85. Berkah Atau Bencana

26 13 3
                                    

Inara berada di kamar dengan nuansa kayu. Ada aroma harum yang memenuhi ruang kamar itu, sepertinya itu berasal dari bunga-bunga yang diletakkan sebagai hiasan di beberapa sudut. Sekarang adalah jadwal bagi pemeriksaan kondisi Raja Amarhaz. Inara sengaja datang lebih awal, dengan itu ia dapat melihat pelayan-pelayan itu membantu mempersiapkan raja setelah mandi. Terkesan tidak baik, tapi seperti itulah caranya agar ia bisa melihat tubuh pria tua itu, tentu dengan batasan beberapa bagian tertentu.

Dari balik tirai tranparan, mata elf itu menelusuri bagian demi bagian dari tubuh Raja Amarhaz. Ia mengembuskan napas lega saat tidak menemukan lambang bunga di sana. Itu berarti dia bukan dalangnya. Kini, Inara merasa tenang. Setelah pelayan itu menyilakan dirinya masuk, ia pun datang. Wajahnya tertutup kain, jadi ia identitas dirinya aman. Raja Amarhaz duduk di ranjang dengan lemah, wajahnya masih pucat dan dingin bahkan meski ia selalu mandi air hangat.

Inara meminta izin untuk memeriksa keadaan priantua itu. Rambut putihnya yang tertata seadanya menambah kesan tak berdaya pada pemimpin Silvermist itu. Dari lubuk hati Inara, dia merasa begitu prihatin. Kerutan hinggap di kening gadis elf itu saat ia melihat bahwa denyut nadi sosok di depannya sangat lemah. Namun, yang aneh adalah  denyut jantungnya justru berdetak cepat.

"Apakah Yang Mulia selalu meminum obat yang diberikan?"

Raja Amarhaz mengangguk, "Ya, aku meminumnya. Tapi tubuhku sepertinya terlalu tua untuk kembali pulih."

Ini bukan masalah pulih atau bukan.

"Mohon maaf, apakah saya bisa melihat obat Anda?"

"Silakan." Raja Amarhaz memerintahkan pelayanannya untuk mengambil obat itu, lalu diberikan pada Inara.

"Ini obat yang benar," timpal Inara setelah memeriksanya. Ia tahu resep obat-obatan yang diberikan pada Raja Amarhaz dari Tabib Ma, wanita tua itu lebih dulu menjelaskan sebelum Inara datang ke sini. Namun, mengapa kondisi tubuhnya malah semakin buruk? Tunggu, jika bukan dari obat-obatan ini, maka alasannya mungkin berasal dari hal lain.

"Untuk sementara, izinkan saya menahan obat ini. Sepertinya beberapa hal yang harus diperiksa ulang, untuk penggantinya saya akan buatkan obat khusus racikan saya sendiri. Jangan khawatir, saya terlatih menggunakan ramuan herbal. Yang Mulia bisa kembali minum obat yang asli setelah saya selesai memeriksanya."

"Apakah ada masalah serius?" tanya pria tua itu.

"Tidak, ini hanya pemeriksaan kecil." Pandangan Inara hinggap pada dupa yang dibakar di atas meja. Aroma dari asapnya hampir sama seperti bunga-bunga di tanaman pada sudut ruangan.

"Hm, aroma ini sangat menenangkan. Kalau boleh tahu, jenis dupa wewangian apa yang Anda gunakan?" tanya Inara mengemasi kembali barangnya.

"Itu adalah gaharu dari tanaman khusus yang diberikan saudaraku. Selain digunakan untuk wewangian, dupa itu juga berfungsi sebagai obat. Dengan aromanya, itu bisa memperbaiki aliran darah dan juga sebagai antibodi. Dengan menyalakannya setiap hari akan membuang racun di tubuh aku selalu membawanya ke mana pun aku pergi."

Yah, beberapa dupa wewangian memang bisa digunakan sebagai obat karena mengandung herbal, tapi Inara baru menemukan gaharu yang jika dibakar bisa menjadi antibodi dengan aroma sewangi ini. "Baiklah, saya cukupkan untuk pemeriksaan hari ini. Saya akan siapkan ramuan pengganti obat ini, akan saya kirimkan ke sini segera. Jika tidak ada lagi yang Anda butuhkan saya izin pamit."

"Terima kasih, Tabib." Raja Amarhaz mengangguk sambil terbatuk-batuk.

"Permisi, Yang Mulia." Inara menunduk hormat, ia melirik dupa wewangian itu sebelum kemudian keluar dari kamar. Angin sejuk segera menerpanya yang dikepung hawa menyengat. Di sisi lain, ada perasaan janggal yang mulai melingkupi hatinya. Sebagai seorang putri dari tabib, ia yakin dupa wewangian yang beraroma seharum itu tidak akan memiliki khasiat sebegitu besar. Raja Amarhaz bilang bahwa gaharu itu diberikan oleh Tuan Minra, maka sepertinya ada satu lagi alasan untuk Valea menyelidiki saudara raja itu.

Ia harus mengirimkan informasi ini segera.

***

"Hei, cobalah untuk lakukan itu dengan benar."

Zhura menggelengkan kepalanya menatap kelakuan Yara yang malas-malasan memasukkan sampah ke karungnya. Dia hanya menggunakan ujung jarinya seolah tak mau kotor, dan melemparkan sampah-sampah itu dengan sembarang.

"Aku lelah sekali," timpalnya melempar satu sampah ke karung. Karena perayaan kemarin, padang menjadi dipenuhi sampah jadi pagi ini orang-orang bergotong royong untuk membersihkan padang rumput.

"Jangan mengeluh, ada yang bilang gadis yang rajin bersih-bersih akan dapat suami tampan. Jadi, bersemangatlah!" hibur Zhura.

Yara mengambil sampah dedaunan di dekatnya, "Jika itu berarti aku bisa bersantai dan malas-malasan sepanjang hari, suami jelek pun tidak masalah. Lagipula Kakak Vi juga malas-malasan di tenda. Jika ada yang akan mendapat istri paling jelek, maka dialah orangnya."

"Dasar." Zhura terkekeh mendengar penuturan Yara, lalu kembali fokus menyapu.

"Aaakh!" Suara teriakan terdengar membuat mereka terlalihkan dari kesibukannya. Zhura melihat seorang wanita terduduk memegangi perutnya yang buncit. Wajahnya tampak kesakitan, sepertinya dia hendak melahirkan.

"Bibi Sarla!" Yara mengenali wanita itu, dia pun mengajak Zhura untuk mendekat.

"Tolong! Tolong aku," rintih wanita itu memegang tangan Zhura.

"Lihat, air ketubannya. Dia akan segera melahirkan!" Zhura menunjuk cairan bening yang mengalir ke bawah kaki Bibi Sarla. Dia lantas berteriak meminta pertolongan, orang-orang yang mendengar pun langsung mendekati mereka. Beberapa orang pria membawa Bibi Sarla ke tenda, sisanya memberitahu kejadian itu pada Nenek Manira. Persalinan pun dilakukan. Mereka melarang orang-orang melihatnya dengan menahan mereka di depan tenda.

"Aku benar-benar hampir jantungan," ujar Yara mengelus dadanya. "Sudah tahu sedang hamil besar, kenapa Bibi Sarla ikut bersih-bersih?"

Zhura berdiri menatap kegelisahan orang-orang di sekitar yang bercampur dengan teriknya matahari siang. Suara teriakan Bibi Sarla begitu keras, tak lama setelah itu tangisan bayi terdengar. Di saat kelegaan menghampiri Zhura, raut wajah semua orang justru pias seakan sedang menunggu sesuatu. Di sisinya, Yara pun terlihat menggigit bibir bawahnya, gugup. Kebingungan Zhura terhadap situasi itu larut hingga bidan yang membantu persalinan keluar.

"Bayinya perempuan."

Zhura masih tidak mengerti apapun saat kalimat itu dikatakan. Anehnya, orang-orang menunjukkan wajah muram dengan bahu yang luruh, mereka seperti tidak senang akan berita kelahiran bayi itu. Zhura yang penasaran lantas mengintip ke dalam yurt. Di dalam ruangan terlihat Bibi Sarla dan suaminya tengah berpelukan penuh Isak tangis.

"Setelah kondisi Ibu dan bayi stabil, kita bisa memberikan mereka dukungan," ujar bidan yang membantu persalinan kembali masuk.

"Sudahlah, ayo." Yara mengembuskan napas berat, mengajak Zhura pergi dari sana.

Zhura berjalan ke depan, tapi pandangannya masih menatap ke arah tenda persalinan. "Kenapa dengan semua orang? Kenapa mereka tampak sedih?"

"Bukan sedih, Bibi Sarla dan suaminya sedang gundah. Sedangkan orang-orang di depan tenda tadi pastinya kasihan pada mereka berdua."

Terpaan angin membuat tanah yang terlalu kering menjadi mudah terbang. Zhura pun mengusap sebelah matanya yang kelilipan. "Memangnya kenapa mereka kasihan? Entah dia laki-laki ataupun perempuan, anak itu adalah berkah, 'kan?"

"Ini adalah berkah, tapi juga bencana. Anak perempuan tidak mempunyai kehidupan. Sebagai gadis, kau pasti tahu bahwa suatu saat kita akan berakhir di dataran terkutuk itu seperti Ra. Karena itu, orang tua yang mengetahui bayi yang dilahirkan perempuan, kebanyakan menyesal. Bukannya mereka tak ingin anak itu lahir, tapi mereka takut melihat kepergian puteri yang sangat mereka cintai."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang