82. Kembalinya Gelora

29 14 4
                                    

Zhura sedang sibuk menggambar ulang peta yang diambil oleh orang-orang Shar menggunakan sisa-sisa ingatannya. Meskipun tidak rapi, tapi asalkan ia paham cara membaca jalur-jalurnya, maka itu sudah cukup. Ketika ia hampir menyelesaikan petanya, Yara tiba-tiba datang dan memaksa Zhura menggulung kembali kertasnya.

"Kakak Vi!" Yara membungkuk kelelahan, menunjuk ke luar tenda seraya terengah-engah. Bibirnya yang kecil terbuka lebar meraup udara ke dalam paru-parunya. Zhura bangkit dan berlari ke luar. Segera setelah itu, ia terpana. Tidak disangka, banyak sekali orang yang memenuhi penjuru padang, sepertinya perayaan sudah dimulai. Pantas saja ia terus mendengar suara bising sejak tadi.

"Tunggu dulu, aku belum selesai menjelaskan!" Yara menyusul dengan tertatih. "Kakak Vi ikut pertandingan pacu kuda! Dia ada di sana!"

"Apa? Bagaimana bisa dia melakukannya?" Zhura mengambil tangan Yara dan mengajaknya berlari. Yara yang tak siap akan tarikan hampir terjungkal.

"Gila, kau seperti singa! Larimu cepat sekali!"

Beberapa saat berlari, mereka sampai di tempat lomba pacuan kuda. Ratusan orang sudah berdiri mengelilingi pagar pembatas, menyoraki peserta lomba. Dari balik pagar juga, Zhura dapat melihat Azhara sudah bersiap dengan kuda putihnya. Bendera sudah dinaikkan, pertandingannya akan dimulai. Seseorang menghitung mundur hingga suara terompet terdengar melengking. Puluhan kuda-kuda itu kini berlari saling berebut tempat di depan.

"Lihat, itu Kakak Vi!" Yara menunjuk Azhara dengan riang.

Zhura menggigit bibirnya, kedua alisnya pun bertaut saat ia merasa takut kalau Azhara akan terluka. Sekarang, ia sudah terlambat untuk menahannya. Gerombolan berkuda itu berpacu semakin menjauh. Ada beberapa yang memimpin, ada yang kudanya memberontak tak ingin dikendalikan, dan beberapa diantaranya melangkah pelan di belakang. Siapa yang mengira, Azhara bersaing bersama beberapa pemuda untuk meraih posisi di depan.

"Kenapa orang-orang begitu tertarik dengan pertandingan ini?" Zhura menyipit mata mengikuti lari kuda-kuda itu yang semakin jauh.

"Bola sutra itu, harganya setara dengan lima bidang tanah. Sangat tidak wajar kalau seseorang tidak menginginkannya," jawab Yara berbicara di tengah kerumunan yang bersorak.

Azhara yang hanya mengandalkan pendengaran, tentu saja sangat sulit untuk mengendalikan kuda dengan kecepatan tinggi. Itu sebabnya dia terlihat seperti kesusahan untuk memimpin. Zhura menautkan kedua tangannya, berharap apa yang terbaik akan terjadi. Kuda putih Azhara terlihat seperti busur anak panah yang melesat dengan ekor yang menjuntai ke udara. Percikan debunya bertebaran ketika kaki-kakinya menapak.

Dia mengabaikan semuanya dengan menggunakan kedua tangan untuk menarik tali pacu. Perlahan tapi pasti, Azhara membalap. Angin yang melewati bola berhias sutra di tengah padang terasa hingga ke permukaan wajahnya. Butuh beberapa detik untuknya menerjemahkan sensasi itu menjadi perkiraan lokasi bolanya. Setelah menemukan petunjuk, ia membawa kudanya ke depan. Jari jemarinya terbuka lebar seakan ingin meraih semua yang bisa ia raih.

Dan dia berhasil!

Bola sutra itu berhasil mendarat sempurna di tangannya. Ada gelenyar yang menyenangkan saat ia mendengar suara kekecewaan pemuda-pemuda lain. Inilah perasaan yang manusia sebut sebagai kebanggaan?

Tentu saja!

"Pemenangnya adalah Tuan Vidar!" seru pemimpin perlombaan yang disambut decak kagum dan sorakan orang-orang terutama para gadis. Tak jauh beda, Yara pun terus melompat-lompat dengan pundak Zhura sebagai tumpuan. Semua pemuda mulai kembali ke tempat awal, terlihat raut lesu dan muram hadir di wajah-wajah bergaris tegas itu. Dari kejauhan, Azhara pun datang bersama kudanya.

"Wah, Kakak Vi hebat sekali!" seru Yara masih tak bisa diam. Meskipun tadi tampak kecewa, tapi para pemuda tetap memberikan selamat pada Azhara dengan menepuk bahunya.

"Selamat Tuan Vidar, bola dan kuda ini sekarang milikmu," ujar Kakek Maral membawa seekor kuda besar berbulu keemasan. Yara penasaran, dia pun mengusap kelembutan bulu kudanya yang ternyata seperti sutra.

"Lain kali kalau kau ingin melakukan sesuatu, setidaknya katakan dulu." Zhura mengusap belakang telinganya, "Aku jadi tidak perlu khawatir. Bagaimana kalau kau terluka?"

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Azhara justru mengulur tangannya. Ia menunduk, menyodorkan bola sutra itu pada Zhura.

"Terima kasih," kata Zhura seraya mengambilnya. Entah mengapa, di sekitarnya para gadis muda bersorak kecewa.

Kakek Maral menyela, "Bola sutra adalah benda simbolis khas di suku Wiyyam. Dengan memilikinya maka kau adalah dipandang makmur dan terhormat. Di sisi lain, jika diberikan pada lawan jenis, maka itu menandakan adanya kasih yang besar. Cinta menggebu tergambar di lilitan sutra yang bertaut tak berujung. Lilitannya yang berwarna-warni memberikan nuansa manis di ikatan yang menghubungkan satu jiwa ke jiwa lain."

Zhura membatu, "Cinta?"

"Bukankah kalian berdua saudara?" Yara membuat raut berpikir.

Azhara semakin menyembunyikan wajahnya seakan cahaya matahari terlalu panas hingga membakarnya.

"Karena dia adalah kakakmu berarti itu adalah tanda kasih seorang kakak pada adiknya. Cinta yang dimaksudkan berarti cinta antara keluarga. Kau sangat beruntung bisa mempunyai kakak yang sangat menyayangi adiknya seperti ini. Ingat, jaga kebersamaan kalian, perasaan kasih yang besar bukan berarti tidak mempunyai kelemahan. Dengan saling menghargai satu sama lain adalah kunci sebuah hubungan yang baik," jelas Kakek Maral disampaikan dengan begitu lemah lembut seperti kakek yang menasehati cucunya.

Yara melangah keras, terlihat memikirkan sesuatu. "Benar, Kakak Lailla dan Kakak Vi pasti sangat menyayangi satu sama lain. Sekarang aku jadi iri, seandainya aku juga punya kakak yang akan menjagaku seperti menjaga hal yang paling berharga di dunia. Tapi takdir malah menjadikanku anak tunggal, bukannya dijaga oleh kakak yang hebat aku malah jadi pesuruh gratisan."

Semua orang tergelak atas perkataan Yara. Sudut bibir Zhura tertarik lepas. Tiba-tiba saja kebahagiaan terasa menguar ke sekitar, dan lagi segalanya menjadi menyenangkan bahkan hanya menginjak rerumputan di bawahnya. Di atas, burung-burung kecil berterbangan mengitari mereka. Hari yang istimewa ini semakin sempurna karena sesuatu yang pernah berpendar di hati Zhura kini menyala semakin menggelora.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang