14. Seorang Teman

135 70 16
                                    


"Jadi, delapan puluh tiga gadis lainnya?" Akal pikiran Zhura yang belum terhubung sontak bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa menjadi bagian dari tujuh belas gadis yang bertahan hidup. Haruskah ia bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup, sementara nyawanya juga berada di ujung tanduk saat menjadi bagian dari kelompok gadis suci.

"Saya turut berduka atas kepergian korban dan mewakilkan rekan tabib lain menyampaikan bela sungkawa pada keluarga mereka. Meskipun saya bukan bagian dari kalian, sebagai seorang wanita rasa sakit atas penderitaan kalian semua juga menyakiti hati saya. Namun, siapa yang bisa mengelak dari itu." Sang tabib menunduk, terdapat raut keruh menandakan perasaan turut berdukanya atas peristiwa tiga hari lalu.

Zhura mengangguk. Kemudian sebuah gagasan datang saat ia menatap lebih lama wanita paruh baya di depannya. "Bagaimana Anda bisa menjadi tabib seperti sekarang? Tidakkah setiap wanita harus dikorbankan?"

"Tidak semua, hanya para gadis yang terpilih oleh kerajaan setiap enam belas tahun sekali. Sebelum sesi pemilihan itu terjadi, kita akan berlomba menjadi apapun agar tidak terpilih. Tabib, biarawati, guru, atau bagian penting dari perkembangan peradaban masyarakat Silvermist lainnya. Saya menjadi tabib sejak muda dulu, meskipun begitu tetap saja ancaman ritual itu tetap ada untuk anak cucu saya."

"Aku mengerti, Anda pasti juga sudah melewati perjuangan yang berat sebelum menjadi tabib seperti sekarang." Tentu saja, di dunia ini gadis manapun pasti tidak akan tinggal diam dan akan berjuang melakukan apapun sampai dirinya aman." Zhura mengumbar senyum sebelum kemudian menunjuk benda di atas meja dekat ranjang. "Apa itu?"

Tabib itu mengambil benda yang ditunjuk. "Ah, itu adalah tanda pengenal Anda di sini. Pakailah ini ketika Anda memakai seragam gadis suci."

Zhura menatap benda kecil yang berbentuk seperti bandul seukuran tutup kaleng minuman itu dengan datar. Bahannya terbuat dari kayu yang ringan, tampak ada tulisan pada kedua sisinya. Tulisan berwarna putih di sisi depan, sementara tulisan berwarna kuning di sisi belakang. Dirinya ingat tulisan berwarna kuning itu mirip dengan tulisan yang ada di punggung seragam gadis pengorbanan. Sesuai perkataan Inara, tulisan warna kuning melambangkan pemiliknya adalah bagian dari kelompok rusa. Kelompok yang berada di bawah para gadis pemegang status derajat tinggi, kelompok merak.

Zhura mengembalikan pandangan pada wanita tabib yang kini tampak meletakkan kotak kayunya di atas meja. Perawatnya itu lalu membuka lipatan seragam biru muda yang ada di tangan Zhura dan menggelarnya di atas ranjang. Gadis delapan belas tahun itu sibuk mengamati apa yang sedang tabib di depannya lakukan, ketika tangan wanita itu terulur meminta bandul kayu itu lagi darinya.

"Seperti ini, pasang benda ini di bagian pinggang kanan seragam Anda," ujarnya menyematkan bandul kayu itu di pinggang kanan seragam Zhura. Dia tampak memasang sisi tulisan yang berwarna putih di bagian depan. Bola mata Zhura lantas bergerak ke kanan atas, ketika suatu pemikiran hinggap terasa sedikit mengganjal. Perasaan gelisah datang ketika ia memikirkannya.

"Kapan kelompok gadis suci akan dikirim? Maksudku kapan pencarian darah itu akan dimulai?" tanyanya.

Lawan bicaranya menggelengkan kepala dengan raut berpikir. "Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Biasanya para gadis suci akan menjalani pelatihan selama beberapa bulan di istana ini oleh guru mereka," ujarnya.

Perasaan gelisah Zhura sedikit menguap keluar mendengar penjelasan wanita itu. Jadi ada masa pelatihan beberapa bulan bagi gadis sebelum ia dikirim ke dataran mematikan itu, dengan kata lain Zhura masih memiliki waktu sebelum keberangkatan ke tempat tinggal pemilik Naga Biru itu. Sepertinya Zhura harus berpura-pura patuh dengan menjauhi masalah, sementara ia menggunakan kesempatannya untuk merancang upaya kabur dengan matang.

Dia tercenung ketika bayangan kedua temannya menyeruak. "Di antara gadis-gadis yang selamat, apa ada seorang elf cantik dan manusia berambut merah? Mereka berdua adalah temanku."

Wanita paruh baya itu tampak mengernyitkan dahi, jarinya bertumpu di bawah hidung seolah mengingat adalah hal yang sulit ia lakukan. Cukup lama Zhura menunggu jawaban dengan waswas, sebelum kemudian tabib itu tampak mengangkat bahunya. "Ada sepuluh elf dan tujuh manusia yang selamat. Beberapa dari mereka menjalani perawatan yang serius sementara sisanya sudah bisa kembali beraktivitas. Untuk kedua teman Anda itu, saya tidak yakin. Sepertinya saya melihat gadis berambut merah di salah satu ruangan, dia bernama Valea."

***

Terseret-seret Zhura berusaha melangkah menelusuri bangunan istana yang begitu besar. Setelah melewati berbagai koridor panjang dan menyilaukan, dia masih saja belum menemukan tempat yang dicari-cari. Mengembuskan napas lelah, ia turunkan pandangan ke bawah. Lantai putih polos yang terbuat dari batuan mengkilap tampak sangat mewah hingga membuat mata hijaunya hampir buta.

Komplek tempat perawatan gadid terpisah dari tempat para petinggi kerajaan. Jika dilihat-lihat, bangunan ini tampak seperti sebuah desa kecil yang digabungkan menjadi satu bangunan raksasa, sombong saja jika mengatakan ini tidak berlebihan.Tak peduli seberapa sering ia memikirkannya, bagi Zhura ini sangat aneh. Alih-alih membawa para gadis yang sekarat ke rumah sakit, mereka justru langsung dibawa ke istana. Meskipun sebenarnya ini terdengar masuk akal karena pihak istana mungkin ingin meminimalisir potensi kaburnya gadis.

Kakiku terhenti di depan sebuah ruangan. Dibanding dengan pintu-pintu lain di sampingnya yang tertutup rapat, pintu ruangan di depannya terlihat mencolok karena daunnya yang terbuka lebar.

"Valea!" seru Zhura melihat seseorang di dalam kamar. Seolah lupa dengan nyeri di sekujur tubuh, Zhura maju menerjang gadis berambut merah itu. Tidak peduli ia akan menyumpahinya dengan serapah, tapi Zhura tampak sangat senang melihat valea masih hidup. Namun, Valea tampak sebaliknya. Ia berdecak seraya merengut. Tubuh Zhura segera terhuyung ke belakang karena gadis merah melepaskan pelukan Zhura secara paksa.

"Dasar gila! Tidak lihat aku sedang sakit! Otakmu pasti tergeser puluhan kilometer akibat tendangan dart!" teriaknya mendorong Zhura hingga punggungnya menabrak lemari.

"Kau ini sudah sekarat tapi tidak berubah, tetap saja galak. Kau tidak tahu seberapa khawatirnya aku denganmu!" sembur Zhura mengangkat kedua tangan, membuat gerakan seolah-olah mencekiknya.

Gadis merah itu hanya mengangkat bahunya, sebelum menerima sodoran mangkuk putih dari wanita tua di sampingnya. Zhura terkesiap mengerjapkan mata, ia mengalihkan pandangan pada sosok wanita tua itu. Seragamnya mirip dengan pakaian tabib yang merawatnya barusan, jadi Zhura simpulkan dia juga seorang tabib. Telinganya lancip khas seorang elf. Dengan perasaan malu, Zhura segera mengangguk saat tabih tua itu menatapnya.

"Saya tidak tahu kalau kalian sedang sibuk. Kalau begitu, saya lebih baik kembali nanti." Tersenyum kikuk, ia tundukkan tubuh lalu berbalik keluar.

"Tunggu dulu." Tampak wanita tua itu cepat-cepat merapikan barangnya kembali pada kotak kayu lalu berjalan ke arah Zhura. "Aku sudah selesai. Kau bisa berbincang dengan temanmu," tukasnya.

"Baik." Zhura mengangguk menunggu sejenak, tapi tabib tua itu terlihat belum ingin beranjak dari hadapannya. Iris yang bewarna abu-abunya memperhatikan sesuatu dari tubuh Zhura dengan lekat. Gadis zamrud itu lantas melirik Valea yang juga tengah memperhatikan mereka dengan raut penasaran.

"Kalungmu sangat indah," kata wanita tua itu tersenyum misterius.

Zhura lekas saja menoleh ke arah kalung belati kecil yang ternyata masih melingkar di lehernya. Terlihat tak tersentuh dan seindah terakhir kali ia mengenakannya. Pada saat bersamaan, wanita tabib itu justru beranjak. Zhura tak bisa menahan matanya untuk tidak mengekori sosok itu. Dengan langkah tertatih, ia berjalan keluar ruangan. Kepergiannya yang aneh lekas meninggalkan ketidaknyamanan semu di dalam hati Zhura.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang