90. Kelesah

26 11 3
                                    

"Jika kesempatan itu benar-benar ada, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," timpal Azhara. Tak peduli seberapa kacaunya itu, satu dua cerita kebersamaan mereka yang pernah terlewati masih terpatri jelas di kepalanya. Ia tidak berdusta, dia ingin kembali ke sana. Jika angin adalah monumen bagi para pujangga, maka gadis itu adalah badai yang mengamuk abadi di dalam dirinya.

"Maukah kau kembali ke sana?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan itu, Zhura pun berjalan mendekati pemuda itu saat bagian dari hatinya merasa hangat tapi juga dingin. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pengakuan, dan ia belum mendapatkannya. Meskipun begitu, sedemikian kata yang baru saja dijuruskan, membuatnya yakin kalau Azhara tidak pernah membuangnya.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan jika ternyata suatu saat kau kembali menyakitiku, Azhara?" Dari balik bulu matanya, ia melemparkan tatapan intens.

Gemelut ruang kosong yang bercampur rasa sakit meraung gila. Azhara mengembuskan napas berat mencoba untuk berdamai dengan keadaannya itu. Sebelah tangannya terulur meraih tangan Zhura. Dia meletakkan genggaman itu di dada kirinya, membiarkan Zhura tahu bagaimana hatinya yang berlari untuk gadis itu.

"Aku tidak bisa menjanjikan apapun selain tidak akan ada yang bisa menyakitimu. Namun, jika aku mengingkari janji itu, maka gunakan pedangmu dan tusuk jantungku. Detik di mana kau berhenti mempercayaiku, adalah saat bagiku untuk mati, Lailla."

Mata Zhura mengabur akibat air mata, ia tersenyum merasakan buncahnya sensasi yang menyengat. Dipeluknya tubuh Azhara dengan erat, menumpahkan semua perasaannya yang sudah ia pendam begitu menyakitkan. Punggung itu begitu lebar, terasa nyaman di telapak tangannya. Karena tak adanya jarak di antara mereka, Zhura dapat mendengar detak jantung itu yang terdengar seperti simfoni musim semi.

"Aku sungguh akan membunuhmu jika kau ingkar janji."

Sedetik setelah pelukan itu, Azhara masih terjebak dalam lingkup detak yang menggenta. Namun, ketika sepasang lengan kecil itu lembut melingkari pinggangnya, membawanya pada dekapan yang mendebarkan, ia pun tak dapat membendungnya. Dibalasnya pelukan itu dengan rengkuhan bak nadi dan jantung. Untuk pertama kalinya, ia melihat kebahagiaan sejak dilahirkan. Tak peduli dengan kenyataan bahwa ini mungkin juga kali terakhir ia dapat merasakan apa yang hatinya inginkan.

Tapi sekarang, ia sungguh bahagia.

Jauh di tempat lain, kain cadar yang melingkupi wajah Inara tersingkap saat pemiliknya menginjakkan kaki di luar ruangan. Terlihat kedua tangannya memegang baki besar yang berisi alat kesehatan, itu terlihat berat. Bunyi mangkuk porselen yang berbenturan di bakinya pun turut terdengar seiring langkahnya meninggalkan ruangan perawatan raja. Inara baru saja selesai memeriksa kondisi pria tua itu dan ia belum menemukan adanya perbedaan signifikan dari kondisinya.

"Kenapa Valea belum membalas suratku?" gumamnya berbelok ke arah kiri, melintasi jembatan kayu kecil yang memisahkan tempat raja dan tabib. Kemarin ia sudah menguji bahan di dalam obat raja dan tidak ada yang salah. Namun, ia masih belum memberikan obat itu padanya untuk melihat sesuatu yang berubah. Entah bagaimana, kondisi Raja Amarhaz tidak kunjung membaik. Ia memang menjadi lebih sering berbicara dan berjalan ke sekitar, tapi tubuhnya tetap sangat lemah.

Kemungkinannya hanya dupa itu, yang merupakan penyebab kondisi raja memburuk. Apa daya, Inara hanya memainkan peran sebagai tabib di sini, ia tidak bisa berbuat banyak kecuali ia sudah punya cukup bukti. Dupa itu, ia harus mencari cara untuk menyingkirkannya dari kamar raja. Namun, akan sangat mencurigakan untuk melakukan itu secara terang-terangan.

Bagaimana pun Inara akan mencari cara untuk mencari pemicu penyakit raja setelah ia mendapat balasan dari Valea. Tenggelam dalam pemikiran menjadikan ia tak menyadari bahwa seseorang melangkah ke arahnya. Bahu mereka yang saling bersenggolan membuat gadis itu kehilangan keseimbangannya. Baki dan mangkuk-mangkuk berjatuhan di lantai, suara dentingan pun memenuhi pelataran samping paviliun itu.

"Maaf, saya sungguh minta maaf." Inara menundukkan kepalanya, bersimpuh. Dirinya hendak membersihkan benda-benda yang berserakan itu ketika tiba-tiba saja ada tangan yang menahannya.

"Jangan ambil itu dengan tangan."

Suaranya tidak asing, mata Inara pun naik untuk melihat sendiri siapa sebenarnya orang yang baru saja ia tabrak. Pemuda barbaju santai itu tersenyum hingga sudut matanya melancip. Si pemilik rubah merah dengan bahu selebar samudra, Aryana.

"Yang Mulia, silakan menjauh. Pecahan ini bisa melukai Anda," tutur Inara melanjutkan aksinya memunguti pecah mangkuk. Bagaimana bisa ia terus bertemu dengan pemuda itu?

"Kau adalah seorang tabib, tanganmu membawa harapan kesehatan bagi seseorang. Hentikan." Aryana menjetikkan jari, dua orang pelayan datang menghampiri mereka. Pemuda itu mengintruksikan mereka untuk mengambil sapu dan wadah untuk membersihkan pecahan-pecahan itu.

"Jadi, kau tabib yang sebelumnya, 'kan?" tanya Aryana mengangkat sebelah tangannya yang dibalut perban. Inara membenarkan. Si pemuda itu lantas kembali berujar, "Waktu itu aku lupa untuk menanyakannya, siapa namamu, Nona?"

"Nama saya Inara."

"Jadi, Inara, apa yang membuat kau begitu tidak memperhatikan jalanmu?"

Inara terlonjak, ia merasa bersalah. "Saya sungguh-sungguh minta maaf, entah bagaimana saya tidak fokus dan tidak sengaja menabrak Anda." Lagipula jalan di pelataran ini memang sempit, Inara melanjutkan dalam hati.

"Tidak, aku tidak menyalahkanmu, aku sendiri juga tidak berhati-hati. Ngomong-ngomong apa kau lapar? Sekarang waktunya makan siang, kulihat ada kedai yang menjual makanan enak di luar. Ayo, kita ke sana," ajak pemuda itu.

"Tapi, bagaimana jika ada yang mengenali Anda? Apa yang akan mereka pikirkan saat melihat seorang pangeran makan bersama orang seperti saya." Inara harus membuat sedemikian alasan yang masuk akal, sebenernya ia tidak mau pergi ke sana. Sebagai orang yang datang secara ilegal ke tempat ini, ia diterpa ketakutan mengenai mata-mata yang mungkin saja akan menemukannya. Ditambah lagi, pergi dengan Aryana? Bukankah itu akan menambah situasinya semakin mencolok?

"Memang kenapa? Aku bisa makan bersama siapapun yang aku inginkan," timpal Aryana mengerutkan kening.

"Tapi ...-" Inara hendak menyanggah, tapi pemuda itu lebih dulu menghentikannya.

"Jangan khawatir, aku paham kegelisahanmu," tukasnya sembari menjetikkan jari. Kilatan kecil tercipta di sana, sebuah benda muncul dari telapak tangannya. Inara mengerjap menatap kumis palsu yang kini ada di genggaman pemuda itu.

Aryana memakai kumis itu. "Bagaimana? Apa aku terlihat berbeda sekarang?"

"Itu terlihat sedikit ...." Inara tidak tahu apa ia boleh mengatakan jawabannya, tapi sejujurnya tindakan yang dilakukan sejak Aryana tidak membuat banyak perubahan pada penampilannya.

"Sudahlah, ayo!" sembur riang pemuda itu seraya menarik Inara pergi bersamanya. Mereka mendatangi sebuah kedai sederhana di kawasan paviliun. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya ini bukan pertama kali Aryana ke sana. Setelah mendapatkan tempat duduk, Aryana pergi untuk memesan makanan. Sebenarnya ada pelayan yang menawarkan menu apa yang akan dipesan, tapi pemuda itu berkata lebih mudah mengatakannya secara langsung karena ia punya alergi pada beberapa bahan makanan.

Inara duduk terdiam di tempatnya. Diantara keramaian jam makan siang, dirinya tidak mempunyai teman bicara selain isi kepalanya sendiri. Ketika asyik termenung, sudut matanya menangkap sesuatu yang bergerak tertiup angin. Itu adalah brosur kertas yang ditempelkan di tiang kayu kedai. Di dalam brosur itu terdapat gambar wajah dan ciri-ciri tiga orang gadis. Dia segera mendekati brosur itu dan terkejut luar biasa melihat wajahnya dan kedua temannya terlukis dengan baik di sana.

Brosur itu menunjukkan pengumuman menghilangnya tiga orang gadis suci, dan sayembara berhadiah bagi orang yang melihatnya. Hadiahnya adalah emas dan sebidang tanah subur. Degup jantung Inara seketika berpacu, tidak ia sangka bahwa istana akan melakukan semua ini untuk mencari mereka. Raja Amarhaz sedang sakit dan seminggu ini dia tidak melihatnya membuat keputusan pengumuman ini.

Mungkinkah ini juga ulah musuh di balik penyerangan teratai bulan?

Entah kapan berita ini dikeluarkan, tapi dia tidak bisa diam saja. Jika benar sayembara ini dikeluarkan oleh orang-orang itu untuk menghentikan penyelidikannya, maka Inara harus bergegas menyelesaikan tugasnya.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang