51. Musuh Dalam Selimut

80 30 2
                                    

"Berikan tanganmu."

"Untuk apa?" Zhura mendekatkan tangan kanannya dengan ragu-ragu.

Dengan wajah datar Azhara menjetikkan jarinya. Saat itu juga, sebuah gelang perak berbentuk untaian sayap melingkar di pergelangan tangan Zhura.

"Kau membawaku terbang ke langit, lalu sekarang kau memberikan gelang indah ini, aku jadi merasa tidak enak." Gadis bermata hijau itu tidak dapat menyembunyikan wajah tersipunya.

Itu merupakan gelang keramat yang Azhara dapatkan dari kuil suci setelah bersaing dengan jutaan orang. Dengan menggunakan gelang itu, Azhara akan tahu jika Zhura dalam masalah. "Gelang tersebut akan melindungimu dari berbagai macam bahaya. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk membalas kebaikanmu. Selain aku, tak ada yang bisa melepasnya. Jadi, kau akan selalu aman."

Zhura terdiam.

Di tengah debaran jantungnya terselip perasaan menyesakkan. Ia merasa sedih saat menyadari Azhara begitu peduli padanya. Itu karena dirinya yang sekarang bukanlah ia yang sebenarnya. Di mata Azhara, sosoknya bukan Zhura melainkan Lailla. Bagaimana ia bisa begitu bahagia dengan wajah dan senyum palsu? Tak dapat dipungkiri bahwa kini Zhura sangat iri pada sosok semu bernama Lailla.

Apa yang akan Azhara lakukan jika ia mendapati dirinya tertipu selama ini? Mungkinkah dia akan membenci Zhura? Itu semua masih menjadi misteri. Kehidupan masih berjalan, biarkan waktu yang akan mengungkapkan semuanya sendiri. Satu hal yang pasti adalah hati Zhura mekar setiap berada di sisi Azhara. Jika itu berarti ia bisa berada di dekat pemuda itu, maka tak ada masalah baginya terus berpura-pura menjadi Lailla.

Zhura merentangkan tangan seakan-akan ingin menggapai seluruh dunia. "Aku ingin bersama dengan Guru selamanya!" teriaknya bergelora.

Kerutan datang di kening Azhara yang membuang muka. Zhura tertawa melihat wajah pemuda itu. Seekor burung besar berbulu kecokelatan terbang ke arahnya. Dengan cakarnya yang tajam, ia mencengkram tangan Zhura. Tarikan dari burung besar itu membuat keseimbangannya raib. Gadis itu kehilangan pijakan, tubuhnya melesat jatuh ke bawah.

Azhara segera menyusulnya. Angin yang berembus kencang menyulitkan pemuda itu untuk menggapai tangan Zhura. Pada saat tangan mereka bertautan, keadaan Azhara dan Zhura menjadi berputar-putar. Pandangan menjadi kabur, mereka saling bergumul di udara. Zhura yang ketakutan berusaha mencari pegangan terbaik dengan memeluk Azhara.

Namun, tanpa disengaja bibirnya hinggap di bibir pemuda itu. Mereka sama-sama terkejut. Iris yang bertemu saling melebar tak menyangka. Zhura adalah yang pertama sadar. Dia mendorong tubuh Azhara menjauh, tak ingat bahwa ia sedang melayang jatuh dari langit. Jantung Azhara berdetak cepat, tapi ia tidak mempunyai waktu untuk memikirkannya. Dengan sigap, ia kembali meraih tubuh gadis itu.

Sayangnya kecanggungan terlanjur datang lebih besar daripada takut. Mereka melayang dan berakhir mendarat dengan tidak mulus di halaman belakang paviliunnya.

"Apa kau baik-baik saja?" Azhara mengamati tubuh gadis di hadapannya.

"Hm." Zhura berdiri kaku seraya membuang muka. Wajahnya memerah seakan terpanggang sinar matahari seharian.

Pemuda bersurai perak itu mengangguk, terlihat sama canggungnya. Ciuman itu adalah kecelakaan. Sebagai laki-laki ia mempunyai tanggung jawab meluruskan hal agar tidak ada beban pikiran terutama bagi Zhura.

"Tadi ...-" Azhara melihat kedatangan orang lain, ia sontak mengurungkan ucapannya pada Zhura.

"Salam, Yang Mulia." Seorang penjaga dengan wajah serius, menginterupsinya. "Pak Dima meminta izin bertemu dengan Anda, dia bilang ada hal penting yang harus beliau katakan."

Zhura mengambil kesempatan itu untuk pergi. "Kalau begitu aku akan pamit sekarang." Dia berbalik tanpa menoleh ke belakang.

Helaan napas membersamai Azhara menatap punggung yang menjauh itu dengan kecamuk dalam dirinya. Tak disangka semua gerak-gerik mereka teramati oleh sepasang mata legam milik Carmina. Wanita muda itu masih bersembunyi di balik pilar paviliun, setelah menyaksikan semua hal. Sejak Azhara dan Zhura berada di atas atap sampai mereka mendarat kembali di tanah, pandangan Carmina tidak luput dari satu bagian pun.

Ini sudah di luar batas kesabarannya.

Sebelum ini Carmina masih bisa menahan diri. Namun, sekarang sesuatu di antara Azhara dan Zhura benar-benar jelas terlihat. Ia tak akan lagi ragu dan bimbang untuk menyingkirkan kerikil di jalannya. "Lailla." Mata Carmina menyala saat bibirnya menyebutkan nama itu. Ada luapan emosi di sana yang menunjukkan betapa bencinya ia dengan saingannya mendapatkan hati Azhara.

"Bersiaplah, akan kuhancurkan dirimu berkeping-keping!"

***

Azhara mengamati data-data yang tertulis pada gulungan di atas meja. Ada banyak ketidaksinkronan yang serius, dan ia perkirakan ini tidak terjadi dalam waktu dekat.

"Aku merasa ada kejanggalan. Laporan dari bendahara istana keluar setelah aku memeriksanya. Di sini terlihat pengeluaran anggaran begitu membludak, tidak sesuai dengan pemakaian sumber daya kita sekarang. Untuk gadis suci, perawatan mereka tidak akan menghabiskan begitu banyak anggaran seperti ini. Lagipula, jumlah gadis suci periode ini jauh lebih sedikit dari periode sebelumnya," jelas Pak Dima.

"Tidak mungkin. Ada anggaran khusus untuk pengadaan keperluan gadis suci, urusan mereka tidak pernah tercampur arus kas internal. Jika kita lihat, aliran dana ini berasal di lingkup istana utama. Itu berarti satu-satunya yang bisa menjawabnya adalah Yang Mulia Raja sendiri," Tusk menambahkan.

"Tapi ayah sedang vakum untuk menjalani perawatan." Jari Azhara bergerak mengusap tulisan demi tulisan di dalam gulungan, sebelum kemudian ia membuka suaranya seraya menunjuk Tusk. "Berikan aku laporan analisis istana selama satu bulan ini," pintanya.

"Baik." Dia pergi sesaat dari ruangan pertemuan itu. Setelahnya ia kembali bersama laporan yang diminta Azhara.

"Di sini terdapat tabulasi data yang diperoleh dari analisis berbagai objek. Ribuan jenis barang masuk dan keluar dari kerajaan ini selama sebulan. Kita tidak mungkin bisa memastikan ketidakseimbangan arus kas hanya dengan melihat daftar barang dan kegiatannya," jelas Tusk.

Azhara mengamati data-data tersebut dengan mata tajamnya. Ia tidak menemukan keanehan sampai matanya melihat data pembelian barang dengan jumlah yang fantastis. "Di sini tercatat pembelian bahan-bahan pembuatan senjata sejak beberapa minggu terakhir. Apa ini untuk keperluan militer?"

Pak Dima keheranan, "Tidak mungkin, aku tidak mengetahui itu sama sekali! Yang Mulia Raja tidak memberikan perintah apapun mengenai kemiliteran dalam waktu dekat ini."

"Apa mungkin ini ada hubungan dengan perekrutan prajurit baru?"

"Ada perekrutan prajurit?" tanya pemuda perak.

Tusk mengangguk. "Ya, untuk memberikan keamanan ganda, istana melakukan tindakan perekrutan prajurit di bawah instruksi Tuan Minra."

"Apa anggotanya juga dipilih langsung olehnya?"

"Sepertinya semua pengalokasian tersebut berada dalam kendalinya."

Pak Dima menyela, ia masih tak percaya pada data yang tersaji di depannya. "Tapi untuk apa ia mengatur pembelian bahan-bahan senjata sebanyak ini? Barang itu terlalu banyak seakan-akan kita akan melangsungkan pertempuran. Jika seandainya itu benar, jadi siapa yang akan dia lawan?"

Azhara berdiri di depan jendela, menghalau sinar matahari sehingga ruangan menjadi gelap. Wajahnya yang bergaris tegas mengeruh. Masalah satu per satu berdatangan di saat yang lain belum terselesaikan. Perasaannya kalut ketika ia teringat organisasi gelap Shar. Mereka adalah kumpulan orang yang bekerja di bawah perintah. Jika memang masalah ini ada hubungan dengan Shar, siapa yang memberikan perintah untuk mengacau di istana?

Mungkinkah pamannya tahu sesuatu?























The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang