97. Anggara

5 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Kau cukup tangguh tapi di sinilah saatnya untuk kau berhenti. Kami akan membawamu pada Sacia dan kebebasan dunia pun akan datang!"

"Apa maksudmu?" Zhura meringis saat punggungnya terasa nyeri. Orang-orang Shar itu sungguh tidak memberinya celah untuk kabur.

"Kau tidak perlu tahu. Jika saja kau menyerah sejak awal, orang-orang tak berdosa ini tidak akan mati. Tapi kau memilih terus lari, dan inilah yang kau lihat. Ini semua salahmu!" Sosok itu menjambak rambut Zhura untuk memperlihatkan padanya pemandangan padang rumput yang kini berkubang darah. Ia melihat Kakek Maral tergeletak di kejauhan dengan anak panah yang menancap di perutnya, dia mati.

"Biadap." Air mata keputusasaan menuruni sisi wajahnya dan meresap ke rumput.

Azhara tengah memberikan perlawanan sengit pada orang-orang bertudung yang menyerangnya. Puluhan anak panah sudah tertanam di tubuhnya yang tak mempunyai waktu untuk menghindar. Mengesampingkan keadaannya yang telah sampai pada ambang batas pertahanan, pemuda itu terus mengerahkan segala daya dan upaya membunuh semua musuhnya. Azhara sudah memutuskan untuk mengakhiri semuanya, dan itu termasuk hidupnya.

Tiba-tiba jawa terancam terasa sangat berat, ia melihat ada sesuatu yang terjadi. Dia pun segera berlari menuju ke sumber hawa itu.

Zhura menyelekat kaki Shar itu, mengambil pedang yang kemudian ia arahkan pada dadanya sendiri, "MAKA LEBIH BAIK AKU MATI DI SINI!"

Ctak!

"Kau gila?!" Pedangnya terlempar oleh seseorang. Azhara yang melakukannya dengan raut murka. Ia sama terkejutnya dengan orang-orang Shar yang hampir melihat aksi bunuh diri Zhura.

"Azhara?" Zhura terkesiap mendapati kehadiran pemuda itu. Orang-orang Shar yang melihat sosok perak itu pun membuat pose defensif seakan bersiap menghadapi lawan utamanya.

Azhara tidak melepaskan sedikit amarahnya. Dia mengeluarkan api biru dari tangannya dan melemparkannya pada orang-orang Shar. Mereka pun berjuang menghalaunya dengan berbagai cara. Salah satu dari mereka memukul tanah, dalam sekejap tanah di sekitar Azhara runtuh membuat pemuda itu terkubur. Tapi, tak lama kemudian ujung lengannya muncil mencakari tanah dan naik ke atas permukaan.

Mata Azhara kini tidak lagi putih bersih, melainkan biru gelap dengan pupil yang lancip. Separuh dirinya sudah dikuasai oleh roh jahat itu, dan hanya tinggal menghitung detik hingga itu akhirnya bangkit. Zhura mundur, saat Azhara yang dikuasai kekuatan gelapnya memusnahkan semua pasukan itu dengan begitu brutal. Satu per satu Shar dibunuh dengan dibakar, dipotong-potong, atau bahkan diledakkan.

Sepotong tangan jatuh mengenai kakinya. Hujan darah mengguyur tubuh Zhura yang membeku. Ia memegang lengan kanannya yang terus bergetar. Ditatapnya dengan lebar sosok pemuda perak di depan yang sibuk menghancurkan apapun di hadapannya. Nafsu membunuh begitu berpijar di wajah Azhara yang tidak ia kenali. Pada saat ia selesai, pemuda itu dengan menggebu-gebu berjalan ke arah Zhura.

Zhura bangkit dan berlari menjauh.

"Aakh!"

Azhara lebih dulu mencengkram lehernya, mata birunya yang menajam mengisyaratkan kemarahan yang memuncak. Diangkatnya tubuh Zhura hingga tak lagi menapak di tanah.

"Azhara, ini ... aku! Lailla!" gagap Zhura mencoba melepas diri dari tangan besar itu. Ia tahu Azhara tidak sadarkan diri, sosok yang ada di hadapannya sekarang adalah roh jahat itu. Mata biru Azhara berubah menjadi putih sesaat, sebelum kembali menjadi biru.

"Azhara, lepas ... lepaskan." Zhura menendangi kaki pemuda itu yang juga semakin erat mencekiknya.

"Aku ... sakit. Hentikan ... tolong," bisik Zhura tak bisa membuka suara karena tak ada lagi udara yang memasuki paru-parunya. Kepalanya ingin pecah ketika pandangannya memudar. Zhura yang pasrah tak lagi melawan, kedua tangannya kini terulur pada Azhara. Diusapnya wajah pemuda itu yang mendingin.

Usapan itu menyadarkan Azhara yang langsung melempar Zhura dengan kuat. Mata birunya memudar, berganti putih. Namun, tidak lama kemudian itu berubah kembali menjadi biru, lalu putih dan seterusnya. Zhura terbatuk-batuk meringankan sakit di tenggorokannya untuk sesaat. Ditariknya oksigen mengisi paru-parunya yang kembali bekerja.

Di tempatnya, Azhara jatuh berlutut. Pemuda itu memegangi kepalanya seraya menutup mata. Geraman dan ringisan bergabung di bibirnya menciptakan lantunan melodi menyesakkan. Beberapa kali ia menjambak rambutnya sendiri, untuk menahan diri terhadap kendali kekuatan roh jahat itu yang sudah menguasainya.

"Azhara!" Zhura mendekati pemuda itu, tapi ia segera didorong menjauhinya.

"Sekarang juga pergi!" teriak Azhara. Mata kanannya putih, tapi mata kanannya biru. Suaranya pun serak dan penuh nada kengerian.

"Aku tidak ingin pergi!" Zhura mendekatkan diri lagi, kini ia meraih tangan Azhara.

"Kubilang pergi!" Azhara menggeram, sebelah lengannya menahan pergerakan separuh tubuhnya yang berada dalam kendali roh jahat. Ia menatap Zhura dengan sorot mengerikan bak singa pada mangsanya, "Pergi atau aku akan membunuhmu!"

Zhura berdiri. Gadis itu terbendung tangis, mulai berlari menjauh meninggalkan Azhara. Bersama sisa orang yang selamat, dia menuju ke tempat persembunyian warga. Di tengah larinya, suhu udara seketika turun puluhan derajat celcius, angin yang bertiup kencang hampir membekukan kulitnya. Petir bersautan mencambuk bumi. Badai itu datang dan pusatnya berasal dari Azhara.

Sekarang apa yang harus ia lakukan?

"Hei, Nak Lailla! Kenapa kau berhenti? Ayo, cepat!" seru seorang pria berkumis yang berlari bersamanya.

Zhura bergeming menatap pusaran angin tersebut. Di matanya, langit yang bergemuruh dahsyat terlihat seperti sulaman benang abu-abu. Bayangan tentang pertemuan pertamanya dengan Azhara lekas tergambar di kepala. Zhura sadar, tidak ada jalan baginya lari karena ialah yang memutuskan untuk memulai kisahnya di dunia ini. Pangkal benang takdir yang sengaja ia uraikan lebih dulu, telak memberikannya jawaban dari segala kesulitan yaitu tetap melangkah maju.

"Hei, kembalilah!" teriak orang-orang yang melihatnya berbalik, berlari pada Azhara

Hujan mulai turun deras. Badai mengamuk sebagai manifestasi kemarahan roh jahat di tubuh Azhara yang terkekang. Beberapa kali Zhura terjatuh karena air dan darah yang bercampur membuat tanah licin. Tapi ia terus bangkit. Dengan penuh tekad ia mendatangi Azhara. Seperti sebelumnya, pemuda itu masih duduk bersimpuh berpayungkan petir. Tubuhnya tak stabil, seakan hampir diterbangkan oleh badai.

Pemuda itu tampak tenang, tapi sebenarnya ia sedang memusatkan kekuatan jahatnya menjadi satu energi untuk dihancurkan bersama dirinya di bawah petir.

"Hentikan!" Zhura memeluknya dengan erat, menumpahkan semua nestapa yang tersimpan.

"Kubilang berhenti!"

Azhara tidak merespon, hampir seluruh dirinya sudah tak bisa dikendalikan. Kedua matanya pun sudah menjadi biru lancip, jika dia tidak menggunakan sisa kekuatannya untuk melumpuhkan diri dan membuat badai penghancur itu, maka ia pasti akan mengamuk seperti tadi. Satu-satunya yang bisa ia usahakan untuk keselamatan orang lain hanyalah lenyap bersama roh jahat.

"Lihat, aku ada di sini! Aku kembali!" Zhura berusaha mengacaukan proses pemusatan kekuatan gelap di tubuh Azhara dengan menyadarkannya. "Azhara, kau bilang kita akan selalu bersama! Kau bilang kau tidak akan meninggalkanku lagi! Kau bilang kau berjanji padaku! Tolong, kembalilah! Jangan pergi lagi!"

"Aargh!" Satu petir biru menyambar mereka. Zhura terpental beberapa meter. Dia merintih merasakan jantungnya berdentum seperti dipukul. Rasa sakit yang membuncah terus naik, tak lama setelahnya darah segar keluar dari mulut. Zhura tak menyerah, ia kembali meraih Azhara. Namun, petir terus saja menyambar mereka, sayangnya Zhura tak bisa menahan penderitaan itu lebih lama.

"Maaf, aku harus melakukannya."

Ia menusuk Azhara dengan anak panah yang tergeletak di dekatnya. Badai yang mengamuk pun perlahan mereda. Azhara jatuh tak sadarkan diri, Zhura dengan getir menyandarkan kepala pemuda itu di bahunya. Gadis itu menyentuh luka tusukan yang ia buat. Setidaknya Azhara tidak akan mati dengan luka kecil. Ia hanya akan menanggung rasa sakit yang jauh lebih baik daripada dilenyapkan oleh badai penghancur.

Sepertinya Zhura benar-benar harus segera menemukan penawar itu.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang