107. Pembunuh

1 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Pagi hari mendung, tabuhan gong istana bergema beberapa kali memekakkan telinga. Langkah kaki Zhura terhenti begitu ia melihat wajah-wajah bermuka muram. Mereka berseliweran ke seluruh penjuru istana dengan pandangan ke bawah. Pada tubuh mereka melekat pakaian hitam seolah-olah menandakan adanya duka cita atas meninggalnya seseorang. Seseorang yang berjalan terburu-buru tanpa sengaja menyenggol punggungnya, karena itu dia hampir saja tersungkur. Beruntung tubuh Zhura bergerak lebih cepat daripada pikirannya sehingga sigap memperoleh keseimbangan.

Keheranan yang tak terbendung memaksanya mencari penjelasan. Ia menghentikan seorang pelayan yang lewat di dekatnya. "Apa terjadi sesuatu?" tanyanya.

Pelayan berpakaian hitam itu menatap Zhura dengan alis terangkat, matanya lebar terkejut. Dia seperti terperangah sebelum kemudian berlalu menjauh seperti orang ketakutan. Zhura mengerutkan kening. Ada masalah apa dengan pelayan itu? Belum juga ia berpikir lebih lanjut, suara langkah kaki bergerombol terdengar mendekat dari arah belakang. Ia membalikkan tubuh, melihat puluhan prajurit berbadan besar bediri mengelilinginya.

"Nona, tolong ikut dengan kami." Salah satu dari mereka maju mengikat kedua tangannya ke belakang.

"Hentikan! Apa yang sebenarnya terjadi?!" Tanpa penjelasan, mereka menyeret Zhura menjauh dari selasar istana, dirinya dibawa ke ruangan gelap dan sempit dengan jeruji besi. "Kenapa kalian membawaku ke sini?!" Salah satu dari prajurit berseragam hitam yang tadi menyeretnya kini sibuk mengunci ruangan yang ia asumsikan sebagai penjara.

"Kami mendapat perintah penangkapanmu atas tuduhan persekongkolan dengan Tabib Ma untuk membunuh Yang Mulia Raja Amarhaz," ujar seorang prajurit seraya memasukkan sebuah kunci pada sakunya.

Zhura menegang, tak kuasa menahan gemetar, "Raja dibunuh? Tunggu, apa yang kau katakan? Aku tidak tahu apapun soal ini!? Aku tidak membunuh siapa pun! Kalian salah tangkap!" teriak Zhura menggenggam jeruji besi di hadapannya hingga membuat jari-jari tangannya memutih.

"Katakan itu di interogasi nanti. Kami hanya melaksanakan tugas kami," ujar prajurit itu lalu beranjak pergi bersama gerombolannya.

"Pak, sungguh aku tidak membunuh siapa pun! Tolong keluarkan aku! Aku tidak tahu apapun!" seru Zhura lagi mencoba meyakinkan orang-orang itu. Sayangnya eksistensi mereka semua sudah menghilang dari jangkauan matanya. Zhura yang merasa dijebak lekas marah, tak adanya yang mau mendengarkan penjelasannya membuat tangisannya tak terbendung. Ia baru saja kembali ke istana, bagaimana bisa ia membunuh raja? Dan lagi, Tabib Ma tidak mungkin melakukannya.

Ini pasti ulah seseorang!

"Tolong! Keluarkan aku dari sini! Aku tidak membunuh siapa pun!" Zhura berusaha mengguncangkan jeruji besi itu, berharap bisa menarik kembali perhatian para penjaga, tapi nihil. Semua yang ia usahakan hanya sampai di sana saja, orang-orang itu sudah berlalu. Ditatapnya sepasang sepatunya yang sudah lusuh dengan sayu.

"Ding-dong! Hai, Lailla!"

Suara seseorang membuat Zhura kembali mendongak. Arlia berdiri di depan jeruji besi, menatapnya dengan sorot iba.

Zhura terkesiap mengusap sisa air mata dari wajahnya. "Arlia, kau di sini? Tolong bantu aku, katakan pada mereka kalau aku tidak bersalah! Aku tidak membunuh raja! Aku bahkan baru sampai di sini, aku tidak tahu apapun yang terjadi di sini! Tolong katakan pada mereka, Arlia!"

Arlia berdecak.

"Suar dan suara gong yang dipukul, adalah tanda kematian raja. Yang Mulia Raja Amarhaz, pamanku, semalam ditemukan meninggal dengan luka tusukan di perut. Aku juga terkejut saat mendengar kabar itu, tapi kenapa aku harus mengusahakan semua yang kau minta? Aku bahkan sangat bersemangat mengikuti mereka yang membawamu ke sini tadi," tukas Arlia seraya menyilangkan tangannya.

"Kenapa?" Tak peduli sekeras apa Zhura berusaha menghentikannya, air mata kembali melesat turun.

Gadis elf itu mengangkat bahu, "Aku hanya senang melihatmu mendapat ganjaran atas apa yang sudah kau lakukan."

"Apa yang sudah kulakukan?! Pasti ada orang yang menjebakku!" Zhura meledak diterpa badai pikiran.

"Raja ditemukan meninggal di ruangannya, orang yang terakhir kali menemuinya adalah sosok yang dicurigai sebagai pelaku. Tabib Ma adalah orang terakhirnya, Lailla. Bukan hanya kalian, tapi juga Valea dan Inara. Ditemukannya sejumlah bukti keterkaitan kalian, membuat satu alasan posisi tersangka jatuh pada kalian! Barang-barang yang ditemukan di kamarmu adalah bukti bahwa kau adalah penyusup, dan menjadi pembunuh raja."

Zhura menggebrak jeruji itu, hatinya mulai kalang kabut. "Barang apa yang kau maksud, Arlia?!" serunya.

Arlia merotasikan bola matanya. "Kenapa kau masih bisa berpura-pura padahal situasimu sudah," tukas gadis itu lalu tampak berpikir, "merepotkan? Kau mungkin lupa atau sengaja berpura-pura tidak tahu. Tapi jangan khawatir, kau akan lihat barang-barangmu itu di tempat interogasi nanti."

"Tapi aku tidak membunuh siapa pun!"

Arlia mengamati penampilan Zhura dari kepala hingga ujung kaki, "Mengenaskan. Omong-omong, terima kasih, ya. Atas tindakan kriminalmu, aku bisa terlepas dari seragam biru itu."

Zhura menatap gaun berumbai berwarna hitam yang melekat di tubuh Arlia. Terlihat mewah dan anggun. Wajah gadis elf itu pun begitu semringah dengan riasan yang sedikit lebih tebal. Lalu rambut hitamnya yang panjang di tata indah dengan tusuk rambut berkilau. Dari semua yang terlihat, Zhura menyadari dia sudah kembali menjadi nona muda.

"Tabib Ma adalah orang yang menjunjung tinggi kehormatan dan patuh pada aturan. Dia tidak akan pernah mungkin melakukan tindakan pembunuhan itu." Zhura mengais harapannya untuk didengarkan.

Gadis elf di depannya mengembuskan napas, "Aku tidak peduli. Mau kau benar-benar membunuh juga tidak masalah bagiku. Yang paling penting sekarang, keberangkatan gadis suci ke dataran itu secara resmi akan dibatalkan. Setelah upacara pemakaman, para gadis akan dipulangkan ke rumah masing-masing. Ups, kecuali kau."

Zhura terkesiap, mendekat pada Arlia, "Dibatalkan?! A-apakah sudah diumumkan?!"

"Belum. Ini memang sedikit menyedihkan, tapi siapa yang akan mengurusi keberangkatan gadis-gadis ke sana, saat kerajaan sedang berduka atas meninggalnya raja? Lagipula, teratai itu tidak bisa mekar," ujar Arlia turut mendekati jeruji besi. "Sudah kubilang jangan menutup mata dari kenyataan. Sekarang kau sudah lihat kegagalanmu dan itu pasti menyakitkan, 'kan? Seharusnya kau dengarkan ucapanku dulu untuk berhenti berusaha. Jadi kau tidak perlu sesakit ini, Lailla," lanjut Arlia sebelum pergi meninggalkannya.

"Aku sudah dijebak!" teriak Zhura putus asa. Padahal ia berencana menyerahkan penawar racun itu pada raja, tapi kenapa tiba-tiba jadi begini?

Darah berdesir dengan begitu cepat, membuat jantungnya berdegup luar biasa kencang. Zhura mencengkram kepalanya kuat-kuat tak peduli bahkan jika itu akan pecah sekali pun. "Argh!" Jatuh meringkuk, ia menepuk-nepuki dadaku yang terasa berdenyut. Seluruh tubuh Zhura seperti baru saja dihantam palu godam secara berulang-ulang, rasa sakitnya merasuk hingga ke tulang-tulang. Pandangan semakin buram, tiba-tiba saja membuatnya jatuh tak lagi dapat merasakan kesadaran.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang