"Mungkinkah dia pergi lewat pintu belakang?"Benar, bodohnya ia tidak memikirkannya sejak tadi. Wanita tua itu mungkin saja pergi keluar lewat pintu belakang rumahnya, hingga dia tidak dapat menyahut. Lalu mengenai suara benda roboh tadi, Zhura mungkin hanya salah dengar, buktinya saat berkeliling tidak ada sesuatu yang jatuh di lantai.
"Lebih baik aku pulang saja." Ia masukan kalung belati biru itu dalam saku celana lalu berjanji akan mengembalikannya pada lain kali. Niat untuk pulang datang menyeruak. Kembali mengarahkan korek ke depan, kakinya melangkah perlahan keluar dari ruangan gelap. Semuanya berjalan lancar dalam beberapa saat. Meskipun begitu, entah bagaimana Zhura skeptis bisa tidur nyenyak. Betapa cepatnya wanita tua itu menghilang membuatnya bertanya-tanya hingga hal gila itu terjadi. Baru dua detik ia memikirkan berapa anehnya situasinya, lantai ruangan tiba-tiba berderit.
Suaranya bergetar, Zhura seperti berdiri di saat gempa bumi. Suara yang dihasilkan pun terdengar seperti saat kau mematahkan papan kayu yang sudah lapuk termakan rayap di sana-sini. Ia berhenti melangkah, perasaan tiba-tiba berubah menjadi kalut. Seolah-olah ingin menjawab, pada detik berikutnya goncangan kuat datang dari lantai. Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, pijakan terbuka bersamaan dengan kayu-kayunya yang jatuh ke bawah.
Zhura mengangkat sebelah kaki untuk menyelamatkan diri, tapi itu terlambat. Lantai tempatnya berpijak terlalu cepat merekah. Gravitasi menarik tubuhnya ke dalam lubang yang gelap dengan kecepatan luar biasa. Zhura pening merasakan terjun menjauh dari permukaan tanah. Pikirnya ia akan mati. Namun jatuh yang ia rasakan, membuatnya berpikir dia tengah melesat hingga ke pusat bumi. Sementara tubuhnya melalui perjalanan ke bawah kegelapan, ia memejamkan mata.
Ia putus asa menanti kapan dirinya akan sampai pada dasar lubang. Jika memang seperti ini ketentuan Tuhan, maka apa lagi yang bisa dilakukan. Ia bersyukur bisa dilahirkan ke dunia meskipun hanya sesaat. Padahal Zhura baru saja berniat baik, tapi ternyata hidup hanya sampai pada titik ini. Hakikatnya takdir memang suka melucu pada seseorang yang berusaha menjadi berguna bagi orang lain.
"Selamat tinggal, bu." Pasrah menyertai dirinya yang bersiap datang ke alam penantian. Namun, yang terjadi justru berbeda. Ia merasakan sulur-sulur lembut menghantam ringan sisi tubuhnya. Mereka terasa dingin hingga Zhura pikir ia sudah terjatuh ke kutub utara. Yah, setidaknya itu yang dipikirkannya sebelum permukaan keras membentur telak tulang punggung. Rasa nyeri seketika menggerogoti tubuhnya yang tak berdaya.
"Tunggu, apa?" Zhura membuka mata lebar-lebar. Cahaya menyilaukan entah bagaimana menyusup ke dalam iris hijaunya yang masih menerka pemandangan. Satu atau dua menit terlewat, setelah memastikan penglihatan bekerja dengan baik, ia lekas bangkit dari pembaringan. Diperhatikan pemandangan di sekitar. Ada dua hal yang terlintas di kepalanya yang berdenyut, apakah waktu sangat cepat berjalan atau ia terlalu lama jatuh ke dalam lubang?
Jam di toko roti tempat Zhura bekerja menunjukkan pukul dua puluh satu lewat dua puluh enam menit saat ia pergi mengantar roti. Itu hanya berjarak dua puluh menit dari waktu ia terjatuh di rumah kayu hingga mendarat di sini. Harusnya sekarang masih jam dua puluh dua alias malam hari. Tapi suasana tempatnya terduduk sekarang, tidak bisa lagi disebut sebagai malam, ini bahkan juga bukan pagi buta.
Ia mendongakkan kepala dengan heran. Ada matahari yang bersinar tepat di atas sana yang menggambarkan sekarang adalah waktu siang. Sementara di desa, saat ini seharusnya masih gelap alias berkebalikan. Lagipula ini November, di desa sedang musim dingin. Ia ingat bahkan ada badai salju semalam yang membuat jalanan terkubur benda dingin itu. Tapi gilanya, Zhura tidak melihat adanya sisa-sisa keberadaan es putih itu di sini.
Ini tidak mungkin mimpi. Jika memang benar, maka ia tidak akan merasakan rasa sakit yang menjadi bukti bahwa gadis itu benar-benar jatuh ke lubang tadi. Rasa gelisah menyeruak ketika Zhura menyadari sebuah kejanggalan. Beranjak berdiri, diangkat pandangannya ke atas puncak pohon. Entah seberapa tingginya pohon-pohon itu, tapi ia melihat puncaknya menghilang tertutupi kabut-kabut berwarna perak di atas sana.
Zhura sadar iris hijaunya terbelalak hampir lepas. "Kabut perak?"
Meskipun ia termasuk orang yang jarang berpergian, tapi gadis itu sangat yakin tidak ada kabut berwarna perak seperti itu di dunia. Tempatnya berdiri sekarang juga sangat aneh, pohon-pohon entah bagaimana tumbuh besar hingga terlihat menembus langit. Sejujurnya itu berlebihan. Jika diestimasikan, maka tinggi pohon-pohon itu mungkin sekitar lima puluh meter. Satu lagi, waktu dan musim di sini berbanding terbalik dengan di desa.
Dari berbagai hal tadi, poin pertanyaan utamanya adalah, "Di mana aku sekarang?!"
Cahaya matahari berkilauan menyelinap dari balik kabut perak. Sinarnya yang terang menimpa zamrudnya yang sebenarnya sengaja ia buka lebar. Sudah hampir setengah jam lamanya Zhura berdiri memperhatikan teliti pepohonan di depan. Satu hal yang ia tangkap adalah jelas-jelas tidak ada rumah kayu di atas. Rasanya tidak masuk akal dan konyol jika ia sekonyong-konyong meluncur dari langit. Selain itu, jika ia benar-benar jatuh dari langit pastinya ada jejak kabut atau ranting pohon yang berantakan, tapi nihil.
Tawa pecah dari bibirnya saat sisi kekonyolan Zhura berpesta dalam pengandai-andaian. Ia terbiasa mendengar kisah semacam ini dari dongeng tempat tidur yang diceritakan ibunya, tapi mengambil kesimpulan rasional dari hal fiksi hanya dilakukan oleh orang profesional. Lalu seperti inilah dia, sisi otaknya tidak cukup pandai hingga ia terjebak dalam kebingungan. Alih-alih dasar gelap yang akan meremukkan tubuh Zhura, lubang di lantai rumah kayu justru menariknya masuk ke dalam dunia lain dengan kabut berwarna perak.
Gila, memikirkannya membuat isi kepala Zhura meledak. Aroma kayu khas hutan belantara masuk ke hidungnya yang tak seberapa. Ia coba menenangkan diri dengan bernapas lebih dalam hanya untuk membuat seluruh tubuhnya justru menggigil karena suhu yang belum naik. Meskipun begitu, setidaknya ada banyak oksigen di tempat ini. Ia kira mungkin itulah penyebab ukuran pohon-pohon sangat luar biasa besar.
Syukurlah tidak ada risiko ia akan mati sesak napas karena keracunan karbondioksida, tapi beda lagi soal hewan buas. Berdiam tak akan menghasilkan apapun, lekas ia perhatikan sekeliling menerawang ke mana arah ia bisa melangkah. Batinnya memegang rasa pertahanan diri dengan tetap percaya bahwa ia masih ada di dunianya. Meskipun demikian, ada sedikit perasaan ragu pada hati Zhura karena sebenarnya lebih banyak rasa takut di sana. Namun, ia segera gelengkan kepala seraya menguatkan tekad untuk melewatinya karena ia harus keluar dari hutan ini sebelum malam.
"Ayo, Zhura!" soraknya semangat lalu melangkahkan kaki mengikuti jalan setapak yang tampak samar-samar. Tidak apa, jalan yang samar sudah lebih dari cukup meyakinkannya bahwa ada orang lain yang juga melintasi hutan ini. Kabut-kabut itu terlihat turun, mereka membuat suhu udara menjadi dingin bahkan di siang hari.
Kemungkinan tempat Zhura berada adalah dataran tinggi karena terlihat uap juga keluar dari mulut saat ia bernapas. Mantel cokelat yang ia pinjam dari ibunya tidak banyak membantu mengusir hawa dingin, tapi cukup mengurangi kegelisahan. Waktu berlalu, tujuh atau sepuluh kilometer sudah dilalui bersama dirinya sendiri, semuanya pun masih berjalan normal hingga dua jam ia berjalan. Ia pikir sesuatu yang terlalu mulus justru terlihat aneh dan benar saja.
Pandangan Zhura semakin terbatas karena jarak kabut dan tanah seolah tak lagi berbatas. Perlahan mereka menyebar ke permukaan tanah dan secara total menutupi penglihatan dari jalan setapak. Mereka saling berdekatan bak sepasang kekasih yang merindukan pertemuan, fakta bahwa Zhura memilih itu sebagai perumpamaan adalah tanda bahwa otaknya mulai kehilangan akal. Gadis itu melonjak saat kakinya menginjak ranting kering yang teronggok di tengah jalan. Sedikit berdecak, ia menunduk menyingkirkan ranting itu ke tepian lalu kembali melanjutkan langkah.
"Hei, Budak! Kau ingin lari kemana?!" Sebuah teriakan terdengar mendekatinya.
Zhura terlalu abai terhadap dosa-dosanya di masa lalu atau memang nasib sial sedang merasuki takdirnya. Sejak datang ke rumah kayu itu, ketenangan hidup seolah raib. Seseorang datang mencekal lengannya, Zhura menghela napas berusaha sabar. Ia membalikkan tubuh hendak melihat siapa yang beraninya menghinanya, tapi sosoknya lebih dulu menyeruak dari balik kabut. Siapa sangka seekor manusia setengah hewan kini menyeringai tepat ke arahnya.
Zhura mematung, hanya bisa bertanya-tanya dalam hati tentang kemungkinan ia sedang berhalusinasi. Ini pasti halusinasi, kalau bukan berarti dia sudah tidak waras. Ia pejamkan mata lalu menampar wajah kuat-kuat. Ketika Zhura membuka kembali pandangan, dinding logika dan realitas di kepala seketika runtuh. Demi bedak yang menempel dua sentimeter di wajah Nyonya Mary, makhluk itu masih ada di depannya.
"Centaurus?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...