109. Jati Diri

1 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Namaku Zhura. Aku datang dari dunia yang sangat jauh dari rumah yang kalian sebut Firmest."

Gadis itu menahan napas, menjatuhkan pandangan pada karpet hijau di bawah. Ia bersiap menerima respon orang-orang setelah mendengar ceritanya. Tentu saja, banyak reaksi berbeda ia terima dari orang-orang. Beberapa dari mereka menampilkan wajah terkejut dengan mulut terbuka lebar, tapi ada juga yang tertawa seolah baru saja mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya.

"Tidak bisa disebut kesengajaan, kehadiranku di dunia ini justru berawal dari kecelakaan. Aku berasal dari desa kecil, di sebuah wilayah di bumi. Kalian boleh percaya, boleh juga tidak. Aku hanya bercerita sesuai dengan fakta. Jauh di sisi lain ada peradaban manusia yang menjadi tempat asalku."

Zhura melanjutkan, "Di duniaku, aku hanyalah seorang gadis biasa. Pada suatu malam, aku mengantar pesanan di hutan desa, setelah mengantar roti itu ke rumah pemesan ternyata ada barang yang tertinggal di amplop pembayarannya. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke rumah pemesan itu lagi," jelasnya mendapat atensi penuh dari orang-orang di sekeliling balai.

"Pada saat aku kembali ke rumah pemesan untuk mengembalikan barangnya, lantai rumah tiba-tiba terbuka lebar dan aku jatuh ke bawah. Namun tubuhku tidak jatuh ke dasar tanah, aku malah mendarat di hutan kabut perak di Silvermist."

"Jadi maksudmu, duniamu terhubung dengan hutan perak itu?" Paman Ruvaz menimpali.

"Benar."

"Apa yang tertinggal di dalam benda amplop itu?" Paman Ruvaz bertanya.

"Kalung yang sekarang aku pakai adalah benda yang tertinggal dalam amplop itu." Semua orang lantas melirik penasaran ke arah kalung Zhura. Kemudian ia menceritakan mengenai sosok Nyonya Li, dan kenapa ia memberikan kalung belati ini untuknya. Beberapa menit berlalu dengan penuh perhatian, hingga akhir ia selesai menceritakan asal-usulnya pada mereka. Zhura mengabaikan respon-respon itu. Bagaimana pun ia harus mengabaikan segala risiko demi terbebas dari tuduhan.

"Bagaimana kau dapat membuktikan ceritamu itu benar?" tanya Paman Ruvaz dengan sisa-sisa raut tercengang pada wajahnya. Orang-orang di sekitar balai melirik satu sama lain, mempertanyakan keabsahan pernyataan Zhura.

Gadis itu menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Aku tidak tahu bagaimana cara membuktikannya, tapi meskipun kalian merasa aneh mengenai hal-hal yang kusebutkan tadi, tolong percayalah karena semua itu memang ada. Awalnya aku juga tidak percaya jika aku sudah sampai di dunia asing ini."

"Jadi, apakah kau berhalusinasi?" timpal Arlia memancing gelak tawa orang-orang di sekitar balai.

Zhura menggeleng, "Aku tidak berhalusinasi! Semuanya yang kucerita benar terjadi, termasuk menjadi pelindung teratai bulan! Ibu Suri sendiri memerintahkanku untuk melindungi bunga itu dari musuh yang ingin mencegah mekarnya bunga itu dan menjatuhkan Yang Mulia!"

Arlia mencebikkan bibir. "Kau tahu, sulit bagi kami untuk mempercayaimu setelah kami tahu bahwa kau memalsukan identitasmu, 'kan, Zhura?" tanya gadis elf itu sengaja memelankan intonasi suaranya.

"Benar, apa alasanmu memalsukan identitasmu?" Paman Ruvaz menambahkan.

Tabib Ma terlihat mengernyitkan alis, menatap Zhura dengan sorot penyesalan dan rasa bersalah. Zhura lekas menggelengkan kepala, menyampaikan bahwa ia baik-baik saja. "Ketika aku jatuh ke hutan kabut perak itu, para satir menangkapku dan memaksaku ikut dalam rombongan gadis-gadis yang akan dikorbankan dalam ritual. Aku adalah orang asing yang dipaksa mengikuti ritual pengorbanan itu."

"Lalu, tanpa diberi kesempatan untuk mengatakan siapa aku sebenarnya, seketika aku menjadi bagian gadis suci. Dan pada saat pertemuan pertama, semua gadis diminta memperkenalkan diri. Untuk melindungi identitasku, teman-temanku sengaja membuat identitas baru. Jadi, itu bukan penipuan."

"Kenapa kau memilih menyembunyikan identitas aslimu?" tanya Ruvas.

Alis Zhura naik, tanda ia menekankan setiap katanya, "Aku menghindari kemungkinan kalian semua menganggapku mata-mata!"

"Bukankah dengan memalsukan identitas justru akan menyulitkan keadaanmu? Kau mungkin akan memiliki situasi yang lebih baik jika jujur sejak awal."

"Hei, dia hanya mengarang cerita asal-usulnya itu. Kenapa kau terlihat sangat peduli?" Arlia menimpali perkataan salah seorang gadis.

"Aku sudah menceritakan asal-usulku, sekarang lepaskan kami," ujar Zhura pada Paman Ruvaz.

Permintaannya tidak digubris, Ruvas lagi-lagi mengintruksikan anak buahnya untuk menata sesuatu di hadapannya. Beberapa menit kemudian, sebuah meja kecil sudah terletak tiga meter di depan Zhura. Tak berselang lama, seorang pelayan pun datang tergopoh-gopoh meletakkan beberapa benda di atasnya.

"Kau bilang akan melepaskan kami setelah aku menceritakan semuanya?!" seru Zhura.

"Tidak bisa, kau belum menjelaskan mengenai pelaku yang kalian curigai sebagai tersangkanya. Untuk sekarang, mari ubah pembahasan."

Zhura menggigit bibirnya yang terlampau kering hingga membuatnya terasa perih saat terkena udara. Ia melirik prihatin Tabib Ma yang kini tampak menundukkan kepala sembari memejam mata. Napas wanita tua itu tersenggal dan juga penuh dengan sarat kesakitan pada tubuhnya.

"Sekarang waktunya menguak misteri pembunuh Yang Mulia Raja Amarhaz." Ruvas beralih pada Tabib Ma. "Apa kau tahu sesuatu mengenai benda-benda itu?"

Tabib Ma menatap benda-benda di atas meja cokelat tua itu. Secarik kain hitam, bubuk kebiruan dalam mangkuk putih, dan terakhir adalah benda kecil yang terlihat seperti patahan kuku jari. "Aku tidak tahu apapun mengenai semua itu," jawabnya.

"Tapi beberapa pelayan bilang kau adalah orang terakhir yang keluar dari ruangan Yang Mulia Raja, dan kau mengakuinya jika memang semalam kau menemuinya."

"Tapi aku sungguh tidak tahu." Tabib Ma terus larut bersama air matanya.

"Seseorang datang memasuki ruangan. Sinar senja jatuh di anak rambut peraknya membuat itu berkilauan. Dengan langkah kaki yang pasti, dia menempatkan diri di sisi Zhura. Orang-orang di balai terdiam melihatnya. Wajah mereka menyiratkan keheranan tentang Azhara yang beberapa hari lalu menghilang entah kemana, dan sekarang ia kembali dengan tiba-tiba.

"Pembunuhan itu, dia tidak mungkin melakukannya," ujar Azhara menatap gadis itu dengan mata birunya.

Zhura mendongak. Eksistensi pemuda itu menambahkan satu konflik batin pada dirinya. Ingatan kejadian kemarin masih terkilas jelas, saat bagaimana Azhara membuangnya sungguh tidak terlupakan. Rasa sakit yang membuncah membuat ia kembali mengalihkan pandangannya. Gadis itu memilih mengabaikan kehadiran pemuda itu, dan kembali fokus pada masalahnya.

"Yang Mulia, tapi gadis ini menyembunyikan identitas aslinya sejak awal. Dia pasti mempunyai tujuan tertentu," timpal Ruvas hati-hati.

Azhara melepaskan tali yang mengikat Zhura dan Tabib Ma. Tidak ada bantahan yang berani dikeluarkan, baik Ruvas dan semua orang hanya menampilkan raut pasrah saat para tersangka itu dilepaskan. "Aku adalah gurunya, bagaimana pun di antara kalian, aku yang paling mengenal dia. Gadis ini berhati bersih, dia tidak akan melakukan hal sedemikian."

 

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang