108. Interogasi

3 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Bangun! Hei, interogasimu akan dimulai!"

Tubuh Zhura tiba-tiba ditarik bangun dan dikekang begitu saja oleh tali. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali, gadis itu dengan bingung menatap orang-orang berpakaian prajurit yang tengah mengikat kedua tangannya ke belakang. Cahaya kejinggaan jatuh menyoroti matanya dari celah ventilasi udara, serangan pening tiba-tiba menyerangnya.

"Kepalaku sakit."

"Tidak ada alasan. Cepat ikut kami!" serunya menyeret Zhura keluar dari jeruji besi itu. Beberapa prajurit lain sudah menunggu kedatangan mereka di depan pintu, lantas ikut menggiringnya ke tempat interogasi.

Tajam dan mengintimidasi, banyak pasang mata memberikan sorot serupa. Wajarnya tidak ada orang yang menatap seorang pembunuh dengan kelembutan. Maklum, hanya itu yang bisa Zhura katakan untuk menguatkan dirinya sendiri. Menyadari tidak adanya kesempatan yang bisa ia gunakan untuk membela diri, gadis itu memilih menurunkan pandangan. Ia terlalu lelah, staminanya habis untuk bersinergi dengan keadaan.

"Cepat!" Prajurit itu memaksa Zhura untuk mempercepat langkah, alhasil gadis itu hampir tersungkur. Ia sesekali meringis, lilitan tali yang terlampau erat membuat tangannya sesak. Belum rasa panas yang menjalar di kulit akibat peredaran darahnya tersumbat. Semua itu bertambah buruk saat ia menangkap pemandangan di depan. Ratusan orang berpakaian hitam berkumpul mengelilingi balai pengadilan terbuka.

Bahkan Zhura sendiri masih kebingungan, semoga kali ini takdir akan berpihak padanya dan keajaiban bisa terjadi. Kini mereka menggiring Zhura ke tengah balai, kemudian membuatnya berlutut dengan tangan terikat. Satu di antara mereka datang ke sisinya. Ada meja dan benda-benda yang diletakkan di atasnya. Jantung Zhura seolah ditabuh tambur, ketika menyadari semua barang itu adalah miliknya. Arlia juga ada di sana, gadis elf itu terang-terangan menunjukkan raut sarkasnya.

"Baiklah! kita mulai interogasinya! Bawa ke sini tersangkanya!"

Pria berpakaian hitam kini berdiri di depan, ia datang bersama Tabib Ma yang juga terikat tali. Atensi semua orang lekas terarah padanya. Tabib Ma didudukkan di sisi Zhura. Tubuhnya yang tua terlihat lemah. Sementara pria yang membawanya bernama Ruvas. Dari balik rambut hitamnya yang panjang, telinga lancip berhias anting-anting besi menyembul. Dia adalah asisten kepala keamanan yang bertugas menginterogasi mereka.

Lalu, di mana Pak Tusk?

"Apa yang sebenarnya terjadi? Tabib Ma, di mana Inara dan Valea?" Zhura bertanya seraya melirik sekitar, mencari keberadaan teman-temannya.

"Mereka tidak di sini. Beberapa hari lalu mereka berpencar pergi menyelidiki kasus peracunan bunga itu, tapi mereka tidak kembali. Nak, kita pasti dijebak." Tabib Ma didera kesedihan dan ketakutan.

"Kami memiliki cukup bukti yang kami temukan di kamarmu, jadi sekarang adalah waktu yang tepat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi," jelas Ruvas kini menunjuk benda-benda yang ada di atas meja.

"Kami tidak membunuh siapa pun!" jawab Zhura, mencoba melepaskan tali di tubuhnya.

"Percuma, tali itu dimantrai, hanya sihir kuat yang mampu melepaskannya. Lagipula, kami belum membahas mengenai itu. Untuk sekarang kau mengakui ini semua barang-barangmu, iya atau tidak?!" tanya Paman Ruvas itu tak kalah tegas.

Zhura naikkan pandangan pada benda-benda di atas meja. Busur besar dengan gagang merah adalah pemberian Ibu Suri, tapi ia tak pernah memakainya. Lalu, baju hitam yang pernah Tabib Ma berikan padanya, mantel cokelat dan sepatu yang ia pakai saat terjatuh ke dunia ini.

"Itu semua memang milikku." Pada detik itu juga, gadis itu sadar kalau interogasi ini bukan hanya bertujuan untuk menguak pelaku pembunuhan raja, tapi juga untuk menelusuri masalah identitasnya.

Paman Ruvas itu mengangguk-angguk, kemudian menunjukkan selebaran cokelat. "Nona Lailla, ini adalah surat identitas yang pernah kau berikan saat pertemuan pertama gadis suci. Dan baru-baru ini kami menyadari bahwa suratmu ini palsu. Ada kemungkinan bahwa identitasmu sekarang adalah samaran." Kalimatnya datar tapi penuh dengan sarat intimidasi.

Keringat terasa mengalir dari pelipis, suhu sore ini tiba-tiba saja memanas padahal matahari hampir saja tenggelam. "Jujur saja, surat itu memang palsu." Tak ada lagi yang bisa Zhura pikirkan. Orang-orang yang berdiri di sekeliling balai pun mulai menyorakkan kalimat-kalimat umpatannya padanya.

"Mengapa kau memalsukan suratmu?"

"Aku tidak bisa menjawabnya! Tapi itu tidak ada hubungannya dengan kematian Raja Amarhaz. Aku bahkan baru tahu kejadiannya!"

"Kenapa kau tidak bisa menjawabnya? Lagipula, kita tidak hanya membahas tentang pembunuhan Yang Mulia Raja Amarhaz, tapi juga soal kecurigaan gadis-gadis suci yang mengakui kalau kau mungkin adalah mata-mata!" timpal Paman Ruvas.

"Apa? Tapi aku bukan mata-mata! Bagaimana bisa kalian menyebutku seperti itu?!" seru Zhura menoleh ke arah para gadis suci yang berdiri di sisi balai pengadilan. Gadis-gadis itu menatap Zhura dengan pandangan jahat. Tidak cukup sampai di sana, Zhura bahkan menemukan sorot bahagia dan kepuasan di raut mereka. Sebegitu terkenalkah dirinya hingga banyak mempunyai pembenci?

Paman Ruvas mengalihkan perhatian Zhura dari gadis-gadis itu. "Argumenmu terlalu lemah dan tidak bisa diterima. Semua bukti-bukti sudah ada di tangan kami. Barang di atas meja yang baru saja kau akui sebagai milikmu, adalah bukti bahwa kau mempunyai rahasia. Entah itu identitas atau hal lainnya, kau sengaja menyembunyikan sesuatu dari kami. Dan itu sudah membuatmu terkena satu dakwaan sebagai penipu,"

"Lalu, mengenai Tabib Ma. Ribuan tahun sejak kau bergabung di istana dan mengabdikan hidupmu dengan menjadi tabib. Dan kini, kau didakwa sebagai pembunuh raja karena kau adalah orang yang terakhir kali menemuinya. Katakan, apa pembelaanmu?"

"Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu! Semalam, setelah mendengar kabar bahwa Yang Mulia sudah kembali ke istana, saya bergegas menemuinya. Namun, saat saya masuk ke dalam ruangannya, saya menemukan dia sudah dalam keadaan meninggal! Melihat banyak kejanggalan di sekitarnya, saya yakin dia dibunuh oleh seseorang di istana," jawab Tabib Ma mengerahkan seluruh ekspresi untuk meyakinkan orang-orang.

"Sejak interogasi yang pertama, kau terus mengatakan hal serupa. Tapi kau tidak mau mengatakan alasanmu pergi ke ruangan Yang Mulia!"

Tabib Ma menggelengkan kepalanya pasrah. "Sudah lama aku mencurigai penyebab menurunnya kesehatan raja. Entah itu dari obat atau hal lain, seseorang pasti sengaja membuat Yang Mulia memburuk. Aku pergi menemuinya semalam untuk memastikan sendiri masalahnya. Saat tiba di sana, dia masih hidup. Kami bahkan berbincang sejenak mengenai kesehatannya dan saya memintanya untuk lebih berhati-hati. Siapa sangka ternyata seseorang benar-benar mengincarnya."

"Tunggu! Kau menganggap penyakit Yang Mulia adalah hasil rekayasa? Katakan, siapa yang kau curigai sebagai pelakunya?" tanya Paman Ruvaz.

"Aku belum bisa mengatakannya." Tentu saja, bagaimana Tabib Ma mengatakan nama seseorang yang ia yakini sebagai pembunuh raja jika ia tidak mempunyai bukti?

"Kau mengatakan penyakit raja adalah hasil rekayasa, artinya itu hasil tindakan seseorang. Tapi kau tidak mau memberikan nama siapa yang kau curigai. Karena kau tidak mengatakannya, maka aku terpaksa membuatmu bicara." Paman Ruvaz mengintruksikan seorang prajurit untuk membawakan cemeti. Dia mengancam akan mencambuk punggung Tabib Ma jika dia tidak mau bicara.

Zhura mendongak, menatap elf tua itu dengan seksama. Benaknya mulai dihinggapi oleh setumpuk pertanyaan. Haruskah ia menceritakan asal-usul dan identitasnya yang sebenarnya pada mereka semua? Apakah mereka akan percaya jika aku menceritakannya?

"Biar aku yang mengatakannya!" serunya. Sepertinya ini saatnya ia harus mengungkapkan semua hal.

Paman Ruvaz mengibaskan cambuknya ke lantai. "Sebaiknya kau mulai penjelasanmu sekarang, karena kalau tidak kami akan menutup interogasi ini dan menyatakan kau adalah seorang mata-mata dan Tabib Ma adalah pembunuh raja. Sementara teman-temanmu yang buron juga akan dijatuhi hukuman, karena membantu seorang mata-mata menyusup ke istana dan membunuh raja."

"Sebelum itu biarkan aku akan menceritakan semuanya dari awal!"

 

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang