1. Rumah Kayu

503 204 77
                                    


Bintik-bintik putih menempel di jendela yang memburam akibat udara dingin. Entah itu bermain boneka salju atau hanya kejar-kejaran, angka delapan belas derajat celsius nyatanya tidak mengurangi kebahagiaan anak-anak kecil untuk berlarian di luar rumah. Gejolak tak tertahan meronta ingin keluar, segera ia tutup hidung dengan tisu saat bersin itu datang. Benar-benar memalukan. Setengah musim baru terlewat, tapi sudah yang kelima kalinya gadis itu demam. Melihat keasyikan anak-anak kecil periang itu, dia merasa jadi butiran nasi kering di pinggiran piring.

"Baiklah, aku akan pergi sekarang!" ujarnya seraya merapikan mantel cokelat yang setia menghangatkan. Ia mungkin sedikit malu mengakuinya, tapi sejujurnya mantel itu hasil bajakan dari ibunya. Diraihnya secarik kertas dan juga bungkusan roti pesanan di atas meja. Kandelir besar yang tergantung bergoyang saat pintu ruangan dibuka. Kemudian, gadis itu melambaikan sebelah tangan pada gadis berponi yang kini sibuk membereskan toko tempat mereka bekerja.

"Berhati-hatilah! Jangan sampai tersesat dan bawa pesanannya dengan benar. Langsung kembali ke rumah setelah mengantar rotinya, Zhura! Awas saja kalau aku melihatmu duduk dengan paman-paman genit di pinggir jalan," seloroh Mia melanjutkan pekerjaannya seraya tertawa hingga lubang hidungnya yang lebar kembang kempis.

"Kau pikir aku gadis seperti apa?" Zhura memberi delikan maut pada gadis berponi itu sebelum melangkah keluar dari toko roti. Hujan salju turun menggerayangi tubuh yang mulai kedinginan saat atensinya terarah pada alamat di kertas. Ini adalah alamat yang ditinggalkan oleh pemesan, lalu ditulis ulang oleh Nyonya Mary. Ia tidak yakin, tapi sebelum Nyonya Mary memiliki toko roti seperti ini, wanita berbadan subur itu mungkin pernah bercita-cita menjadi seorang dokter.

"Cekeran ayam saja lebih rapi," kelakarnya sembari berusaha tidak terjerembab ke dalam salju yang menggenangi jalanan desa sejak semalam. Akan jadi bencana jika roti milik pemesan yang ia pegang terjatuh. Jangan sampai ia dipecat Nyonya Mary gara-gara salah memberikan pesanan dan reputasi toko mereka jadi memburuk. Meskipun sebenarnya ada atau tidaknya reputasi toko roti itu di masyarakat, ia tidak tahu.

Biasanya ada kurir yang akan mengantar pesanan roti ke pelosok desa, tapi entah bagaimana dia bisa sakit saat ada pesanan sulit seperti ini. Ia memeriksa sekali lagi tulisan di kertas, harusnya ini tidak akan memakan waktu lama. Yang dituliskan Nyonya Mary hanya alamat yang membawanya pada rumah di ujung hutan. Namun, jika diperhatikan hutan di sini lebih mirip perkebunan, mungkin karena letaknya tidak begitu jauh dari pemukiman.

Zhura berjalan melewati jalan setapak. Ketika melewatinya, kaki yang terbalut sepatu putih itu menimbulkan suara berisik karena menginjak bebatuan kecil. Minimnya pencahayaan membuat gadis itu harus menyalakan penerangan dari korek yang sebenarnya tidak membantu banyak. Ayolah, ia bukan lagi anak kecil. Meskipun begitu, delapan belas tahun bukan usia di mana kau harus tenang saat berjalan sendiri di hutan pada malam hari.

Korek ini ia pinjam dari Nyonya Mary. Bosnya itu seorang perokok. Kalau ia hitung, mungkin wanita paruh baya itu merokok tiga atau empat kali dalam seminggu. Yah, siapa sangka benda kecil yang selalu Mia coba sembunyikan akhirnya akan bermanfaat. Maklum, hal luar biasa yang disebut teknologi baru menyebar di beberapa bagian desa yang dekat kota. Sementara di pedalaman seperti desanya, tidak ada penerangan maksimal selain kandelir kuno di rumah-rumah warga.

"Permisi, apakah ada orang?" tanya Zhura sampai di tempat tujuan. Ia bersihkan pakaian dari salju sebelum sisi kekanak-kanakannya mulai memperhatikan setiap sudut teras rumah pemesan roti. Hampir semua bagian rumahnya terbuat dari kayu. Bahkan jendela rumah juga dibuat dari lempengan kayu yang terlihat sudah lapuk. Ia berpikir pemiliknya pasti sangat minimalis. "Permisi?! Apakah ada orang?!" Tidak adanya respon, membuatnya terpaksa mengetuk pintu kayunya dengan perlahan agar itu tidak rusak.

Pintu cokelat selebar satu meter di depan wajah pun terbuka, sesosok makhluk yang disebut wanita tua keluar. Dia memakai pakaian yang nyentrik. Pakaiannya mengingatkan Zhura pada karakter nenek di sebuah dongeng tentang memasak, gadis itu lupa judulnya. Untuk sesaat ia melihat mata wanita itu melebar, kemungkinan dia terlalu senang karena rotinya datang. Saat Zhura mengumbar senyum, wanita tua itu justru berubah menatapnya datar seolah-olah melihat sayuran layu di pasar.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang