37. Hujan

82 34 0
                                    


Zhura merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Helaan napasnya terdengar ketika otot-ototnya yang dipaksa bekerja seharian akhirnya bisa melemas. Bahkan saat suasana malam begitu pas untuk terlelap, nyatanya ia masih belum memejamkan mata. Dipandanginya langit-langit kamar yang mengkilap dengan mata nyalang, jauh lebih lekat, bayangan tentang apa saja yang ia lalui hari ini tergambar di sana. Latihan panah yang melelahkan, cerita masa lalu kelam Ramia, dan sebuah fakta lain tentang Azhara yang tak pernah Zhura kira sebelumnya.

"Hati yang mati adalah hati yang tidak lagi dimiliki oleh sang pemilik, seseorang yang memilikinya harus hidup tanpa bisa merasakan segala macam perasaan duniawi." Bibir Zhura mengerucut ketika dirinya teringat perkataan Ramia. Sebuah dengkusan lolos tak lama setelahnya, dengan perasaan campur aduk Zhura memukul kasurnya. Ini tentang bagaimana kepalanya yang tidak berhenti memikirkan hal-hal yang tidak ingin ia bayangkan. Bagaimana ia bisa menjadi segila ini hanya karena cerita yang keluar dari bibir orang?

Membuang gundah, gadis itu membalikkan badan ke samping. Bahunya turun bersamaan dengan matanya yang mulai terpejam. Ketika ia meraih napas pelan yang mengantarkannya ke pintu mimpi, tangannya yang bertumpu di sisi leher justru merasakan keanehan. Terasa lengang dan kosong. Gadis itu bangkit dari pembaringan dan meraba sekitar lehernya. Kepanikan naik menyelimuti Zhura ketika ia tidak menemukan kalungnya.

"Di mana kalungku?!" teriaknya melarikan mata ke penjuru ruangan. Ia lalu berdiri membolak-balik selimut dan bahkan lemari, tetapi ia tetap tidak bisa menemukan kalung berbandul belati kecil itu. Dengan frustasi ia menatap kamarnya yang kini terlihat seperti kapal pecah. Jika tidak di sini, maka satu-satunya tempat yang paling mungkin bagi kalungnya untuk jatuh adalah Paviliun Azhara. Decakan keluar dari bibir Zhura ketika ia berlari ke pintu keluar, tanpa pikir panjang ia menuju tempat tinggal gurunya.

Jarak yang jauh dan lokasi yang terpencil pastinya membuat gadis lain enggan datang ke paviliun itu terutama karena sekarang tengah malam. Namun, Zhura tidak punya pilihan, ini menyangkut jalan pulang ke dunia asalnya. Berbekal lentera di tangan, ia mendatangi bangunan itu. Rasa kantuk tak cukup kuat untuk membuatnya istirahat, ia hanya berpikir untuk mendapatkan kalungnya kembali. Setelah memutari halaman depan ke belakang hingga lima kali, Zhura masih tak menemukannya. Ini sudah dini hari, ia tidak mungkin menetap sampai pagi atau masalah lain akan muncul.

"Astaga, bagaimana ini?" gumam Zhura kebingungan.

Seakan menambah kesialannya, cuaca malam yang senyap tiba-tiba riuh bergemuruh. Zhura merasakan kepanasan sejak tadi, ia kira itu karena ia berlari-lari, ternyata karena awan mendung memenuhi langit di atas. Suara petir terdengar keras, tak lama hujan turun begitu deras. Sekarang lengkap sudah malamnya. Bukannya tidur nyenyak, ia malah kepayahan mencari kalungnya di tengah malam dan kehujanan. Tergesa-gesa Zhura berlari meneduh di teras belakang. Sedikit terpeleset karena licinnya lantai, akhirnya ia bisa melindungi tubuhnya dari hujan.

Lenteranya mati karena air, kini selain dingin ia juga terjebak kegelapan. Angu menyebar ke sekitar dengan cepat. Zhura mengusap sisi kepalanya yang berdenyut, sepertinya tekanan darahnya naik pesat karena kurang istirahat. Jika takdir terus menginjak-injak harga dirinya seperti ini, Zhura yakin dirinya akan mati bahkan sebelum pergi ke dataran terkutuk.

"Aargh!" Di tengah-tengah kesibukannya berdamai dengan nasib buruk, Zhura dikejutkan dengan eksistensi seseorang di sampingnya. Orang itu tidak bergerak jadi Zhura tidak menyadarinya di awal. Sekarang ia menyadari bahwa kehujanan jauh lebih baik daripada meneduh bersama dengannya.

"Aku hanya pergi satu hari, tidak kusangka kau akan merindukanku sebesar itu," ujar pemuda itu kaku.

Mendengar penuturan orang di sisinya, Zhura pun mengibaskan lengannya yang basah lalu berkacak pinggang. "Kalau barangku tidak ketinggalan, aku juga tidak akan datang ke sini. Betapa beruntungnya aku, setelah berusaha keras mencari barang yang sampai sekarang belum bisa ketemukan, aku malah harus meneduh bersama Guru."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang