55. Terkoyak

77 27 2
                                    

"Dia menyudutkan dirimu, apa kau punya sangkalan?"

Suara Carmina tadi terdengar seperti gong yang dipukul berulang kali, dan itu baru bergema saat Tuan Minra mengajukan pertanyaan tersebut.

Azhara keluar dari perenungannya, ia berjalan ke sisi Zhura. "Mohon Ayahanda untuk menyelidiki ini sekali lagi. Azhara yakin hal yang dituduhkan kepadanya adalah kesalahpahaman. Gadis ini selalu berperangai baik dan mematuhi peraturan. Dia tidak mungkin melakukan tindakan ini," jelasnya pada Raja Amarhaz.

"Situasi istana sedang kacau, banyak hal terjadi di luar kendali. Aku akan menganggap ini sebagai bentuk kelalaianmu sebagai gurunya. Semuanya bisa kembali seperti semula hanya jika Lailla mengakui bahwa ia tidak memiliki obsesi itu." Raja Amarhaz mengambil jalan tengah.

Carmina tidak puas dengan jawabannya, ia lantas kembali berujar, "Kenapa Yang Mulia Azhara sangat yakin kalau Lailla tidak bersalah? Padahal semua bukti mengarah padanya. Apakah jangan-jangan sejak awal Anda sudah tahu perasaan Lailla yang sebenarnya? Atau justru Anda yang sudah terpengaruh dengan gadis ini?"

Pertanyaan itu sontak saja menimbulkan benak orang-orang termasuk Zhura berpikir keras. "Apa sekarang kau berani mencurigaiku?" tanya Azhara menatap wanita muda itu dengan tajam.

"Carmina tidak mencurigai Anda, saya hanya penasaran kenapa Anda sangat peduli terhadap Lailla. Meskipun tidak mungkin, tapi saya ingin memastikan bahwa Anda tidak mempunyai perasaan apapun padanya, 'kan?"

Zhura membatu, tak ingat mengambil napas akan terasa seberat ini. Valea menatap gusar pemandangan di depannya. Semenjak melihat gelang di tangan Zhura, ia tahu situasi ini pasti akan terjadi.

"Aku tahu apa yang aku rasakan, kau tidak perlu ikut campur," gertak pemuda itu.

Camina gemetar melihat tatapan Azhara yang menusuk, tapi ia tidak menyerah. "Kalau begitu kenapa saya melihat hal lain? Anda sepertinya sangat nyaman berada di sisinya. Setiap kali saya melihat interaksi kalian, saya melihat ada hubungan yang sangat dekat. Jangan bilang Anda sudah goyah dan melanggar peraturan?"

"Lancang!"

"Azhara!" Raja Amarhaz berseru mengejutkan semua orang. Napasnya naik turun dengan cepat, wajahnya memerah tanda derasnya aliran darah yang mengalir ke otaknya. "Apa itu benar?! Yang dikatakan Carmina, itu adalah kebenaran?! Kau tidak patuh pada aturan?!"

Pemuda perak itu menghela napasnya, menahan gejolak emosi yang sempat memuncak. "Azhara tidak berani menantang perintah Ayah."

"Katakan saja benar atau tidak?!" sergah ayahnya naik pitam.

Tuan Minra meminta Raja Amarhaz untuk menekan amarahnya. Setelah memastikan pria tua di sisinya lebih baik, Tuan Minra beralih pada Lailla.

"Nak, siapa Azhara bagimu?"

"Aku tidak tahu," jawab Zhura diikuti reaksi keheranan orang-orang.

"Apa maksudmu?" Azhara gelisah.

"Kau ingin aku menganggapmu apa? Kalau kau ingin aku memandangmu sebagai guru, aku akan melakukannya. Apapun, asalkan kau senang." Zhura tersenyum, tidak lagi bisa menyembunyikan perasaannya. "Maaf karena lancang, tapi perasaan itu benar-benar ada. Aku tidak ingat kapan itu datang, saat kusadari itu sudah mengakar. Sekarang aku hanya ingin terus berada di sisimu."

"Hentikan omong kosong ini." Azhara kalut dalam diam. "Sekarang akui saja kalau kau tidak punya perasaan apapun dan semuanya akan kembali seperti semula!"

"Kau sungguh berambisi mendapatkan hati Yang Mulia?!" tanya Carmina.

"Ambisi atau obsesi itu, aku tidak memilikinya! Perasaanku pada Azhara suci, aku tidak akan menodainya dengan keburukan atau tindakan jahat seperti itu," sergah Zhura terdengar kelelahan. "Aku tidak pernah menyakiti siapa pun."

"Jadi, kau benar-benar punya perasaan pada Azhara?" tanya Raja Amarhaz, tercengang.

Zhura mengangguk.

Kegilaan semakin merasuki diri Azhara.

Lagi-lagi Raja Amarhaz menginterupsi kekalutan itu. "Azhara, seperti apa kau memandang gadis itu?"

Azhara menatap lebar Zhura. Saat iris mereka beradu, keduanya saling bertukar sudut pandang yang memerangkap. Begitu dalam, pemuda itu membiarkan dirinya tenggelam di sana. Ia tidak pernah mengenal apa rasa candu, hingga ia melihat sepasang iris hijau itu. Namun, bagian terpenting dari takdirnya adalah memastikan bahwa semua orang akan hidup damai.

Dan perasaan itu adalah ancaman bagi kedamaian.

Aturan yang membatasi keinginan Azhara bukan hanya sekedar hukum lisan, aturan itu juga tertulis pada hitam di atas putih. Pemuda itu tidak punya hati yang diperuntukkan untuk merasakan kasih. Sejak dulu, hidupnya adalah tentang mengabdi dan berkorban. Namun, ia lengah dan membiarkan gadis itu masuk terlalu dalam. Azhara tidak ingin melihat dia dilenyapkan. Jika ia meneruskan hasratnya, tak ada orang lain yang paling terluka selain Zhura.

"Tidak lebih dari seorang murid." Pemuda itu tak bisa menahan sorotan tajam yang tertuju pada ayahnya.

Senyum miring keluar dari bibir Zhura.

"Baiklah." Raja Amarhaz menyadari kemarahan itu, tapi ia mengabaikannya karena bagaimanapun dirinya tidak bisa terlalu keras pada Azhara.

Tuan Minra mengambil alih. "Karena Anda adalah gurunya, apa yang akan Anda lakukan saat melihat muridmu menyerang orang lain dan menyalahi aturan?"

Pemuda itu mengangguk, lalu menjauhi gadis di sisinya dengan langkah mundur. Di mata Zhura, raut pemuda itu tampak sedingin saat pertama kali mereka bertemu. Hanya ketika suaranya kembali terdengar, pandangan Azhara justru luruh ke bawah.

"Sesuai aturan, orang yang tak dapat mengendalikan diri dari belenggu kedengkian akan dihukum dengan tikaman jarum penyegel jiwa."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang