43. Dua Bidak

74 30 2
                                    

"Apa ... maumu?" tanya Zhura bersama rintihan. Kerikil kecil yang memenuhi jalanan menusuk kakinya membuat ia kesakitan.

Sosok yang menahan tangannya merespon, "Menyerahlah atau Azhara akan hancur."

Tawa pecah dari bibir Zhura. "Kau begitu percaya diri, sekuat apa kau hingga berani menantang guruku?" Zhura tidak paham pada konsep menyerah di sini. Apa yang sebenarnya ia lakukan hingga memiliki begitu banyak orang yang ingin membunuhnya.

"Aku tidak bilang akan menghancurkan dia dengan tanganku. Aku akan membuat dia hancur lewat dirinya sendiri. Kau tahu, roh jahat itu, 'kan? Yang kulihat kau sangat peduli padanya. Jadi, serahkan saja dirimu."

Seorang yang tersesat bukan berarti tak memiliki jalan pulang, terkadang ia harus melewati sisi lain jalanan atau bahkan mengelilingi dunia untuk bisa kembali ke rumah. Sejauh apapun itu akan Zhura tempuh, sesulit apapun itu akan Zhura lakukan. Jika itu berarti ia bisa pulang, berapa pun luka akan ia tanggung sakitnya. "Dalam mimpimu!" Ia berbalik, menendang perut orang yang menahannya. Orang itu pun tersungkur. Sosok yang lain lekas menyerangnya. Zhura menguatkan kuda-kuda untuk menangkis pedang mereka dengan punggung tangan.

Sesuai dugaannya, ia sangat kerepotan menerima serangan bertubi-tubi sekaligus, tubuhnya mulai kelelahan. Ia tidak bisa membiarkan pertarungan berjalan lebih lama atau orang-orang akan semakin ketakutan. Dengan cepat ia meraih kerikil di bawah. Dengan ranting pohon dan pita rambutnya, sekarang Zhura membuat sebuah katapel.

"Akh!" Lengan kanan atas Zhura terkena sabetan pedang sosok bertudung. Ia tak mau menunggu rasa sakit datang dan menghentikannya untuk melawan. Begitu kuat ia tarik tali katapelnya lalu mengarahkannya pada musuh. Sosok bertudung yang terkena tembakan katapel Zhura meringis karena sebelah matanya terluka. Tentu saja, semua bagian tubuh mereka tertutup, hanya mata yang mereka gunakan untuk melihat yang dibiarkan terekspos. Jadi, Zhura hanya bisa mengincar bagian itu.

Ia mengambil batu lagi, lalu menembakkan itu ke sosok lain. Namun, mereka sudah bisa menebak arah tembakan Zhura. Sinar merah yang begitu besar menyala di telapak tangan salah satu dari mereka, seolah ingin segera mengakhiri pertarungan, sosok itu langsung saja menembakkannya pada Zhura. Hawa panas menyelubunginya yang hanya membatu ketika dirinya semakin dekat dengan sinar itu. Zhura menutup matanya, tak siap pada apa yang akan ia rasakan. Namun, sesuatu terjadi. Seorang pemuda datang menghadang serangan itu, setelahnya mereka berdua terjatuh.

"Kau?!" Zhura membuka matanya dan menemukan seorang pemuda yang ia kenal beberapa hari lalu.

Ranzak memuntahkan darah, tubuhnya terluka parah setelah menerima sinar merah dari sosok bertudung itu. Dengan tertatih, ia bangkit dan menghadap mereka. Tanpa sepatah kata pun, Ranzak mengeluarkan suar dan menembakkan ke langit. Sosok-sosok itu yang sadar bahwa isyarat bantuan dikeluarkan dan prajurit mungkin akan datang, segera saja mereka berlari menjauh. Mereka seperti ketakutan sehingga tak peduli lagi pada Zhura yang sebenarnya sudah tak berdaya untuk melawan.

"Hei, kau baik-baik saja?" Zhura tergesa berdiri untuk memeriksa keadaan pemuda di depannya. Namun, Ranzak hanya terdiam dan terus mengeluarkan darah dari mulutnya.

"Jangan khawatir, kau sudah aman, Lailla," ujarnya parau. Tubuh pemuda itu mendingin sebelum kemudian jatuh tak sadarkan diri.

***

Kandelir yang dipasang di bangunan-bangunan membantunya melihat sekitar kawasan yang ia lalui malam hari ini. Sosok itu berjalan tenang di lorong panjang yang mengantar dirinya ke sebuah ruangan berornamen mewah di mana seseorang menunggunya. Hanya saja, keagungan dan kemewahan di dalam sana harus tersembunyi akibat pencahayaan yang dimatikan. Entah apa tujuannya, ruangan itu seakan-akan dijadikan saksi bisu pertemuan dua orang misterius tersebut. Salah satu orang bertudung membungkuk, dia terlihat lemah.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang