Malam perayaan dilaksanakan, orang-orang Wiyyam serentak keluar dari tenda dan berkumpul beratapkan langit. Sebagian perlombaan baru selesai saat matahari tenggelam, tapi keseruan masih terus berlanjut. Di penjuru pemukiman ini, anak-anak kecil masih saja sibuk kejar-kejaran penuh canda tawa. Api unggun besar pun dinyalakan di tengah padang sebagai penghangat. Meskipun dengan penerangan seadanya itu, acara berjalan begitu meriah.
Banyak makanan, permainan, dan pertunjukan membuat padang rumput ini terlihat seperti pasar malam. Kini, Zhura sedang berkumpul bersama orang-orang mengelilingi api unggun. Tepat di sisi kanannya, ada Azhara yang duduk menyembunyikan wajah. Mereka semua bercakap-cakap riang, duduk melingkar seraya berbagi cerita. Cahaya dari nyala api di tengah membuat semua orang menjadi merah.
"Apa ini?" Zhura mencium minuman di gelasnya, terasa hangat dengan aroma kelapa.
"Jangan khawatir, itu bukan anggur." Kakek Maral menjawabnya, "Ini adalah minuman khas suku Wiyyam. Namanya teh Wafaa, kami biasa meminumnya di hari-hari tertentu. Bisa juga sebagai minuman musim dingin. Bahannya adalah rebusan jagung manis yang dicampur dengan kapulaga, jahe, cengkih dan juga santan. Terkadang kita menambahkan madu untuk mengurangi kepedasannya. Cobalah, ini enak."
Zhura mengangguk, lalu mulai meminumnya. Serunya, "Wah, benar. Ini enak sekali!"
Orang-orang lekas tergelak mendengarnya. Nenek Manira datang bersama La, duduk di sisi Kakek Maral. "Minuman itu akan menghangatkan tubuh di saat udara dingin dan memperbaiki stamina kita saat kelelahan."
"Apa kau mau?" tanya Zhura pada pemuda di sisinya, tentu saja Azhara menggelengkan kepalanya.
Yara yang melihatnya lantas menyela, "Bukankah Kakak Vi tidak boleh makan dan minum sembarangan?"
"Tidak apa-apa, jangan memaksakan diri. Kita sudah sangat senang kalian mau bergabung di sini," timpal Kakek Maral. Semua orang kembali pada perbincangannya masing-masing. Mereka berdiskusi tentang tradisi-tradisi di suku Wiyyam dan bercerita bahwa pendahulu mereka lebih senang berburu untuk mendapatkan makanan daripada meladang atau beternak. Malam semakin larut, mereka mulai mengubah topik pembicaraan menjadi cerita seram tentang makhluk-makhluk tak kasat mata.
Meskipun terbiasa bertemu makhluk menyeramkan, tapi Zhura tidak menganggap kalau hantu itu sebuah eksistensi yang biasa saja. Bahkan ksatria terkuat di dunia pun mungkin juga takut hantu. Acara perayaan selesai dengan meninggalkan perasaan hangat yang mempererat kekeluargaan orang-orang. Namun, ada satu hal yang kini bersarang di kepala Zhura dan itu membuatnya tidak bisa tidur. Konyol sekali, bagaimana bisa ia terpengaruh pada cerita-cerita itu?
Insomnia datang di saat yang tidak tepat. Di antara pembaringan, telinganya yang tajam mendengar langkah kaki kecil. Matanya sontak nyalang. Dia menggelengkan kepalanya, mengusir ketakutan. Rerumputan yang kering membuat suara langkah kaki itu semakin jelas. Tidak! Ia tak bisa membiarkan ini mengganggunya.nJika tidak dipastikan sendiri, maka ia akan terus terjebak ketidaktenangan. Diliriknya Azhara yang terlelap, dia pun memberanikan dirinya keluar dari yurt.
Angin malam menderu menambah satu lagi alasan bagi bulu kuduknya berdiri. Zhura berjalan ke sumber suara yang ternyata berasal dari tenda dapur. Sampai di sana, ia celingukan mengedarkan pandangan. Kepalanya pening dipenuhi oleh segenap pertanyaan mengenai apa gerangan yang menimbulkan suara barusan? Dengan waspada ia tajamkan penglihatan. Begitu terkejutnya ia saat melihat seorang bocah elf sedang duduk di dalam tenda dapur, larut dalam kesibukannya.
Alis Zhura naik melihat kertas-kertas yang tersebar di sekitar anak itu mempunyai aroma khas. Setelah memperhatikan lebih lanjut, Zhura pun mengenali bocah itu sebagai La, cucu Nenek Manira dan Kakek Maral. La adalah anak laki-laki yang ia selamatkan dari kejaran serigala-serigala tempo hari. Prasangkanya pada hantu tidak masuk akal, sekarang apa yang sejak tadi ia takuti ternyata adalah seorang anak kecil. Zhura menekuk lututnya, merendahkan tubuh sejajar dengan bocah itu.
"La, sedang apa?"
"Menulis," bisik La menunjukkan tangannya yang memegang kuas ke pada Zhura, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Berbeda dengan tinta yang biasa ia temukan di pavilyun Azhara, tinta di mangkuk La bening dan wangi. Tentu saja ia tahu, itu adalah cuka apel. Tulisan yang dibuat menggunakan cuka apel tidak akan bisa dilihat kecuali diletakkan di depan cahaya.
Benak Zhura menumpul di malam hari karena seharian beraktivitas, jadi ia tidak bisa memikirkan sesuatu seperti alasan kenapa La tidak ingin tulisannya dilihat. Meskipun ia mengangguk-angguk, diam-diam Zhura memendam sedikit rasa keingintahuan. Ia berdehem, membuka kembali pembicaraan. "Kenapa kau malah menulis di sini? Ini sudah sangat malam, anak kecil itu harus tidur sebelum larut."
La meletakkan kuas lalu menggelengkan kepala. "Tidak bisa tidur," jawabnya. Jika saja bocah itu seorang manusia, maka usianya mungkin berkisar antara sembilan atau sepuluh tahun. Lalu, wajah serta suaranya yang lembut, membuat bocah elf itu lebih mirip seperti perempuan, setidaknya itu menurut Zhura. Ia tidak bisa berkata banyak juga, karena tidak jarang di dunianya yang asli, laki-laki memang dilahirkan dengan ketampanan yang cantik.
"Kalau boleh tahu, apa yang sedang kau tulis, La?"
Anak itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu meletakkan sebelah tangan di sisi bibirnya. "Saat tidak bisa tidur, aku menulis surat untuk Kakak Ra. Dia sedang pergi jauh. Saat ia kembali nanti, aku mau menceritakan semuanya yang ia lewatkan. Agar tidak lupa, aku harus menulisnya di surat. Tapi nenek selalu marah saat aku melakukannya, jadi aku menulis dengan sembunyi-sembunyi seperti ini."
Zhura tercenung, ia tidak yakin raut apa yang ia tunjukkan pada bocah itu ketika mendengar penuturannya. Tidak tahukah ia bahwa kakaknya sekarang ada di dataran terkutuk itu? Harapan yang La buat, sewaktu-waktu bisa saja menyakitinya saat ia sadar perasaannya mungkin berakhir menjadi kerinduan yang tak berujung. Seakan sudah merasakan bagaimana rasa sakitnya, pada saat itu pandangan Zhura digenangi air mata.
Elf kecil itu terkikik geli. Dia bertanya, "Kenapa matamu berair? Apa kau mengantuk?"
Sejujurnya Zhura benci saat menyadari harapan La hanyalah satu dari sekian banyaknya harapan yang tergantung di dunia ini.
"Lihatlah!" La tampak mengangkat satu kertasnya. Mengarahkan itu ke sisi kendi lilin yang diletakkan di dekatnya. Ia menunjukkan tulisannya di depan sinar yang tak seberapa terang itu dengan bangga.
"Kenapa kau tidak gunakan tinta biasa saja? Yang berwarna hitam?" Jiwa keingintahuan Zhura ternyata tidak bisa lebih lama bersembunyi.
"Aku tidak mau nenek tahu kalau aku masih menulis surat seperti ini. Dia pasti akan memarahiku lagi. Dia bilang ini buang-buang kertas."
Termangut, Zhura tanpa sadar turut menerawang tulisan bocah itu. Keningnya mengernyit saat membaca isi dari tulisan yang berantakan itu. Di kertasnya tertulis bahwa La ingin belajar membuat hiasan rambut untuk diberikan pada kakaknya saat dia pulang.
"Kau ingin membuat hiasan rambut untuk kakakmu?"
"Iya." La mengangguk, tersenyum menurunkan kembali kertasnya. Bocah itu dengan telaten merapikan selebaran-selebaran di sekitarnya menjadi satu tumpukan rapi.
Zhura menyelipkan anak rambutnya yang lolos ke belakang telinga, "Bukankah hiasan rambut itu adalah hadiah yang diberikan anak perempuan? Menurutku anak laki-laki sepertimu lebih baik cari benda lain. Seperti pembatas buku? Atau jepit kertas? Itu cocok untukmu karena Kakak Ra suka memasak, jadi ia pasti punya banyak resep yang berserakan."
La mengalihkan perhatian dari kertas-kertas di tangannya untuk menatap Zhura lekat. Mata ambernya seakan menyimpan banyak kata-kata yang tak dapat ia katakan lewat mulutnya. Zhura gelagapan mengingat kembali ucapannya, apakah ia sudah mengatakan hal yang menyinggung? Ini tidak boleh dibiarkan. Zhura mencoba bertanya, tapi La lebih dulu mendekat membisikkan sesuatu yang sontak membuatnya membeku.
Dia bilang, "Aku itu perempuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...