142. Saudara

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Zhura mengulurkan tangan menggapai ajakan sosok bergaun merah itu. Ia dihela berjalan melewati kegelapan. Mata lembut dan genggaman Sacia yang hangat terasa sangat nyaman. Tidak bisa dipungkiri, Zhura merasa tenang. Diam-diam ia perhatikan punggung wanita itu dari belakang. Sesuatu yang menyakitkan tiba-tiba menyeruak, perasaannya terasa sama seperti ia baru saja menemukan sesuatu yang hilang.

Ia menatap langkah kaki Sacia yang ringan tapi cepat seakan-akan mereka sedang dikejar sesuatu. Dia adalah sosok yang teman-temannya sebut sebagai orang jahat, tapi Zhura bahkan tidak melihat sorot tajamnya seolah-olah dia adalah orang lain.

Berhenti.

Langkah kaki mereka habis di sana. Sacia melepaskan genggaman tangannya, menatap Zhura lurus. "Di sini, semuanya akan di mulai. Kehidupan baru akan datang di tempat di mana kau tidak akan pergi lagi. Sebelum itu, kau harus melihat ini. Yang dipertanyakan akan terkuak, tentang kita begitu pun dunia ini," tukas Sacia menguarkan cahaya merah dari telapak tangannya.

Sebuah bayangan seketika muncul dengan kabur di atas mereka. Zhura sipitkan mata melihat bayangan yang berisi kilasan memori seseorang. Di sana ada dua gadis kecil tengah bermain di sisi kolam yang dipenuhi bunga merah muda. Raut senang dan gembira tampak jelas pada mereka layaknya anak kecil biasa. Kilasan berlanjut pada dua gadis kecil itu yang dikelilingi banyak orang. Para penduduk bersujud dan memuja mereka yang duduk di singgasana.

"Pewarisan kekuatan dan tanggung jawab leluhur. Hari itu menjadi saat di mana kami tidak bisa lagi merasakan hal yang disebut kebebasan. Kami adalah Dewi Agung." Suara Sacia bergetar, menggemuruh di antara riuhnya pikiran Zhura.

Dari kilasan itu dapat dipahami bahwa kehidupan dua orang gadis itu berubah drastis. Kaki mereka tidak lagi menginjak tanah. Semua yang mereka butuhkan selalu dipenuhi oleh orang-orang. Tumbuh dengan segala kemampuan, membuat tanggung jawab besar berada di pundak mereka. Anak-anak biasa yang periang hilang, tergantikan dengan sosok gadis-gadis berwajah murung yang dipuja-puja rakyat.

"Dia adalah Macia," ujar Sacia membawa kilasan berisi gadis muda bermata violet yang menulis sesuatu di tanah. Zhura pernah melihatnya, sosok bermata violet itu adalah sosok yang selalu mendatanginya.

"Kami hanya gadis biasa yang terpilih menjadi utusan sang penguasa. Pewaris. Jutaan tahun mengabdi dan menjaga kedamaian seluruh dunia. Mengerjakan tugas yang tidak pernah berhenti."

Kilasan itu menggelap, berganti menjadi bayangan penuh gambar suram. Dataran luluh lantah, tanah tidak ada bedanya lagi dengan lautan merah. Dua orang gadis bersiteru saling membunuh. Zhura mengamati baik-baik mereka hingga ia akhirnya sadar satu hal. Sosok bergaun merah di depannya dan wanita bermata violet, Sacia dan Macia, mereka adalah kakak beradik.

Wanita bermata violet yang selalu ia temui tidak tampak seperti orang jahat. Daripada itu, sosoknya selalu mengingatkannya pada kesedihan. "Kalian berdua adalah saudara. Kenapa saling menyakiti? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Sebagai seorang pewaris dia menyalahi aturan. Terjebak sifat manusiawinya, ia mengkhianati kodratnya. Ia meninggalkanku bersama beban yang harus kupikul dengan rasa sakit." Sacia menatap langit gelap seolah menerawang sesuatu di sana. "Tidak cukup dengan itu, ia bahkan membunuhku."

Zhura terlonjak mendengar perkataannya, "Macia membunuhmu?!"

Wanita itu meletakkan jemarinya di dada, lalu tersenyum asimetris. "Rasanya menyakitkan. Aku bukanlah makhluk yang bisa mati hanya karena terluka. Ia lupa bahwa inti jiwaku akan terus ada sampai Macia sendiri juga mati. Satu-satunya yang bisa membunuhku adalah kematian Macia sendiri."

Jadi, Sacia hanya akan mati jika kehidupan Macia juga berakhir? Zhura mengedarkan pandangannya, "Karena kau ada di sini, lalu di mana Macia?"

Wanita bergaun merah tertawa untuk kemudian menunjukkan jarinya ke arahnya, "Dia ada di dalam dirimu. Dalam pertempuran kami, dia juga mati. Tapi sebelum benar-benar lenyap, ia mewariskan potongan jiwanya padamu. Kau adalah dia. Karena dia hidup dalam dirimu, maka aku masih hidup."

Itulah sebabnya ia selalu muncul? Tapi bagaimana bisa seorang dari masa lalu menjadikannya sebagai wadah dari kepingan jiwanya?

"Apapun keadaannya kau adalah bagian dariku. Kehidupanku adalah kehidupanmu, karena itu biarkan aku menebus semua kesalahanku dengan menciptakan dunia di mana kita bisa menjadi diri kita sendiri." Sebuah pintu dengan tiba-tiba muncul di samping memutihkan. Sacia mengulurkan tangan, "Ayo, pergi. Bersama, kita akan buat semua mimpi menjadi kenyataan."

Uluran tangan itu begitu mantap dan teguh. Zhura tidak tahu kenapa ia selalu bergerak mematuhinya. Apakah rasa bersalah? Mungkin saja perasaan Macia yang terhubung ke dalam dirinya membuat ia selalu mengikuti apapun yang dikatakan Sacia. Hanya saja, ada perasaan lain yang baru membuncah saat ia membuka langkah kaki. Kebimbangan.

Pada saat yang sama, tangannya tertahan di tengah-tengah pintu. Sacia menyadarinya, kini ia menatap pergelangan tangan Zhura di mana gelang perak itu melingkar. Gelang Arbutus yang hanya bisa dilepas oleh orang yang memakaikannya. Hanya Azhara yang bisa melepasnya. Entah bagaimana benda itu tak bisa menembus pintu Sacia.

"Jadi, ia juga kembali? Beraninya dia menandaimu." Suaranya lirih tapi terdengar penuh emosi.

Pada saat itu Zhura menyadari perubahan raut Sacia yang kontras dengan sebelumnya. Aura tentram yang ia rasakan lenyap. Tatapan berubah menusuk, mengibarkan perasaan gundah. Dari tangan Sacia muncul pedang tajam yang kemudian ia arahkan pada gelang di tangan Zhura

"Jangan menyentuhnya!"

Gerakannya terhenti, "Benda ini menghalangi langkah rencana kita. Bukankah sebaiknya harus disingkirkan?!"

Zhura mendadak kosong saat mendengar nada suaranya. Ia seperti orang yang kalang kabut. "Tapi, ini pemberian seseorang. Dia sudah bersusah payah bersaing dengan jutaan orang hanya untuk mendapatkannya. Aku tidak bisa membiarkanmu merusaknya."

Di antara kegelapan, mata Sacia yang terbuka lebar kini menyipit dingin. "Kalau begitu kita potong saja tanganmu."

"Tidak!"

"Tidak ada kata tapi! Kau bilang ingin mewujudkan mimpi semua orang! Gelang ini harus disingkirkan atau dunia yang indah itu tidak akan terwujud!"

"Tolong, jangan sentuh itu!" Zhura menggeleng, berusaha sekuat mungkin melepaskan tangannya yang semakin dikekang.

"Jangan khawatir! Ini tidak akan sakit! Tidak boleh ada yang menghalangiku! Bahkan dia!" seru Sacia menggoreskan ujung pedangnya pada pergelangan tangannya.

"Hentikan!"

Rasa takut yang teramat membuat air mata Zhura keluar. Melihatnya berusaha merusak pemberian Azhara melahirkan perasaan marah dan bingung pada saat bersamaan.

"Aargh!" Zhura menggelengkan kepalanya. Sekelebat perasaan marahnya tadi meledak. Tanpa bisa dijelaskan tubuhnya bertindak mempertahankan dirinya dengan menyerang Sacia.

"Kau ... menusukku?" Gerakan Sacia terhenti. Ditatapnya nyalang sebelah tangan Zhura yang kini masih menancapkan sebilah pisau pada dada kirinya. Senyum sedih ia tunjukkan bersama wajah kecewa.

  

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang