Problem

9.8K 613 69
                                    

Enjoy~ 💕

*************************

-Jungkook POV-

-Jungkook POV-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Mia! Tunggu, Mia!"

Tak peduli protes dari beberapa orang yang sengaja tersenggol, aku mempercepat langkah. Berusaha mengejar wanita yang berbaur di antara pejalan kaki. Ini malam Minggu, banyak pasangan yang bersenda gurau sambil berjalan santai. Membuatku harus lebih hati-hati menyembunyikan wajah dari mata elang para penggemar. Bisa kacau jika seorang Jeon Jungkook ketahuan berjalan-jalan dengan wanita yang tidak diketahui asal-usulnya.

"Mia!"

Aku berdecak kesal di antara napas yang turun naik. Mia sempurna menghilang di antara orang-orang. Entah aku yang bodoh karena tidak mengenalinya, atau dia yang terlalu pintar untuk bersembunyi. Tapi, sepertinya pilihan pertama yang benar. Aku bukan suami yang baik.

"Bagaimana?"

Aku menoleh ke V Hyung yang baru sampai. Kondisinya tak jauh berbeda dariku, sama-sama kelelahan. Terlihat dari tarikan napasnya yang tak teratur. Aku menggeleng. "Dia hilang," gumamku pendek.

"Coba hubungi." V Hyung memberi usul.

Tak perlu diperintah dua kali, ponsel di saku sudah kuambil. Nada sambung telepon terdengar menakutkan. Ayolah, Mia ... jawab teleponku.

"Tidak dijawab?"

Aku mengangguk saat V Hyung bertanya. Pikiranku kacau, bagai benang yang digulung sembarangan. Jika sampai tidak mengangkat teleponku, itu artinya Mia sangatlah marah. Ya Tuhan ... bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan untuk meredam kemarahan Mia?

"Hyung, aku pulang duluan." Aku meminta izin setelah mendapat satu tempat tujuan yang mungkin didatangi oleh Mia. Dan sedetik setelah V Hyung mengangguk, aku langsung berlari menuju taxi yang baru menurunkan penumpang. Kusebut alamat rumah, sedangkan dalam hati berdoa; semoga Mia memang pulang ke sana, bukan ke rumah orangtua atau rumah kenalannya.

Di jalan, perasaanku gelisah. Kebiasaan menggigit kuku kembali kulakukan. Aku cemas. Bagaimana jika Mia tak ingin memaafkanku? Bagaimana jika dia membenciku? Bagaimana jika dia ... ah! Tuhan ... tolong aku.

Pikiranku terulang ke beberapa jam yang lalu, saat kami masih tertawa bersama. Aku tahu mood-nya buruk sejak pagi, itulah mengapa aku mengajaknya jalan-jalan. Tujuanku hanya ingin membuatnya lebih terhibur. Lagipula kami sudah lama tidak keluar rumah saat malam. Tapi, siapa sangka segalanya malah kacau karena satu orang; V Hyung. Kami tidak sengaja bertemu dengannya yang berjalan sendirian seperti orang bodoh. Akupun berinisiatif untuk mengajaknya berjalan bersama. Dan di situ awal masalah. Aku terlalu asyik mengobrol sampai melupakan Mia yang hanya terdiam di samping. Kami membahas game, comeback dan ... entah. Sampai Mia tiba-tiba berhenti berjalan.

'Aku pulang duluan, di sini aku hanya akan jadi pengganggu untuk kalian.'

Di situ, aku dan V Hyung baru tersadar. Ada yang terabaikan di antara obrolan kami yang menyenangkan. Dan sebelum aku sempat meminta maaf, Mia sudah lebih dulu pergi. Tak ada bicara, hanya wajahnya yang menahan tangis.

Aku berdecak nyaring, mengagetkan supir yang tengah fokus menyetir. Buru-buru, aku meminta maaf. Ponsel di tanganku bergetar, ada pesan baru dari V Hyung.

'Maaf, aku tidak bermaksud mengacaukan acara kalian. Sampaikan juga maafku untuk Mia. Semoga dia tak semakin membenciku.'

Kutarik napas dalam-dalam. Cahaya lampu dijalan terasa menyilauan, membuatku semakin pening. Mia tidak membencimu, Hyung. Dia hanya tidak suka melihatku terlalu dekat denganmu. Dia cemburu, bahkan sangat cemburu. Karena dia sadar, kau mengenalku lebih dulu darinya. Dia takut kau akan mengambil posisinya saat tidak berada di sampingku. Padahal itu semua tidak mungkin terjadi. Di hati ini, hanya ada dia satu-satunya.

Sekali lagi, aku menarik napas dalam-dalam. Di hati, aku mengerutu tentang taxi yang berjalan begitu lambat. Aku takut Mia semakin marah jika aku tak segera menghampirinya.

Untungnya, lima menit kemudian taxi telah berhenti. Segera kuserahkan uang pembayaran. Dan tanpa menunggu kembalian, aku bergegas membuka pagar dan berlari dengan tergesa ke pintu rumah. Semoga Mia memang pulang ke sini.

"Mia ... kau di dalam, Sayang?" Aku menggedor pintu dengan panik. Harapanku hampir pupus karena melihat ruangan yang begitu gelap di dalam sana. Tapi, aku teringat dengan kunci yang kubawa di saku. Syukurlah, sangat-sangat syukur.

"Mia ...."

Aku tak lagi ingat mengunci pintu saat mendengar suara isak tangis. Aku segera menghambur ke kamar, tempat suara berasal.

"Mia ...."

Lututku lemas melihat wanita yang kucintai menangis sambil memeluk kaki. Hatiku sakit, seperti diremas tangan raksasa. Aku menyakitinya. Ya Tuhan ... aku menyakitinya.

"Mia ... aku minta maaf, Sayang."

Tanganku bergetar saat berusaha menyentuhnya yang terduduk di lantai dengan bersandarkan tempat tidur. Aku pernah melihat kejadian ini sekali, saat Mia terpuruk beberapa tahun lalu. Saat itu, aku yang menenangkan. Namun kali ini, aku yang jadi penyebab.

"Mia ... aku—"

"Pergilah. Kumohon ... pergi."

Ada jutaan sayatan kecil di hatiku. Untuk sepersekian detik, sayatan tersebut menjadi luka yang tak berdarah. Perasaanku sesak, juga sakit seperti dirajam dengan bebatuan panas nan tajam. Ini pertama kalinya Mia menangis dan menyuruhku pergi. Tak ada nada bermain-main, semuanya serius. Sungguh, aku tak menyangka akan separah ini jadinya.

"Mia ...."

"Apakah istrimu begitu tidak pentingnya? Sampai kau mengabaikanku seperti tadi?"

Aku bisa merasakan kesakitannya saat dia mendongak untuk memandangku. Rasa cemburunya, rasa marahnya, dan rasa muaknya akan diri sendiri. Aku tahu. Perasaanku tersambung dengannya.

"Mia ...."

"Berhenti menyebut namaku! Aku benci kau, Jeon Jungkook."

Ya Tuhan ... bahkan dia tak ingin kupanggil lagi. Semarah inikah kau denganku, Sayang?

"Aku tahu kau marah denganku. Tapi kumohon ... jangan menyuruhku berhenti menyebut namamu." Aku berbisik dalam tundukan rasa bersalah. Seharusnya aku lebih peka. Dia sedang badmood, berharap aku bisa menghiburnya, bukannya membuat badmood-nya semakin parah seperti ini.

Jeon Jungkook, kau benar-benar suami yang bodoh.

"Mia, aku—"

"Tidurlah di kamar lain. Aku tidak ingin diganggu."

Tidak ada toleransi, ataupun candaan seperti tempo hari. Dia serius.

Kutarik napas panjang, lalu berusaha untuk tersenyum setulus mungkin—meski hati ini remuk luar biasa. Ini pertengkaranku yang pertama, dan rasanya sangat menyakitkan. Kukecup rambutnya pelan, sekaligus berbisik agar dia tak lupa memakai selimut saat tidur.

Sejenak, aku masih sempat memandangnya sebelum menutup pintu kamar. Percuma bicara panjang lebar di situasi seperti ini, tidak akan membantu banyak. Bahkan, bisa jadi malah menambah masalah jika aku sampai salah bicara.

Semoga ... semoga besok situasi jadi lebih baik.


-FIN-


*****

Anggap aja ini JK yang buat sendiri 😁

Jangan lupa tinggalkan jejak 👍

[Jungkook x Mia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang