125. Kacau

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Aryana menelan ludahnya gugup. Dirinya semakin dilanda keresahan. Ia ingin pergi menyelamatkan adiknya dan gadis-gadis suci itu, tapi di sisi lain danau itu tidak menerima eksistensinya sebagai setengah manusia dan setengah elf. "Maaf, bolehkah saya menanyakan sesuatu?" tanyanya duduk di dekat centaurus tua si juru kemudi.

"Tentu," jawab juru kemudi itu.

"Anda tahu jika saya dan adik saya bukanlah manusia murni, tapi bagaimana bisa Scabious itu membawa adik saya ke dunia mereka? Bukankah mereka hanya menerima manusia?"

"Pada dasarnya semua ras dari semua makhluk adalah musuh Scabious. Tapi, dibanding kebencian terhadap ras lain, kepada manusialah yang masih bisa diterima dengan jantung mengecil," jelas centaurus tua itu.

Aryana melirik Luther dan Vilois yang juga diam-diam mendengarkan percakapan mereka. "Jantung mengecil?" tanya pemuda itu.

"Maksudnya berat hati." Juru kemudi itu melepas topi bundarnya, menatap lurus Aryana. "Tidak ada kriteria khusus untuk para Scabious menjadikan makhluk lain sebagai pasangan. Hasrat para mahkluk dunia bawah itu pada lawan jenis tidak memandang ras. Hanya jika ia tertarik pada fisiknya, maka mereka akan mengejarnya sekuat tenaga."

Aryana mengernyit, "Maksud Anda Scabious itu tidak akan melepas adik saya? Apakah ada kesempatan bagi adik saya untuk kembali?"

"Ya, jika adikmu beruntung. Jika tidak, maka dia akan selamanya terkurung di sana. Hidup sebagai pasangannya."

Aryana tidak bisa berkata-kata. Entah pemuda itu tak memiliki balasan atau tak sanggup mengutarakan hal lain. Ia tertunduk gemetar, saking takutnya kenyataan demi kenyataan buruk akan datang dan meremas jantungnya.

Ramia menghela napas. Telinga lancipnya yang tak sengaja mendengar percakapan juru kemudi dan Pangeran Aryana, lekas membawa perasaan gusar untuk semakin membludak di hatinya. Pemuda elf itu tak pernah merasa segusar ini bahkan pada tuannya, Azhara. Entah bagaimana bisa, tapi seperti ada sesuatu yang memaksa matanya agar menetap pada permukaan danau yang tenang itu.

Ada seseorang yang ia inginkan keselamatannya.

Dan pada saat suara ketukan jemari seseorang terdengar semakin cepat. Ia mendapati seorang gadis yang duduk di ujung perahu, demikian membuat Ramia yakin bahwa bukan hanya hatinya yang merasakan perasaan keruh itu. Jika saja situasinya tidak seperti sekarang, maka perasaan Ramia pasti akan menghangat. Hangat seperti musim panas, di mana hatinya akan bersinar seperti saat ia biasa mencuri-curi pandang pada wajah gadis elf itu.

***

"Penyusup!!!"

Suara menggelegar itu menyeruak begitu nyaring.

"Zhura, tubuhmu!" seru Maris menunjuk Zhura dengan wajah terkejut. Kaki-kaki mungil dan capit kemerahan yang sebelumnya ada pada mereka kini hilang. Terganti oleh tangan dan kaki manusia. Di sisinya Maris juga sudah berubah menjadi menusia. Entah kapan perubahan wujud mereka terjadi, tapi hal merepotkan segera datang setelah eksistensi mereka diketahui.

Zhura menoleh kembali pada wanita bergaun kuning. Kulitnya yang kuning langsat kini memerah. Pupil matanya yang berwarna putih menatap nyalang. Sementara kedua tangannya terkepal, sisik-sisik keemasan juga mulai mencuat dari sisi wajahnya. Dia tampak menyeramkan.

"Beraninya kalian menyusup!!!" seru wanita bersisik itu bergema di dinding-dinding batu.

"Maaf, Nona. Kami tidak bermaksud melakukannya, kami hanya ingin menjemput teman kami," jelas Zhura turun dari ranjang. Maris terlihat mengangguk-angguk melakukan hal serupa.

Wanita bergaun guning itu menggeleng hingga rambut birunya terkibas. "Pemuda itu milikku, kalian berdua pergilah!!!"

"M-milikmu? Dia adalah teman kami! Dan kami akan membawanya kembali!" timpal Maris.

Suasana di dalam ruangan batu memanas saat wanita bergaun kuning menjerit. Zhura dan Maris menutup telinga mereka yang terasa seperti dicabut saking nyaringnya teriakan makhluk di depan. Pada saat yang sama, terdengar langkah kaki mendekat. Valea dan Yiwen datang. Dalam sepersekian detik, si gadis merah melesatkan sesuatu dari tasnya ke arah wanita bergaun kuning.

Shut!

"Sial!" umpat Valea saat kunainya yang ia arahkan meleset. Anehnya sosok wanita bergaun guning tadi menghilang, menimbulkan setumpuk keheranan di kepala setiap orang.

"Di mana dia?!" seru Yiwen menyiapkan pedangnya.

"Argh!" Teriakan Maris membuat mereka terkesiap. Gadis itu terduduk dengan lengannya yang bersimbah darah. Luka cakaran yang panjang terlihat menganga di tangan kirinya.

"Siapa yang melakukan ...-" Ucapan Yiwen terpotong karena tubuhnya lebih dulu terlempar ke dinding batu. Pada detik berikutnya, pintu ruangan itu tertutup dengan sendirinya. Zhura menyadari aura dalam ruangan yang panas tiba-tiba berubah menjadi dingin seolah-olah i berdiri di kutub utara.

"Kekuatan macam apa ini?!" rintih Maris berusaha menekan lukanya yang terus berdarah bahkan di suhu rendah.

"Aargh!" Tubuh Valea terlempar beberapa meter hingga menghantam dinding.

"Valea!" Zhura membuka langkah lebar mendekatinya, tapi sesuatu yang tak kasat mata datang menerjang. Ia tak sempat menghindar ketika punggungnya disudutkan pada dinding dengan kekuatan yang tak menusiawi. Bukan pada kekuatan terjangannya. Zhura tersiksa oleh dinding batu yang terasa seperti lapisan es. Sangat dingin, membekukan tubuhnya dalam sekejap.

"Kau menggangguku dan calon suamiku."

Suara bisikan itu terdengar bersamaan dengan rasa perih di sisi wajahnya. Zhura mencoba menghirup aroma dari makhluk itu, tapi tidak ada apapun yang ia cium. Melawan musuh yang kuat akan semakin sulit saat kita tidak bisa melihatnya. Jika seperti ini keadaannya hanya ada satu cara untuk melepaskan diri. Sedikit tidak sopan memang, tapi aku sudah terbiasa melakukannya dalam keadaan genting.

Cuh!

Sesaat setelah cengkeraman tak kasat mata itu mengendur, Zhura segera merendahkan tubuhnya. Ia berputar menyelengkat apapun yang ada di depan. Setelah itu, ia berlari ke arah gadis-gadis. Valea terlihat mengusap mulutnya yang berdarah, sementara Yiwen terlihat membantu Maris membalut lukanya dengan balut darurat.

"Dia tidak terlihat, wanita itu licik!" Valea melirik Asyaralia yang terbaring di atas ranjang. "Setidaknya jangan tidur saja, dan bantulah kami," ujar gadis merah itu bersungut-sungut.

"Hanya sedikit waktu yang kita miliki. Ramuannya akan berhenti bekerja. Jika kita tidak keluar segera, aku takut waktunya tidak akan sempat." Yiwen berdiri turut menatap ke arah Asyaralia.

Maris yang terduduk, terlihat menunduk lesu. "Suhu di ruangan juga sangat dingin, kaki dan tanganku membeku. Semuanya sulit digerakkan. Aku rasa mati kedinginan dan kehilangan kerja ramuan itu terdengar sama buruknya. Kita akan segera berakhir," gumam gadis itu.

"Bodoh, berhenti bicara seperti itu!" seru Valea acuh.

"Apa? Memang keadaan kita terpojok! Aku tidak berusaha memperburuk suasana, tapi kita akan segera mati!" timpal Maris mendongakkan kepala, menatap Valea dengan sorot berkaca-kaca.

Valea berdecak, "Hanya seperti ini kau sudah putus asa! Lalu bagaimana kau akan bertahan di medan peperangan?! Mengandalkan air mata dan sorot menyedihkan seperti itu tidak ada gunanya! Dasar cengeng!"

Maris terlonjak, mengusap air matanya. "Kau bilang aku cengeng? Lalu bagaimana denganmu yang bersikap seenaknya menyihirku jadi kepiting?! Kau pikir aku mau?!"

"Kenapa kau jadi mengungkit hal itu?! Lagipula itu adalah rencana kita-"

"Rencanamu!" Maris memotong ucapan Valea. "Itu rencana sepihakmu, Valea! Kami semua tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih dan hanya menurutimu!"

"Sialan!" Telapak tangan Valea mengeluarkan cahaya merah yang berpijar menyilaukan. Sinar gadis merah itu sama seperti milik Sanguina, sang pembuat penawar racun daghain.

"Akan kuhabisi kau!"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang