Speak Now

7.1K 599 77
                                    

"Kau marah?"

"Tidak."

"Iya, kau marah."

"Kubilang tidak."

Jungkook menarik napas dalam-dalam, menyerah pada wanita bergaun cokelat di hadapannya sekarang. Sejak lima menit lalu, dia sudah berulang kali menanyakan hal yang sama. Tapi, jawaban yang didapatnya juga tidak berbeda antara satu dengan yang lain, paling hanya bertambah satu atau dua kata. Ya, Jungkook paham sepenuhnya. Mia memendam kekesalan, tapi berusaha menutupi dengan kalimat 'tidak apa-apa'. Salahnya juga mengabaikan semua pesan karena terfokus dengan latihan.

"Areum ...."

"Mandilah, lalu istirahat. Kau pasti lelah setelah melakukan dance seharian."

Jujur, Jungkook mengiyakan kalimat istrinya. Tubuhnya yang lelah memerlukan air hangat dan tempat tidur empuk. Tapi melihat mata sembab Mia, dia tak tega untuk beranjak mundur meski hanya selangkah. Ada perasaan sakit yang menumpuk karena rasa bersalah. Saat baru memasuki rumah, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Mia menumpukan kepala di meja makan. Wanitanya menangis sendirian, di saat dia asyik tertawa dan bersuka cita di tempat lain.

"Mia, aku—"

"Aku tidak apa-apa, Jung. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."

"Bagaimana mungkin aku tidak khawatir kalau kau mengatakannya sambil menangis seperti ini?"

"Aku tidak me—" Setetes air mata jatuh tanpa izin, membuang seluruh alasan yang ingin digunakan. Mia meneguk ludah, bergegas menundukkan kepala dan menahan tangisan yang bisa membuat segalanya bertambah kacau.

"Mia ... Sayang, kau kenapa sebenarnya?" Jungkook berlutut, menyentuh pipi sang wanita tercinta. Ada getir di nada suara, didorong oleh rasa bersalah yang menumpuk. Tidak pernah ia tahan melihat wanitanya menangis seperti ini.

"Aku baik-baik saja ... kau istirahatlah." Mia bersikukuh dengan gelengan kepalanya.

"Kau tidak baik-baik saja, Sayang. Katakan padaku, kau kenapa? Jangan memendamnya sendiri, Mia."

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja. Aku hanya badmood, nanti juga hilang sendiri."

"Kau badmood karena aku. Iya, 'kan?"

"Tidak, Jungkook-ah. Aku—"

"Kau tidak pernah memanggilku Jungkook-ah sejak satu tahun yang lalu. Apa kau semarah itu denganku?"

"Aku—"

"Kau mau mengatakan baik-baik saja, 'kan? Baiklah. Aku akan pergi sekarang."

"Aku kesepian."

Gerak Jungkook yang hendak berdiri tertahan. Mia menyeka air matanya yang kembali menetes, tak sedikit pun ia berani memandang Jungkook yang meneguk ludah pahit.

"Aku merasa sendirian sejak tadi malam. Padahal aku berharap kau menemaniku menyelesaikan pekerjaan, tapi kau terlalu sibuk membahas tentang dance dengan hyung-mu yang lain. Aku tidak ingin mengganggu, apalagi tanggal comeback semakin dekat, jadi aku membiarkanmu segera tertidur. Dan tadi siang ... aku berharap kau bisa menemaniku untuk sejenak, tapi kau ingin beristirahat segera, jadi ... jadi aku biarkan. Dan soal aku menangis, itu karena perkuliahan hari ini, bukan karenamu." Mia tersendat-sendat saat bicara, seperti takut untuk mengungkapkan apa yang dipendam. "Maaf, aku membuatmu tidak nyaman karena keegoisanku. Aku hanya ... aku hanya lelah. Aku perlu teman, aku merasa stress karena sendirian."

"Kau berani mengungkapkan ini hanya denganku, 'kan?" Jungkook memberi pertanyaan baru. Perlu beberapa detik sebelum akhirnya Mia mengangguk mengiyakan.

"Ya Tuhan ... Areum, sebanyak apa yang kau pendam, Sayang?"—ditariknya wanita Jeon itu ke dalam pelukan—"kenapa tidak langsung kau katakan sejak tadi siang, hmm?"

"Aku tidak ingin mengganggu dan memaksamu." Mia menyandarkan kepalanya ke bahu Jungkook. "Aku tidak ingin menambah bebanmu," lirihnya kemudian.

"Tapi kau jadi sesakit ini. Aku merasa jadi suami yang jahat."

"Jangan merasa bersalah. Seharusnya aku yang mendapat cap istri yang jahat. Aku egois, tahu kau sibuk, tapi malah bertingkah seperti ini. Yang pantas marah seharusnya kau, bukan aku."

"Kenapa kau selalu menyalahkan diri sendiri seperti ini, huh?"

Mia menelan ludah. "Karena memang aku yang salah. Aku harus sadar posisiku, aku ini—"

"Kau istriku, kau keluargaku, kau ibu dari anakku. Kau bebas membicarakan ini denganku, bukannya memendamnya seperti ini."

"Jung—"

"Lain kali, bicarakan denganku secara langsung. Aku bukan orang yang peka, Mia. Aku tidak seperti Yoon Gi Hyung, atau Jimin. Aku sulit memahami dan aku segera menyerah jika kau tak menyebutkan apa masalahnya. Itu bukan hal yang baik, 'kan? Karena kau jadi memendamnya sendirian, seperti sekarang."

Hening.

Detak jam terdengar jelas. Mia tetap bungkam dalam tundukannya di bahu Jungkook di sela Pria Jeon itu mengusapi rambutnya. Dia tak ingin berdebat, tak ingin membahas permasalahan ini lebih lanjut juga. Sudah cukup kepalanya serasa ingin pecah karena pemilihan kelompok yang dilakukan hari ini. Kacau, itulah yang tepat untuk mendefinisikan perasaannya sekarang.

"Mia."

"Hmm?"

"Jangan stress, kau harus semangat. Ingat, ada anak kita di rahimmu. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kalian berdua. Aku janji, aku akan lebih memerhatikanmu dari sekarang."

"Jangan berjanji kalau kau sendiri tidak yakin bisa memenuhinya."

"Mia ...."

"Sudahlah, lupakan saja. Kau bau, mandilah sana."

Pelukan mereka terlepas. Jungkook menghela napas setelah Mia menghadiahinya sebuah kecupan di kening. Sedikit senyum terbentuk manis di bibir Mia, tapi segera menghilang saat sosoknya berdiri dan langsung meninggalkan Jungkook begitu saja. Tak ada kata, atau hal lainnya. Hanya suara langkah kaki yang terdengar.

'Jangan berjanji kalau kau sendiri tidak yakin bisa memenuhinya.'

Ya, Jungkook sadar. Kalimat itu menohok sangat kuat.


-FIN-


**Jangan tanya. Cuma lagi pusing soal kuliah 😅 Ah ya~ mari berteman di line 👉 Jmia_ 

Dan~ jangan lupa tinggalkan jejak 😘

[Jungkook x Mia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang