53. Simpul Benang

73 27 1
                                    

"Itu petanya. Aku sudah menyertakan jalur sungai dan darat, lengkap dengan penandanya."

Zhura menyerahkan sebuah kertas pada Valea, kemudian membuka jendela agar udara segar masuk.

Dengan kening berkerut, gadis merah itu mengamati lukisan Zhura. "Bagaimana bisa kau mendapatkan gambaran sedetail ini?" Terduduk di atas ranjangnya, ia masih menggunakan baju tidur karena baru bangun ketika Zhura datang membawa peta pelarian mereka.

"Kau tidak perlu tahu. Aku sudah memberitahu Inara soal peta itu, selanjutnya aku serahkan padamu."  Zhura hendak keluar dari kamar itu tapi tertahan karena Valea menangkap sebelah lengannya.

Ia menatap gelang Zhura dengan pandangan lebar. "Gelang ini, siapa yang memberikannya padamu?"

"Ini hanya aksesoris biasa dari Azhara." Zhura menarik tangannya menjauh. "Kenapa kau begitu terkejut?"

Valea tahu itu bukan gelang biasa. Gelang itu adalah gelang Arbutus. Sebuah azimat suci kuil Azalea di selatan Silvermist. Hanya satu banding sepuluh juta orang yang bisa mendapatkannya karena dibutuhkan ujian kekuatan spiritual yang sulit. Azalea berarti keselamatan atau kehati-hatian. Tanpa dipikirkan lebih dalam, makna dibalik pemberian gelang ini sudah jelas.

"Zhura, seperti apa hubungan di antara kalian?"

"Apa maksudmu?"

"Satu-satunya yang kutahu, kau tengah berusaha mendapatkan kalung biru Azhara. Namun, aku tidak mengerti caramu mendekatinya. Sekarang beritahu aku, cara apa yang kau gunakan untuk mendapatkan kepercayaannya? Apa kau berpura-pura menjadi sahabatnya?" tanya Valea mendesak. Raut kantuk sudah hilang sepenuhnya, dia seperti dilanda kekhawatiran.

Zhura terkejut terhadap sikap Valea yang terlihat gelisah. "Awalnya aku berniat mendapatkan kepercayaannya dengan menjadi murid yang baik dan dapat diandalkan. Tapi dia sangat tertutup, jadi aku berusaha menjadi temannya. Waktu berjalan, kini aku merasa kami sedikit lebih dekat."

"Tapi kau tidak berusaha membuat dia menyukaimu, 'kan?" Valea berdecak, pening menyerang kepala merahnya.

"Memangnya kenapa?" tanya Zhura dengan sipu di wajahnya karena teringat kejadian kemarin.

"Kau berniat mencuri hatinya?"

"Tunggu, ada apa sebenarnya? Kenapa kau bersikap seperti ini?" Zhura keheranan setengah mati. Sedikit memalukan menyebutnya mencuri hati Azhara, tapi dulu itulah yang Zhura coba lakukan. Meskipun ia tahu bahwa membuat kenyataan itu begitu sulit, ikatan yang terjalin di antara mereka sekarang harusnya menjadi bukti bahwa itu tidak mustahil.

Mata kemerahan Valea mengamati sekitar. Ia memastikan tidak ada orang yang akan mendengar komentarnya, "Hei, dengarkan! Salah satu pantangan terbesar Azhara adalah cinta. Dia tidak boleh mempunyai perasaan apapun pada siapapun! Jika dia memiliki perasaan berlebih pada suatu hal, maka hal itu akan dilenyapkan. Kau tahu maksudku, 'kan?"

"Dilenyapkan?" Bibir Zhura bergetar, terbayang dalam kepalanya definisi dari kata itu.

"Tidak masalah. Dia pasti hanya menganggapmu sebagai temannya, jadi ini belum terlambat. Mulai sekarang, menjauh darinya. Ini demi keselamatanmu!" kata Valea menepuk bahu temannya.

Zhura termangu. Batinnya berteriak meminta penjelasan. Selama ini ia tahu kalau ada aturan yang membatasi perasaan Azhara, ia tidak menyangka bahwa apapun yang ketahuan disukai olehnya akan dimusnahkan. Kenapa Valea baru mengatakannya sekarang? Kenapa dirinya harus tahu kenyataan ini saat ia justru merasakan sesuatu? Ini mungkin belum terlalu jauh, tapi Zhura tak bisa membohongi dirinya sendiri. Haruskah ia menarik apa yang sudah datang di hatinya untuk pemuda itu?

***

"Hei, Lailla."

Zhura menoleh ke belakang. Ia menemukan seseorang berdiri seraya membawa banyak tanaman obat.

"Ada apa, Carmina?"

"Aku hendak menyeduh obat, tapi aku butuh bantuan. Para pelayan sedang banyak pekerjaan, aku tidak bisa menganggu mereka. Sepertinya kau sedang tidak sibuk, maukah kau membantuku? tanya Carmina.

Sebenarnya Zhura bukan tidak sibuk. Seharian ini ia hanya terlalu lelah bertarung dengan akal pikirannya. Alhasil ia memilih menjauh sejenak dari rutinitas biasanya dan malah berputar-putar di sekitar kawasan tempatnya tinggal. Harusnya ia bersembunyi saja di dalam kamarnya. Meskipun Zhura malas, ia tidak bisa menolak permintaan Carmina karena wanita itu berniat membuat obat.

"Baiklah."

"Terima kasih, Lailla." Carmina lalu membawa Zhura ke dapur pribadinya. Di sana terdapat banyak racikan obat dan bahan-bahan herbal. Sepertinya wanita muda itu begitu tertarik dengan dunia obat-obatan. Zhura diminta membantu membersihkan dan menghaluskan tanaman obat, sementara Carmina sibuk mengaduk-aduk ramuan yang sedang dimasak.

"Lailla, bisakah kau aduk ini? Aku harus memilah bahan terakhir dengan hati-hati."

Zhura mengangguk, mengambil alih tugas mengaduk ramuan herbal itu. "Untuk siapa kau membuat obat ini?" tanyanya.

Carmina mengulas senyuman, matanya menampilkan sorot beraneka warna saat ia berujar, "Aku berniat membuat obat ini untuk Yang Mulia Azhara. Aku belum memberikan hadiah ulang tahun padanya. Karena ia tidak menerima hadiah apapun yang diberikan, aku memutuskan memberikan ramuan herbal ini."

Gerakan tangan Zhura terhenti, ia melihat pantulan wajahnya di dalam ramuan. Keruh. "Dia tidak menerima hadiahnya?"

"Iya, sejak kecil semua hadiah ulang tahun itu akan ia timbun di ruangan khusus. Gelap dan dingin, benda-benda mewah itu berakhir menjadi debu dan tak tersentuh. Sungguh disayangkan," tambah Carmina.

Zhura merasa tidak nyaman. Jika hadiah mewah dan mahal yang diberikan orang lain saja Azhara abaikan, lalu bagaimana dengan hadiahnya? Mungkinkah lonceng angin buatannya juga berakhir di sudut ruangan, teronggok tak terlihat?

"Aduk dengan tekun, Lailla." Carmina memasukkan bahan terakhir ke dalam panci. Ia lalu meletakkan mangkuk di meja. "Obat ini akan menjadi hadiah terbaik dariku. Karena ini herbal, ia tidak mungkin membuangnya. Akhir-akhir ini dia tidak enak badan, kukira itu karena dia salah makan. Aku sedih saat ia sakit. Ramuan ini berguna memperlancar pencernaannya dan menguatkan kekuatan spiritualnya."

"Kau begitu perhatian padanya." Zhura menahan napas ketika satu lagi panah menancap di dalam jantungnya.

Carmina mengambil panci itu dan menuangkan ramuannya ke dalam mangkuk. "Tentu saja, aku membuatnya dengan tulus. Aku sudah berada di sisinya sejak ribuan tahun, bagiku dia adalah segalanya."

"Apa?" Zhura berharap ia salah mendengar.

"Meskipun dia tidak bisa membalas perasaanku, aku berharap suatu saat nanti dia bisa melihat seberapa besar aku mengaguminya." Carmina selesai dengan ramuannya. Senyum tipis ia angsurkan seraya menampilkan sorot tersirat pada Zhura yang mematung.

"Lailla, aku sangat mencintai Yang Mulia Azhara."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang