134. Para Pengendara Beruang

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Ditempatnya, Inara, Arlia, pun semua orang terpaku melihat gerombolan gadis-gadis pengendara beruang itu. Dari kejauhan terlihat ada tombak hitam panjang yang tergenggam di tangan sosok-sosok tersebut. Warna hitamnya sangat mencolok di antara putihnya salju. Teriakan seorang gadis suci menarik atensi beberapa prajurit di sekitar, tapi pemiliknya sama sekali tidak peduli.

"Kakak!"

"Miriela!" Inara menahan seorang gadis bermata topaz yang hendak maju ke depan.

"Inara, dia kakakku! Dia masih hidup! Aku harus bertemu dengannya!" timpal Miriela mencoba melepaskan diri.

"Tenanglah. Kita belum tahu apa yang terjadi. Gadis-gadis suci terdahulu terlihat ada di pihak musuh, kita tidak bisa asal bergerak."

Arlia mendengar ucapan Inara. Jika firasatnya benar, maka gadis-gadis suci terdahulu menetap di dataran ini sebagai budak atau senjata. Dengan istilah lain, mereka disimpan. Entah siapa pelakunya, yang jelas dia pasti ingin memperoleh kekuatan. Arlia merengut menyadari jumlah mereka adalah hal terburuk. Karena gadis-gadis itu sudah dikirim sejak ribuan tahun lalu ke dataran ini, maka pasti jumlahnya sangat banyak.

"Apa yang akan kita lakukan?" Aryana bertanya pada Jenderal Dima yang berdiri di sampingnya.

Pria bedegap itu mengembuskan napasnya, jelas keberatan untuk memutuskan. "Entah apa gadis-gadis itu masih hidup atau mereka hanya tubuh yang dikendalikan, tapi sekarang mereka mengarahkan hewan buas dan senjata pada kita. Sebagai seorang jenderal, tentu saja aku akan melawan mereka."

Aryana mengeratkan genggaman pada busur panahnya yang mendingin karena suhu udara, "Tapi, di sana mungkin ...-"

"Ada putriku," ujar Jenderal Dima menoleh pada Pangeran Aryana, "ratusan tahun berlalu sejak ia berangkat ke dataran ini. Aku sudah mengatur hatiku untuk kemungkinan terburuk. Tapi situasinya berubah. Jika seandainya ada dia di sana, maka sekarang ia menjadi bagian dari musuh kerajaan. Pihak lawan. Selain sebagai jenderal, aku punya hak untuk menghentikannya sebagai seorang ayah."

Aryana menunduk. Ia kebingungan karena situasi berjalan tidak sesuai rencana. Siapa yang mengira gadis-gadis suci terdahulu akan muncul dan menjadi tentara bagi pihak musuh. Ada banyak tuntutan yang harus ia tanggung, tapi ada juga alasan untuk tidak melakukannya. Mungkin Aryana tidak kenal wajah-wajah itu, tapi pada kenyataannya mereka pernah mempertaruhkan nyawa demi upaya darah suci.

Pada awalnya, tujuan Aryana datang ke sini untuk mengadili para pembunuh ayahnya. Melawan para gadis suci terdahulu sama sekali lagi tidak ada dalam rencananya. Ia merasa berat melawan orang-orang yang pernah mencurahkan seluruh keberaniannya demi kebaikan Firmest. Tapi meskipun harus membunuh para gadis suci terdahulu, jika memang ini adalah kesempatan untuk mengakhiri penderitaan Azhara, maka Aryana akan melakukannya. Ia akan menanggung akibatnya jika saja keputusannya kali ini salah.

"Tidak ada pilihan, 'kan?"

"Yang Mulia-" Ucapan Jenderal Dima terhenti saat ia melihat sebelah tangan Pangeran Aryana terangkat, tanda perintah pada pasukan untuk memulai penyerangan.

"Serang!"

***

"Turunkan aku."

Untuk pertama kalinya Zhura kembali menapak pada tanah, setidaknya sejak beberapa jam yang lalu. Tubuhnya mengejang saat dingin terasa dari balik sepatunya. Wilayah tempat mereka berada sekarang berbeda dari wilayah sebelumnya. Zhura menyadarinya saat melihat pepohonan yang terkesan gundul. Hampir tidak ada dedaunan yang menempel di ranting-rantingnya, mereka hanya batang-batang mati yang terselimuti salju.

Salju. Entah bagaimana ia merasa familiar dengannya.

Seperti memasuki dimensi lain, semua berubah menjadi putih. Tidak ada lagi hutan dan pepohonan hijau dengan jurang sedalam puluhan meter dan tanaman berduri. Yang ada di depan mereka sekarang hanya bukit-bukit curam putih yang sangat dingin. "Kita sudah dekat. Aku bisa mencium aroma pertarungan. Persiapkan diri kalian," ujar Valea mengedarkan pandangan.

Dia berkata benar. Aroma baja yang bercampur dengan salju mulai tercium penciuman Zhura. Dan lagi, seperti tambur yang dipukul keras, suara detak jantung mereka terdengar begitu cepat dan nyaring. Pada akhirnya ia terus bertanya-tanya mengenai apa yang ada di tempat Inara. Bukan hanya karena salju, rasa penasaran dan gugup membuat gigil di tubuhnya terasa lebih parah.

Mendebarkan.

"Valea, bisakah kau ikatkan kain pada kaki kananku seperti yang biasa kau lakukan pada tanganmu?" Zhura duduk di tanah, melepas sepatunya.

"Hah?" tanya Valea seperti terkejut.

"Kenapa kau ingin kakimu diikat?" tanya Ramia merendahkan tubuhnya.

"Kupikir itu akan memudahkanku untuk berjalan. Dengan dibalut kain, rasa sakitnya lebih tertahan."

Valea berkacak pinggang, "Kau pikir aku tabib? Kakimu itu terluka, tidak akan terobati hanya dengan dililitkan kain. Lagipula, tujuanku melilitkan kain pada tanganku adalah agar lebih kuat memukul musuh tanpa harus kesakitan."

"Karena itulah aku memintanya. Agar aku bisa berjalan dengan baik. Kumohon, Valea! Kali ini saja, kumohon!" pintanya seraya menautkan kedua tangan.

"Dasar gila!" Valea merendahkan tubuhnya. Gadis merah itu mengambil sehelai kain panjang bewarna putih dari tas pinggangnya. Zhura terus mengucapkan terima kasih pada Valea saat ia mulai melilitkan kainnya.

"Terima ini, Lailla," ujar Ramia menyodorkan pedangnyan

Zhura menatap pedang tipis itu, "Tapi itu milikmu."

"Sudahlah, terima saja. Lagipula, pedangmu sudah hilang, 'kan?!"

Benar juga. Pedang Zalfi pemberian Ibu Suri sudah membengkok akibat Scabious. Sekarang ia tak memegang senjata apapun lagi. "Terima kasih, Ramia. Jangan khawatir lagi, aku tidak akan memberatkan punggungmu setelah ini!"

"Tentu saja, aku khawatir, bodoh!" Ramia mengalihkan pandangan ke bawah, "Seorang gadis dengan tendon kaki terluka dan tidak bersenjata ingin pergi ke pertempuran, siapa yang tidak akan mengkhawatirkannya?!"

"Maaf, sudah membuatmu khawatir." Diusapnya gelang perak berbentuk untaian sayap di tangan kanannya, "Tapi aku tidak akan merepotkan kalian lagi! Setelah ini kalian tidak perlu mengkhawatirkan apapun tentangku lagi! Aku berjanji! Aku benar-benar tidak akan membuat kalian khawatir lagi!"

Valea yang sudah selesai melilitkan kain pada kakiku tiba-tiba mengencangkan ikatan simpul kainnya, "Omong kosong!"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang