Our Revenge pt. 5

321 48 3
                                    

Pada dasarnya manusia membutuhkan cinta dan kasih sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada dasarnya manusia membutuhkan cinta dan kasih sayang. Tetapi, apakah iya aku masih membutuhkan itu setelah apa yang aku alami? Mungkin, saat ini aku memiliki trauma yang mendalam atau memang bisa dikatakan aku memiliki phobia, sebut saja philopobia.

Bagaimana aku tidak takut jatuh cinta lagi setelah apa yang dilakukannya kepadaku? Aku tak akan menyebutnya lagi sebagai papa dari si kembar. Apa yang dia lakukan kemarin sudah melewati batas. Meskipun seharusnya aku menghukum si kembar karena mereka telah melakukan hal yang tidak patut untuk dilakukan.

Perihal mistis dan yang lainnya aku sudah tidak peduli. Sudah cukup dia menyakitiku lagi dan lagi. Rasa cinta itu bahkan tidak tersisa lagi untuknya.

Ternyata seperti ini ya rasanya ketika cinta berubah menjadi benci yang teramat mendalam?

Aku sangat muak jika berada di dekatnya. Itulah awal dimana rasa benci mulai menyelimuti diriku. Aku tahu ini tidak baik dan berdampak pada kesehatan, terlebih aku mengajarkan anak-anak hal yang tidak patut untuk mereka lakukan.

Aku kembali mengeratkan hasil dari USG yang baru saja kulakukan beberapa menit yang lalu. Hal ini yang membuatku meminta Janu untuk bertemu di rumah sakit saja. Dokter mengatakan rahimku sedang tidak baik-baik saja.

Dampak yang dia lakukan beberapa tahun silam berhasil membuat diri ini menyesali keputusanku untuk menikahinya. Menikahi pria jahat yang sayangnya pernah aku cintai.

Bodoh, aku sungguh bodoh melakukan hal itu.

Haruskah aku menyesali apa yang telah terjadi? Seharusnya tidak, bagaimana aku bisa menyesal setelah aku memiliki si kembar?

Setelah mengetahui hasilnya dan menerima segala saran yang diberikan oleh dokter yang menanganiku. Aku kembali berpikir, mencari jalan keluar agar aku bisa melakukan tindakan operasi tanpa diketahui anak-anak dan kakek mereka. Haruskah aku meminta bantuan kepada Mas Taeyong?

Jujur, aku tidak ingin kembali menyeret dirinya ke dalam hidupku. Bukannya aku tidak bersyukur karena ada dia yang masih memperhatikan dan selalu ada untukku.

Hanya saja, aku merasa sungkan setelah apa yang telah kita lalui bersama. Rasanya apa yang aku lakukan saat ini begitu salah. Seharusnya kita tidak kembali dekat. Aku takut terlalu memberi harapan kepadanya. Dia yang dengan tulus menyatakan perasaannya yang tidak pernah berubah di saat aku telah berpaling darinya.

"Mah?" Aku menoleh ke asal suara, mendapati Janu yang sudah berdiri di hadapanku. Kulemparkan senyum terbaik yang kumiliki. Merasa bersyukur memiliki anak-anak hebat ini.

Terima kasih kalian sudah hadir. Dengan adanya kalian Mama lebih tahu bagaimana caranya berjuang dan membuat kalian bahagia.

"Ayo kita pulang," ajakku menarik pergelangan tangannya setelah berdiri. Juna nampak kebingungan, namun dia tetap mengikuti langkahku yang menyeret tubuhnya.

"Mama udah selesai ketemu sama dokter? Kok nggak nungguin Janu dulu? Apa kata dokternya?" tanyanya beruntut. Aku mendadak tertawa diberondong berbagai pertanyaan.

"Satu-satu dong tanyanya, sayang. Dokter bilang hasil tes nya bagus kok. Jadi, anak-anak ganteng Mama nggak perlu khawatir lagi. Sekarang Mama yang mohon sama kalian. Jangan berurusan sama mereka lagi, ya?" perintahku. Aku yakin Janu mengerti dengan apa yang aku bicarakan karena anak-anakku terlahir pintar.

"Siap Ibu Negara!" timpalnya penuh semangat.

Maafin Mama ya, Nak. Karena keegoisan dia kalian jadi seperti ini. Mama nggak mau kalian salah langkah dan mengikuti jejak orang itu. Mama minta maaf harus berbohong karena Mama nggak bisa melihat kalian merasa bersalah dan terbebani.

Sudah kuputuskan, aku memilih pergi ke Singapore seorang diri untuk melakukan pengobatan di sana. Tinggal bagaimana caranya aku meyakinkan mereka agar mereka percaya bahwa aku melakukan perjalanan dinas selama beberapa hari.





***




"Pah," Kupanggil pria yang terlihat lebih bugar dari sebelumnya. Papa menoleh, menutup koran yang sempat dirinya baca tadi. Hanya tinggal kami berdua yang tersisa di meja makan  Si kembar sudah pergi meninggalkan rumah sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Ya, ada yang ganggu pikiran kamu?"

Terlihat ragu, papa kembali memastikan apakah aku memiliki masalah lain. "Y/N, kamu lagi ada masalah?"

"Eh, enggak Pah, bukan karena itu. Perihal proyek Papa yang sempat tertunda di Kalimantan. Apa boleh Y/N lanjutkan?"

"Papa belum bisa kembali ke kantor untuk saat ini Y/N."

"Y/N tahu Pah, untuk sementara biar Y/N yang menggantikan Papa sampai Papa kembali ke kantor. Bagaimana?"

"Kamu yakin? Tempat itu terlalu jauh. Apa kamu sanggup jauh dari anak-anak. Apa anak-anak kasih ijin kamu untuk ke sana?"

Aku mengangguk menyetujui, cukup sulit mendapatkan ijin dari anak-anak. "Tapi Pah, kita belum coba. Kalau Papa ijinin Y/N. Biar Y/N yang bicara sama anak-anak. Gimana menurut Papa?"

"Kalau memang kamu mampu dan si kembar kasih ijin, Papa nggak bisa larang kamu. Kamu bisa pergi sama asisten Papa."

"Pah, kenapa harus? Y/N bisa pergi dengan Joana atau Kristy."

Papa nampak ragu dengan keputusan yang aku ambil. "Papa ijinin kamu pergi selama kamu pergi dengan Taeyong, Cuma dia yang Papa percaya. Omongan Papa tempo hari perihal pernikahan, Papa nggak bercanda Y/N. Papa mau kamu menikah lagi sama pria pilihan Papa. Papa udah bicara sama anak-anak dan mereka setuju."

Kenapa harus dengan perjodohan lagi? Apa beliau tidak mengerti jika aku memiliki trauma sendiri terhadap seorang pria dan perjodohan.

"Papa boleh minta apapun dari Y/N. Tapi untuk menikah lagi, maaf Pah, Y/N nggak bisa. Y/N takut membina rumah tangga lagi."

Tidak ada lagi yang harus aku tutupi. Rasanya aku tidak kuat menahannya seorang diri. Aku harus mengatakannya agar beliau mengerti apa yang sedang aku takuti saat ini.

"Y/N, Papa minta maaf karena Jaehyun, kamu jadi seperti ini. Papa cuma mau kamu dan anak-anak hidup bahagia dengan begitu Papa—"

"Aku nggak bisa merusak kebahagiaan orang lain Pah, Mas Taeyong, dia pria yang baik, dia lebih pantas mendapatkan wanita baik-baik yang lebih dari aku. Wanita yang bisa kasih dia keturunan," ungkapku pada akhirnya.

Papa terlihat terkejut dengan apa yang barusan aku katakan. "Maksud kamu apa?"

"Pah, Y/N minta maaf. Nggak ada maksud buat menutupi semua ini dari Papa. Dalam waktu dekat, Y/N harus melakukan operasi pengangkatan rahim," jelasku.

Dan semua itu karena ulah anakmu, Pah. Aku berharap semoga setelah ini kesehatan papa tidak memburuk atau papa malah menyalahkan diri sendiri.

"Maafin Papa Nak, semua ini karena Papa. Andai Papa nggak maksa kamu untuk menikah dengan anak nggak tahu diuntung itu."

"It's ok. Semua memang sudah takdir yang harus Y/N jalani. Jangan beritahu anak-anak ya Pah? Y/N mohon sama Papa."

Bagaimana pun rasa pahitnya kehidupan, aku percaya akan ada kebahagiaan yang menantiku di depan. Takdir itu memang tidak bisa ditebak ya?


















JAEHYUN IMAGINES (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang