Sesosok bertudung membungkuk pada orang di depannya. Seperti biasa, ruangan yang gelap dan sepi itu masih saja menjadi tempat rahasia mereka.
"Tuan, rencana pendekatan terhadap target sukses. Setelah ini kita bisa langsung mengeksekusinya."
"Kerja bagus. Kau tidak pernah mengecewakanku. Demi mendapatkan kepercayaan gadis itu kau bahkan berpura-pura menjadi temannya," ujar si tuan mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai.
"Selama itu berarti saya bisa membantu Anda, saya tidak keberatan terus berpura-pura berteman dengan target kita," jawab sosok bertudung itu. Ia lalu teringat sesuatu, "Ada gelang Arbutus di tangan gadis itu. Sepertinya kita tertinggal satu langkah dari Azhara."
"Gelang Arbutus?" Si tuan tercenung, ia tidak menyangka bahwa Putera Mahkota itu berani bertindak sejauh ini. "Karena mereka sudah terikat, kita tidak bisa langsung membunuhnya. Yang harus kita lakukan adalah memisahkan mereka. Tidak masalah, lagipula kita mempunyai sekutu yang menjalankan rencana ini dengan sukarela."
"Maksud Anda wanita itu?"
Sosok bertongkat itu menghela napas, "Cinta itu buta. Dan ketika kau tidak memiliki hati untuk melihatnya, perasaan itu akan menjadi senjata yang paling menyakitkan."
***
Pagi hari datang riuh dengan berita mengejutkan. Ramia berlarian dari satu gedung ke gedung lain untuk mencari keberadaan tuannya. Setelah bermenit-menit pencarian, ia akhirnya menemukan sosok perak itu bersama Pak Dima dan Tusk di ruang rapat. Ada sebuah peta yang menggambarkan lokasi markas Shar di atas meja.
"Tuan, ini gawat!" ujar Ramia tanpa basa-basi. "Terjadi penyerangan terhadap Carmina, mereka menetapkan Lailla sebagai tersangkanya!"
Tanpa sepatah kata pun Azhara berdiri dari tempat duduknya, menuju ke tempat di mana orang-orang berkumpul. Pak Dima dan Tusk mengekori di belakang. Di ruangan besar berbentuk bundar itu, Zhura berdiri diam tak dapat berkutik. Di sisinya, ada Carmina yang lunglai seakan-akan kekuatannya terkuras. Cacian dan sumpah serapah yang ditujukan pada Zhura berhenti ketika Azhara memasuki ruangan, sekarang yang ada hanya keheningan.
Pemuda itu menunduk hormat pada ayahnya dan juga Tuan Minra yang lebih dulu datang.
"Guru, kau datang. Tolong katakan pada mereka kalau aku tidak bersalah!" tukas Zhura dengan kedua tangan yang terikat ke belakang.
"Ada apa ini?" tanya Azhara kemudian.
Carmina maju, menunjukkan luka pada tubuhnya yang berbekas kemerahan. "Saat aku hendak beristirahat kemarin malam, seseorang datang ke kamarku. Dia menyusup dari jendela, menyerangku dengan senjata Sang. Aku hampir mati jika tidak diselamatkan oleh seorang pelayan."
"Itu benar, Yang Mulia. Saya melihat ada sosok yang menyerang Nona Carmina, dia menggunakan topeng. Saat saya berteriak meminta tolong, penyusup itu kabur," ujar seorang gadis pelayan.
Carmina berlutut, meskipun begitu matanya melirik Zhura dengan pandangan gelap. "Mohon Yang Mulia bersedia mengusut ini dengan adil. Saya sangat ketakutan. Serangan ini bukan hanya membekas di tubuh saja, melainkan juga di dalam jiwa saya. Dia benar-benar monster."
"Sudah kubilang aku tidak melakukannya!" sergah Zhura.
Valea dan Inara yang berdiri bersama para gadis suci lain berseru membenarkan, "Lailla adalah gadis baik-baik! Dia tidak mungkin melakukan tindakan jahat seperti itu! Kau pasti berbohong!"
Carmina berdiri, "Aku tidak bohong!"
"Tenanglah, kalian semua. Kita akan mengungkapkan yang sebenarnya terjadi," tutur Tuan Minra menenangkan keributan para gadis.
Raja Amarhaz terbatuk sejenak, sebelum mulai membuka suara. "Menurut keterangan pelayanmu, sosok itu menggunakan topeng. Alasan apa yang membuat kau begitu yakin kalau Lailla adalah pelakunya padahal kau tidak melihat wajahnya?"
Carmina membuat wajah serius, "Kemarin, aku memberitahunya kalau aku mengagumi Tuan Azhara. Aku pikir itu adalah hal wajar yang dibagi antar gadis, lagipula kami bernaung di bawah paviliun Putera Mahkota, aku menganggap Lailla sebagai teman. Tapi dia mungkin menyimpan dengki, dan menganggapku sebagai saingannya."
Azhara termenung di tempatnya.
Tuan Minra menyahut, "Hanya itu?"
"Senjata Sang adalah perkakas yang disimpan di paviliun senjata. Tempat itu dekat dengan barak militer. Entah untuk apa Lailla sering keluar masuk wilayah itu, saat situasi lengah dia mungkin mengambil senjata Sang dari paviliun untuk menyerangku," lanjut Carmina.
Zhura menggelengkan kepalanya, dia menjawab dengan suara parau. "Aku hanya menemui temanku di sana. Tidak ada hal lain yang kulakukan. Lagi pula aku tidak tahu cara menggunakan senjata itu."
Arlia yang sejak tadi berdiri diam kini maju selangkah. "Aku tidak tahu apakah ini berhubungan, tapi Lailla memang dekat dengan seorang prajurit. Aku sering melihat mereka berdua berjalan bersama. Mungkinkah dia yang memberikan senjata itu padanya?"
Valea menarik Arlia mundur. "Hentikan omong kosongmu!"
Ini semakin parah, Zhura tidak bisa membiarkan masalah semakin runyam. "Ranzak hanya prajurit baru, dia tidak akan melakukan tindakan seperti itu! Kami memang dekat, tapi hanya berteman."
Ramia tidak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa berharap bahwa tuduhan itu tidak benar.
"Anggap saja dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Tapi bagaimana kau akan menjelaskan mengenai buku ini?" Carmina menunjukkan sebuah buku. "Ini adalah buku yang kau pinjam dari perpustakaan. Sepertinya aku tidak perlu membawa penjaga perpustakaan untuk memastikan karena di data peminjamannya ada namamu. Benar, 'kan?"
Azhara dan semua orang jelas tahu buku apa itu. Sudut bibir Arlia terangkat ketika ia menyilangkan tangan di depan dada. Entah siapa yang benar, tapi ia begitu tertarik mengikuti garis besar masalah ini. Tak ia sangka kecurigaannya mengenai gadis bermata hijau itu bahwa ia bukan gadis biasa, bukanlah sebatas intuisi.
"Iya, tapi aku hanya membaca dua halaman pertama." Zhura tak menyangka bahwa buku itu akan menjadi serangan untuk dirinya.
"Tidak peduli berapa halaman yang kau baca, dengan meminjam ini kau membuktikan bahwa kau punya ambisi untuk mendapatkan hati seseorang. Sekarang, itu terhubung pada fakta kalau senjata Sang hanya bekerja jika penggunanya memiliki ambisi besar. Ini menjadi jelas. Karena aku memberitahumu perasaanku terhadap Tuan Azhara, kau jadi cemburu. Kau marah dan ingin menyingkirkanku!"
Zhura menoleh pada Azhara yang menampilkan wajah kaku. Dia kesulitan mencerna satu per satu hal yang berdatangan di dalam kepalanya.
"Dengan kata lain, Lailla punya obsesi pada gurunya sendiri. Gadis ini mempunyai hasrat terlarang yang bisa mengancam Putera Mahkota kapan saja!" Carmina mendekat pada Raja Amarhaz, jari telunjukku menunjuk pada Zhura. "Seperti yang selalu Yang Mulia katakan, tak peduli apapun itu, segala bentuk ancaman harus dimusnahkan! Hukum gadis ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasíaFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...