52. Sembilan Nyawa

69 26 0
                                    

Di bawah pepohonan rindang, Zhura tengah berlutut di samping makam seseorang. Kedua tangannya bertautan, ia sedang berdoa. Di sisi gadis itu, Ranzak pun turut berlutut seraya menutup mata. Sepertinya ia memilih menyembunyikan permohonannya dalam hati. Beberapa saat kemudian mereka mengakhiri doanya.

"Hai, bagaimana kabarmu? Maaf, ada banyak hal yang terjadi, aku jadi sangat sibuk akhir-akhir ini. Tolong jangan marah, aku berjanji akan datang lebih sering setelah ini," ungkap Ranzak menatap sendu makam adiknya.

Di tempatnya, Zhura mendengar ucapan itu dengan perasaan campur aduk. Ia yakin bahwa Ranzak sangat merindukan adiknya, tapi di sisi lain pemuda itu mempunyai tugas sebagai prajurit yang harus bekerja keras demi rakyat.

"Tidak bisa kukatakan seberapa sulitnya hidup tanpamu. Aku sangat merindukan saat-saat kita bersama, Delia," kata pemuda elf itu ketika air hampir tergenang di matanya.

Zhura termangut. Ranzak pernah bilang bahwa adiknya meninggal saat menjalani ritual pengorbanan. Ia juga pernah berada di ritual pengorbanan, jadi Zhura bisa membayangkan bagaimana perasaan Ranzak saat kehilangan adiknya. "Jangan khawatir. Delia adikmu sudah tenang di dunianya yang sekarang. Dia tidak harus berjuang atau merasakan sakit lagi. Yang harus kita lakukan adalah mendoakan agar kedamaian menemani tidurnya. Aku yakin dia melihatmu sekarang. Jika kau tersenyum, dia juga akan bahagia. Jadi, hapus air matamu."

Ranzak menoleh pada Zhura dengan senyuman tipis. Ia menghapus tangisannya. Meskipun masih ada sorot kesedihan, tapi wajahnya lebih terang. Pemuda itu menarik napas, mencari topik lain. "Delia, aku mempunyai teman baru. Dia berbeda dari teman-teman di barak yang kaku dan keras. Temanku kali ini sangat baik dan lembut. Dia bahkan memasak untukku. Meskipun masakannya pas-pasan, tapi aku bersyukur bisa menjadi temannya."

"Maaf?" Zhura menaikkan sebelah alisnya, pura-pura tersinggung.

"Aku bercanda, dia sangat pandai memasak. Yah, tidak seenak masakanmu, tapi dia adalah koki yang sangat handal," ulang Ranzak dengan tulus.

Zhura menutup sisi bibirnya dan mendekati nisan Delia. "Tidak juga, dia mengatakan itu agar aku terus memberinya makanan gratis."

Ranzak pura-pura terkejut, "Bagaimana kau tahu?"

"Jadi, benar kau memanfaatkanku?!" Mata hijau Zhura melotot. Dengan bibir mengerucut, ia menepuk bahu pemuda itu.

"Akh!" Ranzak mengaduh kesakitan karena lukanya belum sembuh total.

"Maafkan aku, aku tidak ingat kalau kau masih sakit," kata Zhura mengusap-usap ringan bahu pemuda itu yang sakit. "Makanya jangan terlalu banyak bergerak!"

"Aku tidak banyak bergerak, kan kau yang memukulku barusan," bela pemuda itu.

Zhura menyilangkan tangan di dada, "Habisnya kau cari gara-gara denganku."

"Baiklah, aku yang salah. Aku minta maaf. Kau mengampuniku, kan?" Ranzak memilih mengalah daripada menimbulkan lebih banyak keributan.

Lagipula wanita selalu benar.

Zhura mengangguk, dia tersenyum jahil, "Ya, tapi aku tidak yakin makananku akan tetap gratis seperti sebelumnya."

"Apa boleh buat, kalau begitu aku harus giat bekerja!" balas Ranzak sengaja menunjukkan raut semangat. Mereka berdua lekas tergelak, mengirim sinyal kejenakaan langka yang jarang keduanya dapatkan. Selama bercengkrama dengan hangat, waktu berjalan begitu cepat. Hari sudah sore, mereka memutuskan untuk kembali.

"Kakak harus pergi sekarang, jangan khawatir karena aku pasti datang ke sini lagi. Jaga baik-baik dirimu, Delia," kata Ranzak mengusap pusara adiknya.

Sebelum berdiri, Zhura menyempatkan lagi berdoa. "Semoga berkah dan kedamaian selalu membersamaimu."

"Kami pamit dulu." Mereka berdua berjalan kembali keluar area pemakaman. Di tengah perjalanan, perut Zhura berbunyi. Ranzak lantas membeli dua roti isi, satu untuknya dan satu untuk gadis itu. Karena jarak istana masih jauh, mereka memilih beristirahat di pinggir taman. Ada banyak orang yang melakukan aktivitasnya, mulai dari berdagang atau hanya bersantai-santai.

"Terima kasih banyak, kau sudah menemaniku berziarah ke makam adikku," kata Ranzak sambil menyerahkan roti pada Zhura.

"Tidak masalah, lagipula aku sudah berjanji akan menemanimu. Ajak saja aku kalau kau butuh teman ke sana." Zhura meniup rotinya yang masih panas, lalu menggigitnya. Rasa lapar gadis itu sudah tak tertahan karena sejak pagi ia belum sarapan.

Mata Ranzak berlarian menatap anak-anak kecil yang bermain di taman. "Delia bercita-cita menjadi penulis terkenal. Dia selalu membawa buku ke mana pun ia pergi dan mencatat semua yang ia lihat. Setiap hari aku akan mendengar satu kisah karangannya, dan diminta pendapat. Saat aku mengatakan ceritanya sudah bagus, ia akan marah."

"Kenapa?"

"Cerita bagus saja tidak cukup untuk membawa pembaca ke dalam kehidupan di dalamnya. Itu yang dia katakan. Sampai sekarang aku masih belum mengetahui maksudnya." Ranzak melahap rotinya.

Zhura pun tidak paham arti kalimat itu, jadi ia tidak bisa memberikan tanggapan atas pernyataan Ranzak.

"Apa kau punya cita-cita? Atau hal yang ingin kau lakukan di hidupmu?" tanya pemuda itu tak bisa bertahan dalam keheningan.

Kerinduan datang ketika ia mengingat masa lalunya. Angin yang bertiup sepoi-sepoi pun tiba-tiba saja terasa dingin bagi Zhura. "Aku ingin kembali ke tempat asalku."

Semua orang tahu kalau gadis suci dipisahkan dari keluarga mereka tanpa pilihan. Ranzak tampaknya menyesal sudah menanyakannya. Ia menghadapkan dirinya pada Zhura. "Lailla, jika kau mau, aku bisa membawamu kabur. Kau berasal dari Desa Rubah, 'kan? Aku tahu jalan ke sana, kita bisa pergi bersama."

Zhura tak mengira akan mendengar perkataan seperti itu, jadi ia terkejut dan mencernanya untuk sesaat. "Sekali pun aku mencoba kabur, sudah pasti aku akan melakukannya dengan orang lain. Melibatkan seorang prajurit hanya akan tambah merepotkan."

"Kau tidak mempercayaiku? Bukankah kita teman?"

"Karena kau adalah temanku makanya aku tidak ingin kau terlibat," sanggah gadis itu.

Ranzak termenung, matanya menampilkan sorot gelap yang mengandung makna. Hanya saja, sulit untuk diartikan. "Lailla, aku tidak bisa diam saja melihatmu dikirim ke dataran itu. Aku tidak ingin kau berakhir seperti para gadis suci terdahulu. Hidupku akan terasa membosankan jika kau pergi. Dan lagi, orang-orang jahat itu, mereka pasti akan menyerangmu lagi. Kau harus segera kabur, aku akan membawamu pergi."

"Itu belum pasti terjadi, kenapa kau begitu melankolis? Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Meskipun ada banyak musuh yang ingin menjatuhkanku, aku tidak akan gentar." Senyum lebar datang, Zhura melarikan matanya ke seekor kucing putih yang duduk di dekat mereka. "Kau tahu kenapa? Itu karena aku sama seperti kucing."

Lawan bicaranya menggeleng. Sebelah alisnya terangkat heran, "Kucing?"

"Kami punya sembilan nyawa."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang