118. Berangkat

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon

.
.

Lima orang pemuda dan enam belas gadis suci duduk memegang tali kendali di atas kuda masing-masing. Mereka dalam tahap akhir pemberangkatan. Para gadis tampak sudah bersiap, sementara para pemuda di depan, masih sibuk mendiskusikan sesuatu. Inara juga di sana. Gadis elf itu membariskan kudanya di dekat para pangeran, mengingat koordinasinya dalam bidang penerawangan sangat dibutuhkan.

Mendongak, Zhura menatap langit pagi yang cerah seolah-olah mengantar kepergian mereka dengan riang. Tidak lama setelah itu, keningnya mengernyit saat gadis-gadis itu terus saja menatapnya. Dilihat dari segi penampilannya tak ada yang salah. Namun, mereka terus mencuri pandang seraya sesekali berbisik-bisik. Zhura bertanya-tanya keheranan. Terdengar desahan dari mulut Valea. Gadis merah itu memilih memusatkan perhatian pada lilitan kain pada pergelangan tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan.

Para gadis suci itu pasti sedang memikirkan ulang sikap mereka terhadap Zhura. Tentu saja, mereka telah menyaksikan sendiri apa yang terjadi di antara Zhura dan Azhara. Entah itu hanya mendelik atau bahkan mengolok, yakin saja mereka tak akan lagi berani melakukannya. Sepertinya mulai sekarang mereka akan jauh lebih berhati-hati dalam bersikap padanya.

Bayangan Azhara seperti tinggal dan tidak mau pergi, bahkan saat Zhura berusaha keras untuk mengusirnya jauh dari kepala. Pikirannya yang terpecah menjadikan ia kehilangan fokus. Para tetua membuatnya tetap di istana untuk mengatur kerajaan yang sedang kosong. Jadi, dia tidak ikut. Zhura menatap benda bundar perak yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jemarinya yang lain lekas terulur merabanya. Dingin adalah yang sensasi yang ia rasakan pada ujung jari, tapi hangat justru merasuk membuatnya kepanasan.

Zhura menyentuh dadanya. Kenapa jantungnya berdetak cepat lagi?

"Padang Rumput Tweddia adalah jalur yang sempurna, tapi di penghujung musim para penduduk akan mengubah fungsi padang itu menjadi padang gembala. Jadi tidak ada pilihan lain, kita harus melewati jalur alternatif di sisi sungai."

Di antara barisan depan rombongan, suara Ramia terdengar. Memegang peta, pemuda itu berdiri di samping kuda Aryana dan Asyaralia. Luther dan Vilois pun terlihat mengajukan satu dua pertanyaan di sana. Para pemuda yang mengatur, para gadis tidak mengambil pusing. Toh dilihat dari kehadiran lima orang pemuda di depan, sekarang perjalanan ini sudah tidak lagi diembel-embeli dengan kata gadis suci.

"Eh, lihatlah!"

Colekan Valea menarik atensi Zhura. Gadis merah mengarahkan telunjuknya ke depan. Gadis-gadis suci terdengar bergumam membicarakan seseorang yang baru datang. Rambut hitamnya yang panjang, diikat tinggi kuda. Seragam birunya tersembunyi di balik jubah putih berbahan tebal dan lembut, sama seperti yang Zhura dan gadis suci lain kenakan juga.

"Nona, kau datang." Ramia tersenyum, menyapa.

Arlia melirik Ramia, sebelum menggulirkan matanya ke arah para pengeran dan gadis-gadis. Zhura melihat tangannya bergetar, sementara tangan lain yang memegang tali kudanya mengendur. Benar saja, sedetik kemudian Arlia melepasnya, ia membiarkan kudanya berdiri sendiri, sementara ia mendekat pada para pangeran.

"Aku minta maaf," ujarnya.

Tak ada respon yang gadis itu terima.

"Maafkan aku. Tolong maafkan aku, Kak," ulang Arlia pada kedua pangeran. Asyaralia terlihat tidak tega, tapi ia membuang muka. Di sisi lain Aryana menunduk, menjatuhkan pandangannya pada tanah.

Menyadari tidak adanya niat seseorang untuk meresponnya lagi, Arlia tampak mengambil posisi berlutut. "Aku bersalah! Maaf, aku tidak pernah tahu semuanya akan menjadi seperti ini! Tolong ... maafkan aku." Suara Arlia menghilang di akhir kalimat, tertelan oleh isakan gadis elf itu. Ramia tampak gelisah, terlihat ingin menenangkan tapi juga kebingungan.

Aryana menaikkan pandangan, "Kau tidak bersalah, tidak perlu minta maaf."

"Tolong jangan bunuh ayahku! Hanya ... hanya dia yang aku punya! Kakak, hukum saja aku, tapi jangan bunuh dia! Kau boleh menghukumku apapun, tapi biarkan dia hidup!" ucap Arlia merendahkan kepalanya hingga menempel pada tanah.

"Kau adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan istana. Pendidikan dan wawasanmu tinggi. Setiap hari yang kau pelajari adalah buku-buku yang penuh dengan hukum. Dunia ini bukan lelucon, selalu ada aturan yang berlaku bagi setiap perilaku. Hanya karena dia ayahmu, kau jadi melupakan semua itu, Arlia?" tekan Aryana menatap sendu pada Arlia.

"Aku ingat! Aku tahu!" jawab Arlia mengangkat wajahnya dari tanah, sebelum kemudian mengusap sisa tangisannya. Bukan pada pemuda-pemuda di depan, mata sembabnya justru menatap Zhura. "Tapi dia bilang selalu ada kesempatan untuk kembali pada jalan yang benar. Selalu ada langkah bagi semua orang, untuk menyadari kesalahannya, bahkan ayahku."

Aryana terlihat berat saat menatap gadis bermata hazel itu. "Jadi apa maumu?" tanyanya.

Kontak mata mereka terputus, Arlia kembali mengarahkan atensinya pada Pangeran Aryana, "Aku akan ikut dalam perjalanan ini, untuk menyadarkan ayahku sendiri."

"Dan bagaimana jika ia menolak sadar? Apa lagi yang bisa kau usahakan, Arlia? Satu-satunya jalan adalah biarkan hukum yang menyadarkannya," timpal Aryana menyilangkan tangan di depan dada.

"Dia pasti sadar! Ayahku pasti kembali seperti sebelumnya!" sergah Arlia menganggukkan kepalanya dengan sorot mata penuh keyakinan.

"Kubilang jika seandainya dia teguh pada pendiriannya. Apa lagi yang bisa...-"

Arlia berseru, "Aku akan membunuhnya! Aku sendiri yang akan membunuhnya jika ia tidak mau kembali!

Zhura tersentak begitu juga dengan dua puluh punggung lainnya juga menegang. Bahkan para tetua yang menyaksikan kami dari balai terlihat menampilkan wajah terkejut. Zhura tidak tahu apa Arlia sudah memikirkan rencananya dengan matang, tapi mata gadis itu tidak bergerak menandakan ada tekad yang bulat.

"Baiklah, lakukan apa yang sudah kau putuskan." Aryana menghela napas berat. Ia berbalik menghadap ke arah para gadis suci. Sekarang Zhura dapat melihat dengan jelas, bagaimana raut wajahnya yang keruh kini berubah tegas.

"Kencangkan pelana kalian, kita berangkat sekarang!!!"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang