Prolog

1K 228 74
                                    


'Jika angin adalah monumen bagi para pujangga, maka gadis itu adalah badai yang mengamuk abadi di dalam dirinya.'

~••~

Di antara eratnya pejaman mata, tak ada apapun yang cukup kuat untuk ia jadikan sebagai pegangan. Selain kenyenyatan yang menghanyutkan, peristirahatannya yang nyaman tiba-tiba menjadi dingin, punggung yang dirinya baringkan pun terasa menempel di lautan es. Bulan November harusnya baru datang, tapi tempat tidur miliknya tidak pernah sebeku ini di musim dingin. Mungkin dirinya terlalu banyak berpikir atau memang ranjang tuanya sudah berubah menjadi alas lembek dan berair, seolah-olah kini gadis itu tertidur di tanah sehabis hujan.

Perlahan kesadaran mau tak mau Zhura angsurkan.

Gejolak rasa penasaran yang membuncah memaksanya menunda tidur lelap untuk kemudian membuka mata. Sebelah tangan Zhura meraih sesuatu yang sangat dingin di bawah kaki. "Salju?" gumamnya tertelan angin. Sekarang gadis itu tidak heran kenapa suhu begitu menusuk kulitnya. Permukaan lembek yang menjadi alas pembaringan ternyata juga bukan ranjangnya. Entah apakah ini mimpi atau sebenarnya dia sedang berhalusinasi, tapi lokasi tempatnya terduduk sekarang adalah dataran salju.

Bulan berwarna jingga kemerahan serta langit gelap terhampar menjadi atapnya. Mata Zhura kemudian bergulir, setidaknya ia masih mempunyai cukup keberanian untuk menelaah situasi. Namun, mungkin itu hanya sampai di sana. Bukan disebabkan suhu dingin, ia sadar tubuhnya mulai menggigil karena pemandangan yang terhampar. Dalam sepersekian detik, oksigen yang harusnya berlimpah di udara terasa diambil paksa keluar dari paru-parunya. Daya napas gadis beriris zamrud itu pun seketika melemah ketika satu per satu hal gila di depan tertangkap sang pemilik indra.

Di penjuru dataran salju ini, semakin dilihat, semakin banyak juga hal mengerikan yang ditemukan. Mayat-mayat dan bagian-bagian tubuh orang berserakan. Beberapa dari mereka masih beranggotakan tubuh lengkap, tapi sisanya hancur seolah dicabik-cabik. Cairan yang keluar dari semua itu membuat warna tempat ini yang seharusnya putih menjadi merah. Apa yang terjadi masih menjadi misteri. Namun, bau anyir yang tercium tajam akibat tiupan angin memastikan ia terlalu bodoh untuk berpura-pura bahwa betapa nyata apa yang tampak di hadapannya.

Zamrud hijau gadis itu membelalak saat ia berusaha menutup rapat mulut dengan kedua tangan. Sejujurnya ia mati-matian menolak gejolak yang ingin keluar dari dalam perut. Meskipun demikian, Zhura bukan pengecut hingga tidak ingin mencari petunjuk pada apapun mengenai peristiwa yang terjadi. Jadi, sembari tertatih diputuskannya untuk berdiri menyapukan penglihatan ke sekitar. Hanya saja yang ia rasakan selanjutnya bukan hanya puncak rasa mual, tapi juga keheranan pada eksistensi sesosok gadis yang telak membuatnya meremang.

"Siapa dia?" tanya Zhura pada udara.

Entah apa yang gadis bermata hijau itu mimpikan semalam hingga dia melihat dirinya sendiri terbaring di dekat kakinya. Tubuh itu yang berlumuran darah, terkulai bak daun layu di tengah musim gugur. Gadis di depannya itu tergeletak kuyu dengan sebelah tangan menggenggam pedang besar yang terlihat tajam. Zhura terkesiap mundur saat cahaya bulan memantul di gelang perak berbentuk untaian sayap pada tangan kanan sosok di depannya.

Ia tidak bisa mengelak bahwa gelang yang sosok itu kenakan memiliki bentuk yang sangat indah. Jelas itu perhiasan mewah yang tidak mungkin ia miliki. Memilih abai pada gelangnya, atensi Zhura kembali pada wajah familiar tersebut. Satu kali pandangan saja ia sudah mengenali rupanya yang kini tampak pada gadis yang tak sadarkan diri itu. Namun, pada detik berikutnya Zhura menyadari ada yang berbeda darinya dengan sosok itu. Gadis asing itu mempunyai rambut perak, berbaju biru lusuh, dan lagi ia sepucat kertas. Jika diperhatikan lagi, kulitnya terlalu pucat untuk takaran standar kesehatan manusia sampai Zhura mengira bahwa gadis itu sudah mati.
Tapi, bagaimana dia bisa mati?

"Sebenarnya siapa dirinya?" Kecuali dari rambut perak dan kulitnya, melihatnya Zhura seperti sedang bercermin.

Tak puas, Zhura yang haus petunjuk kini kembali melihat ke sekitar. Tubuhnya mengejang ketika ia melihat banyak sosok asing lain berdiri di tempat dingin ini. Apakah mereka baru datang atau dirinya yang tidak melihat mereka sejak awal, yang jelas mereka semua menatap ke arah Zhura dengan pandangan yang seragam. Dari arah jam sebelas, gadis berambut merah menatap muram. Ada sorot hancur dan gelap seakan ia menyimpan duka. Pakaian birunya pun robek di sana-sini menampilkan luka di sekujur tubuh yang terbilang parah.

Zhura menggulirkan mata ke samping gadis berambut merah, terlihat eksistensi seorang gadis dengan telinga lancip terduduk menutup wajah. Tidak bermaksud menilai fisik, tapi dilihat dari manapun bentuk telinga gadis itu terlalu runcing dan tidak manusiawi. Tubuhnya sama terlukanya dengan gadis merah. Dari bahunya yang bergetar, Zhura rasa gadis bertelinga lancip itu sedang menangis. Sejujurnya bukan hanya mereka, banyak gadis berpakaian biru lain dan sosok berzirah menatap dengan raut wajah aneh.

"Ada apa ini?! Siapa kalian?! Apa yang terjadi?!" Zhura membuka suaranya dengan lantang. Yang mengherankan, semua orang bertingkah seolah-olah ia tidak terlihat. Gadis delapan belas tahun itu terdiam untuk menyadari suatu hal. Pandangan mereka semua ternyata mengarah pada gadis berambut perak di depannya. Jadi, sosok gadis yang mati itu adalah pemeran utama.

Ketika ia kelimpungan mencari jawaban atas situasi itu, pandangan Zhura justru jatuh pada seorang pemuda berambut hitam panjang di dekatnya. Ia bersimpuh tak berdaya seolah seluruh energinya dikuras tak tersisa. Tidak mengejutkan bagi Zhura saat ia melihat pemuda itu sama seperti semua orang yang juga menatap gadis berambut perak di depan. Namun, tidak seperti keruhnya sorot orang lain, tatapannya kosong. Begitu kosong hingga Zhura pikir dia hanya patung yang diberi keberuntungan untuk bernapas.

"Hei, siapa kau? Tempat apa ini? Tolong, jangan mengabaikanku! Ada apa ini?!" tanya Zhura pada pemuda itu yang berakhir menjadi percakapan sepihak. Dengan bibir yang berlumuran darah, laki-laki di sisinya membisu lekat melalui detik demi detiknya dalam hening.

Pemandangan berubah mendebarkan ketika tubuh pemuda yang terbalut pakaian putih itu tiba-tiba bergetar hebat. Otot lehernya menonjol keluar bersamaan dengan rahangnya yang mengeras. Iris birunya menggelap terbias air di pelupuk mata. Ada perasaan tidak nyaman saat melihat wajahnya yang tak sanggup lagi menahan tangisan. Ingin rasanya Zhura menggerakkan kaki mendekat, tapi sesuatu entah apa menahan langkahnya.

"Ah!" Jantung Zhura berdenyut tak terkendali ketika pemuda itu membawa tubuh gadis perak yang mati ke dalam dekapan penuh isakan. Tangisannya terdengar parau dan berat, seakan-akan hal paling berharga baru saja terenggut paksa darinya. Sedih atau takut, perasaan gelap itu menyerangnya kalut. Pandangan Zhura mengabur ketika satu bulir cairan baru saja melesat melewati pipinya, pikiran gadis itu mulai diserang pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya ia rasakan. Bagaimana tubuhnya yang merespon adegan di depan dengan sangat tidak wajar membuatnya hilang akal.

Dia, sosok bermata biru itu.

Melihat pemuda itu bersedih, seluruh diri Zhura terasa sakit. Lalu entah dari mana, sensasi yang sangat panas begitu mendadak mengular di balik punggungnya yang terbalut mantel cokelat. Ia masih berharap ini mimpi, tapi rasa sakitnya berpacu menggila. Derita itulah kemudian yang berperan mengalihkannya dari sepasang kekasih di depan. Ia ingin tetap berdiri di sisi pemuda itu, tapi sesuatu membawa tubuhnya yang letih menjauh. Kini datang sebuah ruangan senyap, di mana semua yang ia lihat hanya kegelapan yang pekat. Sekarang tidak ada pemuda bermata biru atau gadis berambut perak yang mati, tidak ada siapa pun kecuali dirinya yang tenggelam semakin dalam ke palung kehampaan.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang