41. Sekutu

85 26 0
                                    


Sinar hangat mentari terjun ke wajahnya yang diterpa kekosongan. Rautnya pergi seakan sudah terlalu penat untuk mengutarakan apa yang sebenarnya sang pemilik rasakan. Di antara ilalang, Zhura berdiri bersama kesendirian merasakan semilir angin sore. Evaluasi bulanan yang ia kira akan berjalan lancar, justru berakhir kacau bagi dirinya. Tidak ada harapan atau pun kekecewaan, Zhura hanya merasakan kebingungan tentang siapa sebenarnya sosok pemuda berambut hitam itu. Tidak peduli seberapa besar ia berusaha mengabaikannya, wajah familiar itu terus teringat dengan jelas.

Dia menatap tempat anak panahnya tadi menancap. Sekarang anak panahnya sudah diambil, kini hanya jejaknya yang tertinggal. Penilaian itu bukanlah hal penting baginya, tapi saat tahu kalau ia gagal karena gangguan tak masuk akal lekas saja membuat Zhura tidak nyaman. Lagipula, wajah sosok itu yang sangat mirip dengan Azhara terasa bak mimpi buruk di siang hari. Mungkin saja itu terjadi karena Zhura terlalu banyak memikirkan gurunya, tapi ia masih belum memiliki penjelasan mengenai nama Macia yang sosok itu sebutkan.

Pada saat sibuk menenggelamkan diri dalam benak, aroma kayu-kayuan khas tercium jelas, Zhura pun sadar akan kehadiran seseorang di sisinya. "Hari sudah hampir petang, semua orang sudah kembali ke tempat mereka. Hal apa yang membuat Guru datang ke sini?" tanyanya.

"Hanya mencari udara segar." Azhara menatap sosok di sisinya yang masih membuang muka.

Zhura mendengkus lirih menangkap sinyal kebohongan Azhara, menurutnya tidak ada orang yang mencari udara segar di waktu petang seperti ini. Pemuda itu pasti mencari alasan entah untuk apa. Faktanya berdiri berdua seperti ini hanya menambah kemelut hal-hal merepotkan di dalam diri Zhura. Jadi, ia tidak bisa membiarkan ini lebih lama karena sosok perak itu justru mengingatkannya pada pemuda asing tadi. "Kalau begitu Lailla tidak ingin menganggu, selamat menikmati waktu bersantaimu," ujarnya seraya menunduk lalu berbalik.

"Kupikir ada sesuatu yang ingin kau katakan."

Zhura perlahan menghadap kembali pada gurunya. "Maafkan aku, kau pasti kecewa karena aku sudah mempermalukanmu, seharusnya aku berusaha lebih giat. Jangan segan-segan jika kau ingin menghukumku, aku akan menerima apapun itu asalkan Guru tidak marah."

"Tentu akan ada hukuman, tapi pertama-tama apa sebenarnya yang mengganggumu?" Mata birunya menyala ketika turun ke arah tubuh berbalut pakaian berwarna kuning pucat itu.

Zhura tercengang, ia kelimpungan mencari jawaban. Bahkan saat ia tahu tidak ada hal yang bisa ia sembunyikan dari Azhara, tetap saja ini terlalu mengejutkan. "Bayangan seseorang datang setiap kali aku mengarahkan panahku. Dia tersenyum dan juga menangis, dan lagi tubuhnya penuh luka seperti tersiksa. Dia memanggilku dengan sebutan yang tidak kukenal, aku tidak tahu kenapa dia merisakku," jelas Zhura mengulas kejadian tadi siang.

Kerutan datang di kening Azhara yang mengalihkan pandangan. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?"

Zhura lantas mendekatinya, "Apa maksudmu?"

"Tidakkah kau ingin mencoba memperbaiki situasi?"

"Aku sudah gagal, kesempatan hanya diberikan satu kali, 'kan?"

"Bagaimana jika ada kesempatan kedua?" Azhara menunjukkan sebuah surat berlabel raja pada Zhura.

Gadis bermata hijau itu menutup bibirnya dengan kedua tangan, ia menatap gurunya dengan pandangan lebar. Tidak pernah ia sangka Azhara akan meminta izin kepada ayahnya untuk memberikan kesempatan kedua bagi Zhura. "Lihatlah, kau sangat perhatian padaku. Apakah aku sudah menjadi murid yang terlalu teladan? Aku takut kau sebenarnya menyukaiku."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang