30. Teratai Bulan

82 35 10
                                    

Zhura sibuk menyipitkan mata, memperhatikan deretan kata di dalam buku yang ia pegang. Demi sumur ayam yang ia makan pagi tadi, sungguh tidak ada apapun yang masuk ke dalam otaknya bahkan setelah ia membaca bukunya berulang kali. Telapak tangan gadis itu pun sudah basah akibat keringat setelah ia membolak-balik halaman demi halaman selama berjam-jam. Ketika ia berada di akhir bagian, punggungnya sampai pada titik di mana ia tidak dapat lagi duduk tegak.

Pada saat itu ia memilih menenggelamkan wajah di antara lengan di atas meja. Di sela-sela istirahatnya, seseorang datang mendekat. Gadis itu sontak mengangkat wajahnya dan menyadari kehadiran seorang wanita muda. Dia datang dengan wajah berseri dan senyuman anggun. Zhura mengerjapkan mata ketika wanita itu menggeser buku-bukunya untuk meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat. Aksinya juga tertangkap mata Azhara yang memilih tidak acuh

"Salam, Yang Mulia Azhara. Carmina datang membawakan teh hangat yang saya seduh sendiri untuk Anda. Udara pagi yang sejuk memang berkah dan bagus untuk kesehatan, tapi Anda tetap harus memperhatikan kehangatan Anda," ujar Carmina yang juga merupakan ketua pengawas paviliun Azhara. Tidak seperti pelayan lain, Carmina berpenampilan sangat cantik dan bergaun rapi. Ada hiasan indah di rambutnya yang berwarna hitam legam. Melihatnya begitu leluasa berhiliran di sekitar paviliun, sepertinya dia sudah cukup lama melayani Azhara.

Sementara Carmina mencoba menguarkan pesona kecantikannya, Azhara hanya melirik tehnya dan kembali fokus pada bacaannya.

"Apakah Anda membutuhkan sesuatu yang lain? Carmina akan bawakan ke sini." Wanita bergaun kekuningan itu berujar lagi karena Azhara tidak meresponnya secara maksimal.

"Tidak perlu," jawab Azhara mengibaskan lengannya di udara tanpa mengangkat pandangan.

Zhura bergeming ketika ia menangkap sinyal ketidakpedulian sosok perak di depannya pada Carmina. Wanita berambut legam yang menerima penolakan dari tuannya itu lantas menarik diri. Dengan raut murung, dia menunduk hormat. "Jika tidak ada yang Anda perlukan lagi, Carmina akan undur diri. Permisi, Yang Mulia," ujarnya dengan nada rendah. Setelah memberi tatapan sengit penuh kecemburuan pada Zhura, ia berbalik dan pergi. Zhura yang menyadari kebencian wanita itu padanya lantas mendelik tak percaya.

Gadis bermata hijau itu menatap punggung Carmina dengan bibir mengerucut. "Dasar, orang-orang di dunia ini benar-benar pemarah. Jika tidak mengalami penindasan maka mereka pasti jadi penindas."

Azhara terlihat membalik halaman pada bukunya, "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan."

Zhura memperbaiki duduknya ke posisi semula seraya mengangkat alisnya bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Hidup adalah serangkaian perubahan bebas. Jika itu dilawan, hanya akan menciptakan kesedihan. Biarkan segala sesuatu mengalir secara alami dengan cara apapun yang mereka sukai. Jangan terpengaruh orang lain, jalani dan fokus saja pada hidupmu. Ciptakan sendiri apa yang terbaik menurutmu bahkan jika itu membuatmu berdiri sendiri," balas Azhara mengakhiri bacaannya. Pemuda perak itu mengitari pinggiran cangkir tehnya dengan ibu jari, sebelum menggesernya menjauh dengan wajah dingin. Pandangan gelapnya beralih pada Zhura, "Kau sudah membaca bukunya, sekarang salin itu dan tunjukan padaku."

Zhura mengulum senyuman kecil seraya menggaruk tengkuknya. "Sejujurnya Lailla tidak membaca apapun sejak tadi."

Azhara lantas mengernyitkan kening dengan bibir terkatup rapat, sorotnya yang lebar bertanya-tanya 'Bagaimana bisa?'

Dengan cergas Zhura mengangkat kedua tangannya, "Jangan marah. Aku memang tidak bisa membaca atau menulis, jadi aku tidak memahami apapun di buku ini. Anda tahu, 'kan? Aku hanya gadis biasa yang lahir di keluarga miskin. Ayahku hanya penebang pohon dan ibu seorang peternak sapi. Yang aku lakukan hanya naik turun bukit sambil membopong kayu atau memerah susu sapi di kandang. Aku tidak punya cukup waktu untuk belajar baca tulis. Guru pasti mengerti, 'kan?"

Lihatlah seberapa pandainya Zhura membuat cerita.

Azhara terlihat mencebikkan bibirnya, kemudian mengambil buku di tangan Zhura. Terlihat ia membuka buku itu dengan alis mengerut, seakan tengah menahan emosi. "Kita mulai dari paling dasar saja. Apa kau tau siapa itu gadis suci?"

"Tentu saja!" Zhura menepuk tangannya, lalu beranjak berdiri dengan girangnya. Ia menunjuk gantungan kecil di pinggangnya yang menunjukkan identitasnya sebagai gadis suci. Bola mata Zhura bergerak ke kanan ketika ia mengutip penjelasan Inara beberapa waktu lalu. "Semua orang di Firmest pasti tahu siapa itu gadis suci. Mereka adalah gadis-gadis terpilih yang mendapat tugas untuk pergi ke dataran tersembunyi. Tujuan mereka adalah membunuh pemilik naga biru lalu mengambil darah sucinya, agar Firmest bisa terbebas dari kutukan."

Azhara menimpali tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, "Sejak ribuan tahun, kelima kerajaan mengirim para gadis ke dataran itu dan tak ada satu pun dari mereka yang kembali. Bahkan dengan segala jenis upaya, selain mereka, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana."

Zhura melihat sorot Azhara turun seperti daun kering di musim panas. "Apa kalian tidak pernah mencoba masuk ke dataran itu? Maksudku para pria?"

"Dulu pengiriman gadis-gadis pernah dihentikan, dan beberapa pria cakap menggantikan mereka untuk memasuki dataran itu. Pada akhirnya mereka tidak kembali, tapi bencana datang menghampiri Firmest. Untuk mengatasinya, para gadis-gadis kembali dikirimkan."

Gadis zamrud itu kembali ke tempat duduknya, ia membuat raut berpikir dengan sangat serius. "Aneh, jadi dataran itu hanya menerima para gadis. Sekarang aku mengerti, pemilik naga biru itu pasti seorang pria hidung belang, makanya dia menahan gadis-gadis itu di sana."

Azhara tidak mengatakan apapun, pemuda itu tampak tidak kuasa mengimbangi kerasionalan gadis di depannya.

Zhura menepuk bahunya beberapa kali, lalu tersenyum meyakinkan. "Jangan khawatir, Guru. Kali ini kita pasti berhasil! Darah suci itu, aku akan membawakannya padamu!"

Decihan kecil keluar dari bibir Azhara. "Kau begitu optimis."

Zhura mengusap ujung hidungnya yang memerah akibat kedinginan. Gazebo tempat mereka duduk sekarang berada di sisi danau di mana pada pagi hari seperti ini uap belum sepenuhnya naik. "Tentu saja, aku sudah melalui banyak hal berat hingga sampai di sini! Aku bahkan melawan empat dart sekaligus, jika bukan karena keyakinan aku mungkin sudah mati dimakan mereka. Kau tahu, optimis adalah satu langkah maju di tengah gempuran cobaan."

Kerutan tercipta lagi di kening Azhara yang mulai menghadapkan diri sepenuhnya pada Zhura. "Gadis-gadis sebelumnya juga optimis sepertimu, tapi mereka tetap saja tidak kembali."

"Sudah kubilang aku berbeda! Bukankah aku ini muridmu? Meskipun jalan kami sama, tapi langkah kami berbeda. Mereka mungkin jauh lebih berbakat, tapi tekadku adalah pantang menyerah. Buktinya sekarang aku bisa duduk di sini. Kau bisa mengandalkanku, Guru." Zhura mengakhiri kalimatnya dengan kedipan sebelah mata.

Azhara yang melihatnya sontak melarikan pandangan ke danau. "Kalau begitu katakan, bagaimana kau akan masuk ke dataran itu?"

Pandangan Zhura jatuh batu biru di leher Azhara. Hasrat ingin merampoknya tiba-tiba datang, tapi ia sadar sekarang bukanlah kesempatan yang tepat.

"Pasti ada jalannya."

"Ada sebuah sekat yang memisahkan dataran itu dengan wilayah lain, sekatnya hanya terbuka ketika teratai bulan mekar setiap enam belas tahun sekali. Saat itu terbuka, para gadis akan diberangkatkan," jelas Azhara mengulurkan tangannya ke atas meja. Lalu dari telapak tangan pemuda itu muncul bayangan bunga dengan kelopak berwarna merah muda yang ia sebut teratai bulan.

"Teratai bulan?!" Zhura menutup bibirnya, ia mencegah kalimat keterkejutan keluar lebih banyak dan menimbulkan kegaduhan. Jadi, bunga yang ditunjukkan Azhara adalah hal yang dimaksudkan oleh Tabib Ma. Teratai bulan itu adalah penentu waktu bagi gadis suci berangkat ke wilayah pemilik naga biru. Sekarang ini menjadi semakin lebih jelas, tapi juga mencurigakan. Selain sekarang adalah waktu-waktu di mana bunga itu hampir mekar, Zhura yakin ada motif lain kenapa wanita tua itu memintanya melindungi teratai bulan. Zhura menatap bayangan bunga di tangan Azhara dengan sorot bergemuruh, ia merasa dugaannya mengenai keberadaan konspirasi di istana semakin menjadi nyata

***

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang