan setipis itu tanpa ada raut akan jatuh, berlalu-lalang sesekali menyapa satu sama lain.

"Mereka adalah suku Cora. Suku pedalaman yang tinggal di dataran tinggi. Mereka banyak ditemukan di perbatasan antar dataran. Karena tinggal di daerah yang rawan, mereka biasanya membangun rumah mereka sangat tinggi, jauh dari permukaan tanah. Untuk beraktivitas, mereka akan menggunakan Yara. Yara adalah alat transportasi khusus milik suku Cora. Bahkan hanya penduduk suku itu yang bisa mengendarainya," jelas Ramia.

Rombongan melewati lalu-lalang suku Cora di atas dengan lancar. Sejauh ini mereka bahkan belum menyelesaikan seperempat perjalanan, tapi waktu berjalan dengan cepat seperti ini. Matahari mulai menyingsing tenggelam, rombongan memutuskan berkemah untuk mengistirahatkan tubuh dan kuda-kuda mereka. Zhura mengikat tali kudanya di batang pinus dengan kencang.

Setelah memastikan ikatannya kuat, ia mendekat pada orang-orang yang sedang sibuk mengatur alat kemah. Melihat ukuran tendanya yang besar, ia yakin para pemuda sedang membangun tenda yang diperuntukan untuk para gadis. Sementara para gadis suci kini membangun tenda sederhana yang lebih kecil untuk para pemuda.

"Sudah kubilang kalian beristirahat saja," ujar Pangeran Aryana yang mendapat respon penolakan dari para gadis. Mereka kekeh ingin membantu. Zhura pun turut serta. Ia menekuk lututnya menarik sudut tenda ke bawah untuk mengencangkan tenda tersebut. Beberapa menit kemudian, acara pasang tenda selesai dan dua pasang tenda berdiri dengan rapi. Para gadis menatap hasil karya mereka dengan puas.

"Biar aku saja!" teriak seseorang.

"Tidak, biar aku yang melakukannya!"

"Hei, kubilang aku saja! Kau pergilah duduk atau ke mana terserah!"

"Tidak, aku yang akan melakukannya, kau pergilah!"

Zhura merotasikan bola matanya saat dua orang di depan berebut ingin menyalakan api unggun. Valea, gadis merah itu terus-menerus mengibas-ngibaskan tangannya mengusir Asyaralia yang mencoba mengambil alih tugasnya. Zhura tahu ada sesuatu di antara perang dingin mereka. Biar pun disembunyikan sedemikian rupa, tapi raut keduanya sangat kentara.

Tak ingin terjebak skenario klise bak tikus kucing mereka, Zhura pun berbalik hendak menghampiri Inara. Namun, lagi-lagi hanya kesialan yang ia dapat. Gadis elf itu terlihat tertawa dengan sesekali memegangi perutnya. Entah apa yang Aryana katakan di sampingnya, sepertinya pemuda itu sudah berhasil membuat lelucon terbaik sepanjang masa. Mereka berdua berdiri membelakanginya menyiapkan makanan untuk semua orang.

"Gila, kenapa aku ditinggal sendirian?" gumam Zhura berdecak ke arah pasangan itu.

Dengan hati penuh rutukan, ia memutuskan menyendiri. Pada saat itu ia melihat seseorang duduk meringsut di balik pohon.

"Arlia," sapaannya mengintip dari balik pohon itu.

Arlia tampak terkejut, sebelum kemudian berdecak tidak peduli. Zhura memutuskan duduk di sampingnya, "Kau sedang apa?" tanyanya.

"Tidak usah sok akrab, kita bukan teman."

Zhura mengangkat bahu, "Memang kalau bukan teman tidak boleh mengobrol?"

Arlia meliriknya dingin, lalu bergumam, "Bodoh."

Mengabaikan ucapannya, Zhura memilih menepuk bahu gadis itu. "Aku tidak menyangka kau akan ikut dalam perjalanan ini, sejujurnya khawatir kau akan bunuh diri semalam."

"Hentikan omong kosongmu, sudah kubilang jangan sok akrab. Lagipula aku tidak melakukan ini demi kau," sanggah gadis bermata hazel itu.

Berdecak, Zhura menatap langit malam yang terlihat jelas karena pencahayaan yang minim di antara pepohonan. Kurasa Valea terlalu sibuk bersiteru dengan Asyaralia, hingga api unggunnya tak kunjung menyala. "Sungguh, aku tidak pernah menyangka kau mau ikut dalam perjalanan ini, mengingat kau sangat mengantisipasinya dulu. Jujur saja aku senang kau ada di sini."

"Itu karena situasinya berjalan dengan buruk. Tidak peduli bagaimana akhirnya nanti, aku hanya ingin mengembalikan ayahku, dan lagi aku tidak nyaman kalau tetap di istana. Mata mereka semua berubah."

Zhura pikir yang Arlia maksud adalah cara pandang orang-orang padanya yang kini berubah akibat ulah ayahnya.

"Apakah kau sungguh-sungguh dengan rencanamu?"

Arlia mengangguk kecil, "Aku membuat kepalaku menempel di atas tanah, aku tidak pernah lebih serius lagi daripada ini. Harga diriku yang kujunjung setinggi langit, sudah runtuh. Aku merasa rendah sekarang, tapi itu tidak seberapa dibanding rasa sakit melihat ayahku akan mati digantung. Jika ada cara yang lebih baik baginya, maka mati di tanganku adalah keputusan yang paling tepat."

Di antara tertutupnya hutan, suara Arlia menambah atmosfer semakin gelap. "Tidak, kita berdua akan berusaha bersama. Aku akan membantumu. Dia pasti kembali, Arlia."

Arlia tertawa sarkas hingga sudut matanya melancip, "Kenapa kau berlagak seperti itu? Sudah kubilang aku ikut dalam perjalanan ini demi diriku sendiri. Aku akan melakukan semuanya sendiri, termasuk menyadarkan ayahku. Jadi, kau tidak perlu merepotkan diri!"

"Aku tidak pernah merepotkan diriku. Lagipula, aku serius soal waktu itu. Jika kita bisa selamat dari ini dan kembali, kuharap kau mau jadi temanku." Gadis itu memijit belakang lehernya yang terasa kaku akibat duduk di atas kuda seharian.

"Bagaimana jika aku tidak mau?"

Zhura menjatuhkan pandangan pada gadis elf seraya tersenyum miring, "Yah, bagaimana lagi? Kalau kau tidak mau jadi temanku, selamanya aku jadi harus sok akrab denganmu."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang