66. Pergi

55 23 9
                                    

Setelah kembali dari kediaman Tuan Minra, Azhara hendak memasuki paviliunnya. Namun, ia melihat ada asap melayang dari halaman belakang. Segera ia bergegas masuk ke dalam dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di sana, Carmina tengah sibuk membakar sesuatu. Azhara melebarkan matanya saat melihat wanita itu hendak membakar layangan putihnya.

"Lancang!" serunya membuat Carmina terkejut.

"Yang Mulia, Anda sudah kembali?" Wanita muda itu diterpa ketakutan yang luar biasa. Itu terlihat jelas dari caranya mundur begitu Azhara mendekatinya.

"Siapa yang mengizinkanmu membakar benda-benda itu?" tanya Azhara seraya mengulurkan tangannya ke kobaran api. Detik itu juga, api itu padam menyisakan asap tipis yang mengganggu.

"Sa-saya ... saya hanya menuruti perintah. Setelah peristiwa kemarin, Yang Mulia Raja memberikan perintah untuk memusnahkan semuanya yang berhubungan dengan Lailla. Saya tidak bisa mengabaikan permintaan beliau," jawab Carmina menjatuhkan pandangan jelaganya ke rerumputan.

Setengah bagian dari layangan itu sudah terbakar hingga menyisakan kerangka bambunya, hanya separuh bagiannya yang masih utuh. Azhara mengambilnya dengan hati-hati, berharap itu masih bisa diselamatkan.

Carmina menelan ludah, berusaha memberanikan diri untuk berujar lagi, "Bukankah itu hanya layangan biasa? Saya bisa membuatnya lagi jika Anda mau."

Azhara mengusap sisa-sisa layangannya. Baginya benda apapun tak akan pernah setara dengan layangan ini. Itu karena di layangannya Azhara menuliskan doa, dan ia tidak bisa membiarkan orang lain merusaknya sebelum doanya itu dikabulkan.

"Apa Anda tidak ingin mematuhi perintah Raja dan memilih menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan Lailla? Apa jangan-jangan Anda sungguh memiliki perasaan khusus untuknya?" tanya Carmina saat melihat Azhara begitu menyayangi benda itu.

"Siapa kau hingga beraninya mendebatku?" balas Azhara dengan nada tajam. Pemuda itu kemudian berjalan mendekati Carmina. Dengan wajah marah, ia berkata, "Kau pikir aku bodoh seperti orang-orang Sejak awal aku tahu kaulah yang menjebak Lailla! Kau melukai dirimu sendiri dengan senjata Sang dan menuduh dia yang melakukan tindakan keji itu!"

"A-apa?" Carmina tak pernah menyangka bahwa Azhara diam-diam mengetahui kejadian sebenarnya tapi tetap memilih bungkam.

Menyadari lawan bicaranya tak berkutik, Azhara semakin marah hingga mencekal rahang wanita itu. "Aku tahu kau membencinya karena dia memiliki perasaan yang sama denganmu! Kau menganggapnya saingan! Kau menjadikan dia kambing hitam dan menjerumuskannya pada hukuman yang tidak seharusnya ia terima!"

Carmina sangat takut hingga air matanya keluar, tapi ia tidak meminta dilepaskan. Ia malah mengulas senyuman meremehkan. "Jika sejak awal Anda sudah tahu, lalu kenapa Anda memilih menghukumnya? Jadi benar kau menaruh perasaan padanya?"

"Itu bukan urusanmu!" sentak Azhara seraya melepaskan cengkeramannya dari wajah itu. Jantung pemuda itu mulai berdenyut hebat, rasa sakit segera datang tanda jarum itu aktif. Tawa parau keluar dari bibir Carmina saat ia menyadari keberadaan jarum itu di jantung Azhara.

"Pada akhirnya, setelah semua yang kulakukan, tetap saja dia yang menang. Tak peduli seberapa besar aku mencoba, kau sungguh tak pernah menoleh padaku. Tapi dengan Lailla, kau bahkan rela mempertaruhkan segalanya bahkan nyawamu! Kenapa?! Kenapa?!" tanya wanita itu sembari terisak bersimpuh di rerumputan.

Jika saja Azhara memiliki jawabannya, ia sendiri bahkan masih mencarinya.

"Azhara, aku berada di sisimu sejak ribuan tahun, meski aku hanya melayanimu sebagai pelayan, tapi setiap saatnya terasa begitu menyenangkan. Aku rela mengabaikan kehidupanku dan setia menemanimu sebagai bentuk rasa cintaku. Tapi Lailla baru saja datang! Dia hanya gadis asing yang tiba-tiba merusak segalanya! Dia merebutmu dariku!"

"Diam kau!" seru Azhara, mati-matian menahan rasa sakit di dadanya.

Carmina berdiri, ia sangat khawatir pada Azhara yang tampak menderita. "Kau benar-benar akan membunuh dirimu sendiri, perasaan itu akan menjadi bencana. Kumohon menyerahlah," pinta wanita itu mendekati tuannya.

"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu," gertak pemuda itu, lalu menunjuk ke luar dengan telunjuknya. "Mulai detik ini, kau bukan lagi bagian dari tempat ini.  Aku bukan lagi tuanmu, sekarang semuanya sudah berlalu dan selesai. Silakan kemasi barangmu dan enyahlah! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"

***

Malam perayaan tahun baru tiba. Semua orang keluar rumah dan merayakan pergantian tahun dengan penuh suka cita dan rasa syukur. Berbagai macam ras menjadi satu, mereka bergabung membuat jalan yang dihiasi banyak hiasan khas jadi terlihat semakin ramai. Malam datang begitu gemerlap, suara ingar bingar orang-orang menjadikan suasana begitu meriah. Hal itu terjadi di setiap sudut wilayah.

"Apa kau sudah siap?"

Zhura menoleh, ia melihat Valea datang bersama Inara. Ditatapnya keramaian di luar jendela kamarnya. Istana membuka semua gerbangnya untuk membiarkan oang-orang masuk merayakan perayaan bersama. Jadi, pemandangan di tempat ini pun tampak begitu padat. Sudut bibirnya berkedut, Zhura mencari rasa lega karena sebentar lagi ia akan terlepas dari tugasnya. Namun, yang ada justru rasa segan, entah bagaimana meninggalkan semua ini terasa berat.

Tapi ia tidak bisa mundur. "Tentu saja."

"Kalau begitu ayo pergi." Valea memimpin lebih dulu, Inara berjalan setelahnya. Zhura mengambil tasnya yang besar, lalu berdiri memperhatikan sekeliling kamarnya. Setelah ini, dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di kamar ini lagi. Disentuh kalung belati kecil di lehernya, dalam hati Zhura berusaha menguatkan tekad sebelum kemudian menyusul pada kedua temannya.

"Pastikan kita membaur dengan baik."

Mereka berjalan dengan santai, bergabung bersama orang-orang. Dengan penyamaran yang sempurna, mereka sukses membaur dengan sekeliling. Terkadang mereka harus bersembunyi untuk menghindari penjaga istana yang sedang berpatroli. Berbagai macam persiapan yang matang membuat Zhura dan teman-temannya tidak kesulitan mencari jalan keluar.

Zhura menghentikan langkahnya saat mereka tiba di depan gerbang keluar. Gadis itu teringat perkataan Ibu Suri pada tempo hari. 'Tidakkah kau terpikirkan bahwa Azhara bisa saja menyembunyikan sesuatu? Dia mungkin memutuskan kau menjadi tersangka penyerangan itu untuk mencegahmu mendapatkan hukuman lain yang lebih menyakitkan.'

Tidak, Zhura tidak pernah memikirkannya. Namun, setelah dipikirkan lagi, keraguan itu hadir di dalam dirinya. Mungkinkah Azhara menyembunyikan sesuatu dengan menunjuknya sebagai tersangka? Jika itu benar, apa yang sebenarnya ia sembunyikan? Zhura dilanda gaduh di dalam kepalanya. Ia tak pernah menyangka akan sesulit ini beralih ke arah yang baru.

"Zhura!" panggil Valea.

Benar, sekarang hanya ada Zhura. Gadis bernama Lailla sudah pergi bersama semua kenangan dan perasaan itu. Setelah ini, ia hanya akan melihat ke depan. Ia sudah berjanji tidak akan memikirkannya apapun mengenai Azhara, dan ia tidak akan pernah mengingkarinya. Dengan mantap, Zhura melangkah keluar dari gerbang besar itu dan bergabung bersama teman-temannya.

Mereka berjalan beriringan, membelah keramaian kota. Satu dua orang menyenggol bahunya, tapi Zhura tak menghiraukannya. Beberapa jam berjalan, mereka sampai di tempat penitipan kuda. Valea sudah menyiapkan dua ekor kuda untuk membawa mereka pergi. Entah kuda itu miliknya atau hanya Valea sewa, tapi Zhura tidak ingin mengetahuinya.

Valea mengendarai seorang diri, sementara Inara mengendarai kuda itu bersama Zhura. Malam sudah semakin larut, mereka tidak boleh mengulur waktu dan bergegas. Ketika mereka memacu kuda-kuda itu, suara keras terdengar. Itu adalah kembang api yang dinyalakan di seluruh wilayah. Warga bersorak-sorai menyambut datangnya tahun baru dengan ramai.

Gadis bermata emerald itu mendongak, sorotnya sendu menatap percikan-percikan berwarna-warni di langit. Kedua tangannya naik memeluk tubuhnya sendiri karena riuh ramai orang-orang terlalui dengan dingin. Sayang seribu sayang, pemandangan yang sebenarnya indah itu ternyata hanya menjadi pengiring perjalanan Zhura melupakan segala hal di belakangnya.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang