140. Sosok Familiar

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Aliran darah melambat karena oksigen menipis, sementara langit menggelap menandakan malam menetap. Kabut tebal yang sebelumnya hanya di permukaan, sekarang turun memenuhi tempat kami berdiri. Selain mengandalkan kemampuan penglihatan jarak jauh milik elf penglihat seperti Inara, tidak ada lagi yang bisa diusahakan. Jarak pandang hanya tersisa tiga meter, sisanya memudar seperti halnya aura semangat di wajah orang-orang.

"Banyak cara sudah dicoba. Dibuka paksa atau bahkan mantra pembuka segel terkuat, semua cara tidak bisa menembusnya," ujar Asyaralia menatap lambang di hadapan mereka. Seolah mengiyakan, semua orang terdiam, bergelut dengan satu pikiran yang sama.

"Mungkin ini hanya tulisan biasa, kita tidak bisa mengusahakan apapun. Para prajurit di atas tidak akan bertahan lebih lama tanpa kita. Jumlah mereka yang gugur mungkin saja sudah berkali-kali lipat, sementara kita duduk di sini. Orang-orang yang terluka juga harus segera merapat ke divisi kesehatan di permukaan. Bagaimana pun keputusannya akan kembali pada Jenderal Dima," Aryana bersuara dengan tegas, meskipun ada nada getir pada ucapannya.

Jenderal Dima mengangkat bahu, menepuk sebelah kakinya yang terluka. "Melihat situasi di tempat ini yang tidak memungkinkan untuk ditinggali, kurasa kita harus naik ke permukaan. Berdoa saja semoga semua sumber daya masih tersedia di sana."

Aryana mengangguk. Dia berujar, "Aku sudah mengutus elf perintis untuk membuat tangga ke atas permukaan. Seharusnya sekarang hampir selesai."

Tepat setelah pria paruh baya itu selesai berujar, Inara yang sudah lebih baik kini memejamkan mata. Zhura sadar ada sesuatu yang mulai dirasakan kehadirannya oleh gadis itu.

"Ada banyak orang berjubah hitam. Mereka ... Shar!" ungkap Inara panik.

Seorang prajurit mendekat pada Aryana, dia menginformasikan bahwa tangga buatan menuju ke permukaan sudah siap. Semua orang bisa kembali ke permukaan.

Ramia mendekat ke arahku, "Lailla, sebaiknya kita naik sekarang."

Zhura mengangguk setuju.

Satu per satu orang berjalan menuju tangga di dinding. Langkah demi langkah terasa berat karena suasana mencekam semakin menyesakkan. Satu anak tangga disusul satu lagi. Sementara kaki Zhura hati-hati mengambil pijakan pada tangga yang licin, Arlia sudah melaju dengan mudahnya ke atas. Ia berjarak lima meter si atasnya. Gerakannya gesit dan tidak goyah.

Zhura yang kelelahan sangat kesulitan untuk bergerak maksimal. Meskipun begitu, akhirnya ia berhasil sampai di permukaan. Kini ia ada di tempat yang lebih stabil. Setelah mendapat keseimbangan, ia membantu Inara naik. Satu demi satu gadis dan prajurit juga naik ke dataran dingin ini. Keadaan malam yang gelap tidak menghalangi pandangan dari kekacauan.

Sosok gadis merah itu tertangkap mata Zhura, "Valea, kau baik-baik saja?!"

Valea mengangkat sebelah pedangnya. Keadaannya kacau. Zirahnya yang terkoyak sudah ia lepaskan. Hanya seragam biru yang kini setia membungkus tubuh penuh lukanya di antara udara malam. Keadaan yang sama juga terlihat pada gadis-gadis suci terdahulu dan para prajurit.

"Maaf, kami terlalu lama. Butuh waktu untuk mengatasinya."

Gadis merah itu berdecak, "Ada segerombol makhluk aneh datang menyerang, kalian melewatkan hal seru."

"Kurasa tidak." Inara menyela, berdiri di samping Valea. Ditunjukkan jari telunjuknya yang mengarah ke depan, selurus pandangannya yang entah bagaimana terlihat pias.

"Musuh yang sesungguhnya baru saja sampai."

Serupa, semua gelagat menjadi satu. Diam tak bergerak dengan mata lebar. Alasannya ada di depan sana. Datang dari berbagai arah, segerombol besar pasukan berjubah hitam datang. Mereka berjumlah ribuan. Sosok familiar terlihat berada di depan pasukan itu, Tuan Minra.

"Ayah." Arlia tampak berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar tak kuasa menahan isakan yang keluar dari bibir. Detik berikutnya, ia berlari menyelinap di antara pasukan.

"Arlia!" Zhura mengikutinya. Begitu pun Inara dan Valea yang terlihat berlari di belakangnya.

"Ayah!" seru Arlia menarik perhatian seluruh orang termasuk Tuan Minra sendiri. "Ayah! Kau bodoh! Kenapa kau melakukan ini semua?! Kau ingin membunuhku, hah?!" Gadis itu kalang kabut berusaha berlari lebih dekat ke infanteri itu.

"Arlia, tenanglah!"

"Tahan dia, kita tidak tahu apa yang mereka rencanakan," ujar pangeran Aryana datang sementara Asyaralia turut menyusul ke depan.

"Kami tidak menginginkan pertumpahan darah! Semua orang ini tidak perlu menjadi korban jika kalian mau menyerah!" seru Tuan Minra dari tempatnya. Arlia mulai berhenti berontak, begitu juga semua orang yang memasang kembali telinga lekat-lekat.

Aryana maju beberapa langkah, "Kenapa kami harus menyerah?! Sejak awal, kalian yang mengusik kerajaan dan bahkan menghalangi kelangsungan pengiriman gadis-gadis untuk darah suci!"

"Itu adalah pengorbanan untuk terciptanya dunia yang penuh kedamaian!" balas Tuan Minra.

Asyaralia yang tak terima kini mengikuti kakaknya, "Dengan menghilangkan nyawa ayahku! Saudaramu sendiri! Kau sebut itu apa?!"

"Raja dan segala pengikutnya hanyalah orang yang tersesat. Orang-orang munafik. Mereka terus mengorbankan nyawa gadis-gadis tak berdosa dan menyebut itu upaya pembebasan dunia dari kutukan. Aku tidak pernah mengakui itu. Yang akan aku lakukan ini akan membawa kedamaian baik bagi Firmest! Pengorbanan kalian semua tidak pernah cukup hingga rencana kami ini sukses!"

Tepat setelah Tuan Minra menyelesaikan kalimatnya, gerombolan infanteri itu membelah. Mereka membuat jalan bagi seseorang maju. Perlahan orang itu menampakan diri di tengah-tengah kaburnya penglihatan. Dia bergaun merah terang, kulitnya putih langsat sangat kontras dengan lingkungan sekitar. Zhura mengerjapkan mata, memastikan betul-betul apa yang ia lihat dengan matanya.

 

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang