61. Dahaga Kehidupan Yang Bebas

101 28 12
                                    

"Padahal ada banyak hal yang ingin kuberitahu padanya. Tidak kusangka Yang Mulia bisa terkulai lemah seperti itu. Seperti apa hubungan di antara mereka? Kenapa dia rela berkorban tanpa memikirkan nyawanya seperti ini?"

Ramia membuat raut permohonan. "Tolong rahasiakan ini dari siapa pun. Jika ada orang lain yang mengetahui perasaan tuan yang sebenarnya, saya takut mereka berdua akan dalam bahaya."

"Tenang saja," jawab Pak Dima. "Aku tidak akan mengatakan apapun."

Ramia bernapas lega mendengarnya.

"Karena Yang Mulia sedang sakit, aku akan menyampaikan ini padamu. Pertama, ini adalah informasi rahasia, jadi kau pun harus menjaganya."

"Saya mengerti."

Pak Dima mengeluarkan berkas-berkas yang ia bawa di kotak kayu. "Ini adalah data anggota Shar yang dikirimkan oleh Tusk. Dia sudah berangkat ke sana kemarin dan sukses menyusup. Kemungkinan ia akan berada di sana dalam beberapa hari untuk mendapatkan lebih banyak informasi."

"Informasi apa saja yang ia dapatkan?" tanya Ramia.

"Lihatlah, ini adalah daftar anggota organisasi itu. Setiap anggota diberikan kode khusus yang berguna sebagai nama samaran. Jadi, kita tidak tahu nama asli mereka. Tusk menggambarkan beberapa wajah anggota yang ia dapatkan dari pengamatan. Di sini tertulis banyak ciri-ciri khusus dari masing-masing anggotanya. Namun, ada satu kesamaan dari mereka semua." Pak Dima menunjuk pada lambang bunga Peony di kertas.

"Bunga ini adalah simbol organisasi itu. Mereka meletakkan simbol itu di senjata dan menato itu di tubuh mereka," lanjut Pak Dima.

Ramia mengamati bentuk bunga itu. "Di bagian mana mereka menato tubuhnya?"

"Tusk menjelaskan bahwa saat mereka berada di dalam lingkungan organisasi itu, tatonya ada di kening. Tapi saat mereka keluar, tatonya menghilang. Kemungkinan berpindah ke bagian lain."

Jadi, semua anggota Shar mempunyai tato bunga peony di kening. Namun, ketika mereka berbaur di lingkungan masyarakat, tatonya akan menghilang.

"Yang lebih mengejutkan adalah latar belakang anggotanya sangat mirip. Mereka semua rata-rata berasal dari korban perang, penjualan budak, atau bahkan mantan prajurit. Seakan-akan pemilik organisasi itu sengaja membangun kekuatan dari sumber daya yang pernah tersisih."

"Organisasi gelap seperti ini biasanya bekerja di dunia hitam. Rasanya wajar jika pemiliknya memperkerjakan orang-orang semacam ini karena identitasnya yang tidak jelas," timpal pemuda elf itu menggeser gulungan satu ke gulungan lain. Ia mengecek beberapa wajah anggota Shar yang dilukiskan Tusk. Mata Ramia berhenti pada sebuah lukisan yang menunjukkan wajah yang sangat familiar.

"Bukankah ini Ranzak?" tanya Ramia menunjuk sosok di lukisan dengan kode Sin.

"Aku juga berpikir seperti itu." Pak Dima mengernyitkan dahi. "Sejak mengetahui ada perekrutan prajurit baru, aku langsung mengecek semuanya. Anehnya tidak ada upacara resmi atau dekret apapun. Dan lagi, saat perekrutan prajurit yang biasa, istana akan mendapatkan laporan dari akademi militer bahwa prajurit itu pernah menempuh pendidikan di sana."

"Apakah kali ini tidak ada laporannya?"

Pak Dima tampaknya tak habis pikir dengan apa yang akan ia katakan. "Semua akademi militer di Silvermist mengatakan bahwa tidak satu pun prajurit baru itu adalah anak didiknya."

"Ini mustahil, bukankah untuk menjadi prajurit istana seseorang harus menjalani minimal beberapa tahun pelatihan militer? Apa data ini salah?" Ramia menegakkan punggungnya mencoba membaca lebih cermat tulisan-tulisan itu.

"Pengangkatan mereka semua resmi karena di bawah ketetapan raja. Namun, kita semua tahu bahwa Raja Amarhaz sedang vakum. Satu-satunya yang punya wewenang ini adalah Tuan Minra." Pak Dima menunjuk profil Ranzak yang tergambar di gulungan. "Ranzak adalah salah satu yang paling utama di angkatannya. Anehnya, anak buahku mengatakan bahwa Ranzak sering mangkir."

"Asal-usul Ranzak juga tidak jelas, mngkinkah dia ini sungguh berhubungan dengan anggota Shar? Jika benar, bagaimana ia bisa direkrut menjadi prajurit Istana?"

Pak Dima menyangga dagunya dengan kedua tangan. Kedua alisnya yang lebat bertaut, itu tanda akal pikirannya mulai beradu satu sama lain. "Ramia, aku tahu ini lancang, tapi aku merasakan ada yang mencurigakan dari Tuan Minra."

***

Suara gemuruh membuat Azhara terkejut. Punggungnya begitu kaku karena direbahkan seharian, belum membuat pemuda itu berniat bangun. Ia menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Hanya ada satu lilin kecil yang dinyalakan untuk penerangan. Hujan yang mengguyur dengan deras, menguarkan angu yang menggantikan aroma obat di kamarnya. Malang, tubuhnya yang masih lemah sepertinya harus berjuang melawan dinginnya malam.

Disentuh dada kirinya, ada rasa sakit yang meredam sesaat, lalu kembali membuncah sewaktu-waktu. Senyuman hadir di wajahnya yang pucat pasi. Ia tahu bahwa rasa sakit di jantungnya adalah bukti bahwa Zhura baik-baik saja sekarang. Azhara pikir ia sudah bertindak terlalu jahat, jelas tidak ada kemungkinan bagi gadis itu untuk memaafkannya. Satu hal yang membuat Azhara getir adalah tidak adanya kehendak yang bisa ia lakukan jika Zhura tetap melupakannya.

Saat gemuruh reda, angin datang mengibarkan tirai bersamaan dengan suara gadis itu yang terngiang. "Perasaan yang menimbulkan sakit hati tidak harus diartikan sebagai kemarahan. Kerinduan pada seseorang yang tidak bisa lagi kita temui, itu jauh lebih menyakitkan hati."

Jadi inilah kerinduan yang pernah mereka bahas?

Senyum Azhara menghilang, kini di wajahnya ada kekosongan seakan rautnya tergerus hujan. Sejak kecil dia tidak pernah memiliki perasaan apapun. Hidupnya berjalan seperti air yang tenang menuju ke muara, tak tergoyahkan. Namun, Zhura datang mengubah aliran itu menjadi jeram yang menggugah keteguhannya. Karena terlalu abai, ia tidak sadar bahwa arus deras itu sudah membawanya begitu jauh.

Namun, sayang sekali.

Perasaan yang tak sengaja tercipta dalam jiwanya, berakhir hanya untuk ia rasakan seorang diri. Dahaga akan kehidupan bebas yang tidak pernah ia alami, harus dibuang sebelum ia bisa merasakannya. Hanya dengan cara seperti itu, kehidupan Zhura akan berjalan dengan tenang. Lagi pula Azhara sudah menjalani ribuan tahun hidupnya dengan menyembunyikan harapan, bedanya kali ini ia harus melakukannya demi seseorang.

Bukankah itu sama saja?

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang