105. Sumbu Kering

4 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Langit malam bergemuruh, tiada bulan atau pun bintang yang cukup luang untuk menemaninya. Petir itu terdengar dekat bersaut-sautan di atas awan gelap yang menggulung. Zhura melirik sosok di sisinya, lalu mengembuskan napas panjang. Azhara terus larut dalam keheningan. Mungkin semua hal memang sedang bergumul pada kesibukannya. Entah bagaimana Zhura baru sadar satu hal, dan itu membuatnya risih. Kejadian waktu itu mengubah bagaimana Azhara menatapnya, bahkan dia belum mengeluarkan satu kata pun sejak terbangun

"Hei, apa kau marah?" tanya Zhura mulai membakar ikan yang ia tangkap di atasnya api unggun. Mereka sudah berkuda selama beberapa jam dari tempat Sanguina. Kini, masih tersisa setengah perjalanan lagi. Jika semuanya lancar, maka mereka akan sampai di istana besok siang.

Karena tak ada jawaban, gadis itu pun berdecak. Dia merasa berbicara pada Azhara yang dulu. "Aku minta maaf karena melukaimu kemarin, tapi aku melakukannya agar kau tidak menyakiti dirimu sendiri. Kau tahu, aku sangat khawatir, tahu," tuturnya.

Azhara terkesiap seraya membuka tudung jubahnya, kini surai peraknya menyembul. Ia merasakan aura keberadaan musuh yang mendekat. Seperti perkiraannya, pasukan kemarin memang belum sepenuhnya mundur. Orang-orang Shar itu jauh lebih ambisius daripada seharusnya. Mereka benar-benar mengabaikan segala macam risiko dengan tetap mengusiknya. Jika kali ini mereka kembali melakukan penyerangan, dengan keadaan Azhara saat ia tidak bisa melindungi Zhura. Bahkan dirinya sendiri bisa saja mencoba membunuh gadis itu seperti sebelumnya.

"Pergilah."

Zhura menoleh saat Azhara akhirnya membuka suara.

"Aku ingin kau pergi," ulang Azhara.

"Kenapa tiba-tiba menyuruhku pergi?" Zhura tak acuh, menarik perhatiannya kembali. Tubuhnya sangat kelelahan, ia sedang tak ingin melayani omong kosong.

"Aku serius! Kau harus pergi! Ke mana pun, asalkan jangan ke istana!" seru Azhara mencengkram tangan Zhura, memaksanya berdiri. Dengan kuat pemuda itu menariknya ke arah kuda yang kini terikat di pohon.

Zhura yang memberontak membuat mereka hampir terjatuh. Rintihan kesakitan keluar dari bibirnya saat ia akhirnya dapat melepaskan cengkraman itu.

"Ada apa sih denganmu?!"

"Kau harus pergi!" Azhara mengerjap kalut. Ia tak bisa menahan rasa takutnya saat merasakan musuh itu semakin mendekat. Saat ini keselamatan Zhura terancam.

"Jadi, kau memintaku kabur?! Tidak, aku tidak akan pergi ke mana pun kecuali membawa penawar ini ke istana!"

Azhara mengerjap saat jantungnya berdentum. Jubah tebal yang membungkus tubuhnya seketika terasa berat dan dingin. Pertahankan akan roh itu mulai diambang batas, lebih buruk lagi pergolakan batinnya menyisakan satu langkah akhir bagi kekuatan jahat itu untuk menguasainya. Sorot kesedihan terpatri di garis halus wajahnya. Ia menyadari bahwa Zhura tidak akan pergi semudah yang ia perintahkan. Tidak ada cara lain, ia harus membuat gadis itu meninggalkannya.

"Aku sudah muak. Aku mengalami penderitaan setiap kali bersamamu! Dengan kau berada di dekatku, itu hanya akan membuatku terbunuh secara perlahan! Jadi, kumohon pergilah sejauh mungkin dari hadapanku!" seru Azhara menjatuhkan pandangan pada api unggun. Bagai melangkah di sisi jurang berduri, ia tidak sanggup memalingkan wajahnya terutama pada gadis itu.

"Apa maksudmu? Kenapa kau jadi mengatakan hal seperti itu?" Zhura berharap baru saja telinganya salah dengar.

Lonjakan emosional membentuk pusaran badai dibalik terbitnya senyum miring pemuda itu. "Kau tahu? Keputusanku memasukkan kau ke hidupku adalah sebuah bencana. Sebelumnya, hidupku memang sepi dan gelap, tapi aku merasa aman di sana. Namun, kau datang dan berkata bahwa aku sama seperti kalian. Kau memaksaku keluar dan menjalani pengalaman yang kau sebut sebagai kehidupan normal. Saat itu aku sangat menderita, karenamu aku tersiksa."

"Jangan bercanda seperti ini. Kau sedang berbohong, 'kan?" Zhura berusaha menarik senyumnya. Kenapa tiba-tiba pemuda itu bersikap jahat padanya?

Azhara meringis, ia jatuh saat kedua kakinya mulai tak sanggup ia kendalikan. Zhura mendekat, tapi pemuda itu menahannya dengan dingin. Jari telunjuk menunjuk iris putihnya yang tergenang air. Azhara yang hampir saja menampakkan perasaan laranya, dengan cepat membuat ekspresi marah.

"Mataku membuta, telingaku teredam, semua indraku diambil. Aku tidak lagi mempunyai apapun, bahkan ketenangan. Ini adalah hukuman yang harus aku jalani karena menyelamatkan nyawamu dengan mengeluarkan jarum itu. Hari demi hari yang kujalani terasa seperti racun, aku sudah lelah berpura-pura. Tolong, berhentilah membuatku gila!"

"Tidak mungkin! Ini semua omong kosong!" Kepungan rasa gelap menggunung di batin Zhura.

"Aku tidak pernah sejujur ini sebelumnya. Sejak saat kau memilihku jadi gurumu, detik itu juga aku tidak lagi merasa tenang. Aku seperti dipaksa terus berlari tanpa tujuan. Kau berpikir bahwa aku berubah, tapi yang kulakukan hanya bersandiwara. Ternyata kau terlalu jauh menarikku, tanpa sadar sadar bahwa aku tidak menginginkannya."

"Aku tidak percaya, sebelumnya kita baik-baik saja!" Zhura mulai terisak, "Kau pasti menyembunyikan sesuatu! Katakan, ayo kita cari jalan keluarnya bersama!"

Azhara tertawa kecil yang sebenarnya adalah tanda puncak kenestapaan. "Satu-satunya yang aku sembunyikan adalah seberapa besar harapanku agar kau mati. Bagiku, kau bahkan tak lebih dari pembawa sial."

Meskipun ia berpikir kalau yang Azhara katakan adalah kebohongan, tapi hatinya teriris mendengar penuturan itu. Ia mengangkat sebelah lengan, menunjukkan gelang untaian sayap di pergelangan tangan kanannya. "Kalau kau benar-benar membenciku dan ingin aku mati, kau tidak akan memberiku gelang ini. Kau sendiri yang bilang, dengan gelang ini tidak akan ada yang bisa menyakitiku. Lewat benda ini, kau melindungiku."

"Tidak, aku memberikannya bukan karena aku peduli. Gelang itu memang menangkal marabahaya, tapi aku memberikannya agar kau tidak merepotkanku ketika kau dalam masalah. Tapi kau mengartikannya secara berbeda, dirimu benar-benar sudah salah paham," jawab pemuda itu kemudian mengambil sebelah tangan Zhura, melepaskan gelangnya. Saat itu juga ia bisa merasakan jemari gadis itu yang bergetar.

"Kau bukan hanya racun, tapi juga malapetaka bagiku. Jika berarti membuangmu bisa membuatku tenang, maka aku terpaksa melakukan ini," ungkap Azhara lalu membakar gelang itu dengan api birunya. Dalam sekejap, benda itu hangus dan menjadi abu yang berjatuhan di tanah. "Mulai sekarang aku benar-benar mengakhiri semuanya. Pergilah sejauh mungkin dari hadapanku!"

Zhura mengangguk berat, tak kuasa menahan air matanya yang mengalir deras. Tubuhnya membungkuk, ditatapnya abu hitam itu dengan rasa hancur. Hatinya patah, bodohnya ia membiarkan itu terjadi untuk yang kedua kali. Senyum kecil seketika tercetak dari bibirnya ketika bayangan hari-hari kebersamaan mereka terkilas. Ujung harapannya terkelupas menggapai angin dan terbang melayang di udara. Semuanya di antara mereka ternyata memang tidak pernah dimulai, setidaknya di satu sisi.

"Aku akan pergi, hanya setelah," Zhura menunjukkan penawar racun teratai bulan yang ia dapatkan dari Sanguina, "memberikan ini. Bagaimana pun ini adalah pekerjaanku, harus kuselesaikan tanggung jawab terakhir ini sebelum pergi sesuai keinginanmu!"

"Jangan kembali ke istana!" Azhara merengut. Ia hendak mengambil penawar itu, tapi Zhura lebih dulu menyimpannya.

"Maaf, jika aku pernah membuatmu tersiksa, mulai sekarang aku tidak akan mengganggumu lagi. Selamat tinggal!" Rasa sakit yang dahsyat memaksakan berbalik. Zhura melempar bola sutra yang pernah Azhara berikan ke tanah, kemudian memacu kudanya pergi. Ia melaju kencang bersaing bersama angin malam. Air mata Zhura tak bisa berhenti mengalir, itu membuatnya tak bisa melihat jalan dengan baik. Separuh jiwanya yang tertinggal di sana membuatnya linglung.

Kesesakan meremukkan jantungnya, penderitaan itu memaksanya terus berpacu menjauh. Dengan kekecewaan, Zhura memahat hatinya keras. Lilin akan merasa bahagia jika dia menyala untuk orang yang mengagumi cahayanya. Jika ternyata orang yang mengagumi cahayanya tidak pernah puas, maka seperti dulu, tak ada lagi alasan untuknya tetap menyala.

Pada akhirnya, sumbunya kering dan ia benar-benar ditakdirkan menjadi lilin yang dingin.


The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang