Don't Sick Again, Babe

14.4K 876 7
                                    

By : Mia


Sesudah baca jangan lupa tinggalkan jejak, ada kritik mah jangan dipendam :D Terus, jangan mikir macam-macam ke akunya waktu udah selesai baca sampe bawah ya :D Happy reading <3


-oOo-


-Jungkook POV-


Kuusap rambut gadis manis yang tengah berbaring di pahaku dengan lembut. Wajahnya yang masih terlihat pucat membuatku tak bisa mengalihkan pandangan sedikitpun darinya. Setelah semalam dibuat panik olehnya yang menangis kesakitan karena penyakitnya datang selama lebih kurang satu jam, mana mungkin sekarang aku bisa melepaskannya begitu saja. Tapi untunglah kali ini sakitnya cepat ditangani. Jika tidak, mungkin seperti kemarin, dia dan semua orang yang ada di rumah tak akan bisa tidur karena dirinya yang terus menangis kesakitan.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanyaku memecah keheningan.

Mata coklatnya mengerjab polos ke arahku, "Aku baik-baik saja."

Kuhembuskan nafas panjang. Masih teringat olehku dirinya yang semalam menangis di pelukanku, benar-benar membuat keringat dingin tak berhenti mengalir di pelipis karena takut terjadi hal buruk padanya. Entah berapa puluh kali aku mencium puncak kepala dan wajahnya untuk sekedar menenangkan diriku sendiri, tapi tetap saja matanya meneteskan kristal bening yang membuat kepanikanku semakin menjadi.

"Areum." Panggilku, dia memandangku.

"Bangunlah." Perintahku kemudian.

Dia menurutiku untuk bangun. Sejenak aku memandang wajahnya yang lebih berwarna dari tadi malam, lalu segera menariknya ke dalam pelukanku. Dia tak protes, hanya balas memeluk dan menepuk punggungku seolah untuk menenangkan.

"Tenanglah, Jung. Kekasihmu ini kuat, jadi jangan khawatir. Aku baik-baik saja, Sayang." Ucapnya lembut.

"Bagaimana aku bisa tenang jika kau menangis seperti tadi malam, Mia?" Gumamku lemah.

"Tapi aku bisa melewatinya dengan baik dan semuanya baik-baik saja, bukan?" Dia tertawa kecil, hambar.

Kulepaskan pelukan, "Kau melarangku tertawa dengan terpaksa, tapi kenapa sekarang kau yang tertawa dengan terpaksa? Jujurlah, kau sendiri takut dengan penyakitmu, bukan?" Tanyaku sambil menangkup pipinya.

Senyumannya muncul, "Takut ya memang takut, tapi semua takut tak ada gunanya. Lagipula yang dikatakan dokter baru kemungkinan, jadi ada waktuku untuk bernafas lega. Seandainya penyakitku memang itupun aku tak masalah, orang pintar memang selalu memiliki penyakit berbahaya di hidupnya. Contohnya Namjoon Oppa." Dia kembali tertawa, seolah tak ada beban.

Aku menatapnya, "Areum—"

"Sepertinya aku memang tak bisa berpisah dari yang namanya obat. Baru beberapa hari tak mengkonsumsinya, aku sudah sakit seperti ini. Menyebalkan sekali!" Gerutunya sambil melepaskan tanganku dari pipinya.

"Jung." Panggilnya saat aku terdiam, aku hanya memandangnya.

"Kenapa kau bisa tahu aku sakit tadi malam?" Tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.

Aku mengangkat bahu, "Perasaanku yang mengatakan bahwa ada yang tak beres padamu, dan aku segera ke sini untuk menemuimu. Jadi, yah... Ini murni dari perasaanku."

"Jadi intinya, kau bisa merasakan bahwa aku sedang sakit, begitu?" Dia bertanya dengan sorot mata jahil.

"Kau tak percaya, huh? Jangan remehkan perasaan kekasihmu ini." Aku mencubit pipinya gemas.

"Aku tak meremehkan, hanya saja ini sangat luar biasa. Baby bunny-ku bisa merasakan keadaanku yang tak beres, seperti telepati saja." Dia tertawa—setengah tak percaya.

Aku mulai menekuk wajah, "Ya sudah jika tak percaya!"

"Marah?"

Aku menggeleng.

"Kelinciku mulai marah. Aigoo, bagaimana ini? Haruskah aku membujuknya dengan kata-kata manis?" Godanya, aku diam.

"Kookie... Kookie kelinci kesayangan Mia. Jangan marah, Sayang. Kelinci manis harus selalu tersenyum, bukannya cemberut seperti ini. Kau mau berubah jadi kelinci jelek dengan wajah keriput karena terus-terusan cemberut, huh?" Tanyanya dengan raut wajah... Antara mengejek dan polos.

Tanpa sadar aku tertawa, "Kau memuji ya memuji saja, jangan dicampur dengan bullyan."

"Yang membullymu siapa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kelinci manis jika terus-terusan cemberut akan berubah jadi kelinci jelek." Dia menjulurkan lidah.

"Jadi, aku ini kelinci jelek atau kelinci manis?" Tanyaku sambil mengerjabkan mata.

Dia memandangku lekat, "Kau itu tengah-tengah, kadang manis kadang jelek. Walau kebanyakan jelek daripada manisnya." Dia mengangguk-angguk tak bersalah.

"Intinya, aku ini jelek, begitu? Lalu, kenapa kau suka kelinci jelek ini?"

"Karena kelinci jelek itu harus dirawat dengan baik agar bisa jadi kelinci yang manis. Tapi merawat bayi kelinci yang sangat besar sepertimu sangat merepotkan."

"Ya sudah, jangan rawat lagi."

"Tapi aku mau merawatnya, bagaimana?"

"Plin-plan."

"Tapi kau sayang dengan orang plin-plan ini, kan?"

"Tidak. Aku tak sayang dengannya."

"Benarkah?"

"Iya, aku benar-benar tak menyayanginya. Tapi aku mencintainya, sangat-sangat mencintainya." Aku tersenyum manis sambil mengacak rambutnya pelan.

"Memangnya cinta dan sayang apa bedanya?"

"Bukannya kau sendiri yang mengatakan, jika sayang belum tentu cinta. Tapi jika cinta, sudah pasti sayang."

"Memangnya aku pernah mengatakan hal seperti itu?"

"Kau amnesia atau bagaimana?" Aku menatapnya—sedikit gemas dengannya.

"Bukan amnesia, tapi otakku sudah terlalu penuh dengan Jeon Jungkook, Jeon Jungkook, Jeon Jungkook, Jeon Jungkook dan Jeon Jungkook! Jadi hal lainnya seperti menghilang dan tertimbun karena seorang Jeon Jungkook." Dia menjawab dengan raut wajah polos, benar-benar menggemaskan.

Aku kembali mencubit pipinya, "Tidak salah kata Jimin, kau memang bisa mengatur kata-kata untuk membuat pipi orang lain bersemu."

Dia menepuk-nepuk pipinya yang kucubit, "Tapi pipimu tak merah." Gumamnya sambil memandangku lekat.

"Memangnya aku sepertimu? Semua perasaan bisa dilihat dengan mudah dari ekspresi wajah." Gantian aku yang mengejeknya.

Dia mencibir, "Kookie menyebalkan!"

"Lebih menyebalkan dirimu yang selalu membuatku khawatir."

"Maaf, aku tak berniat membuatmu khawatir." Nada suaranya melemah, membuat perasaanku menjadi tak enak.

Segera aku kembali menariknya ke dalam pelukanku, "Jangan sedih, aku tak bermaksud menyalahkanmu. Aku terlalu takut karena kau terus sakit belakangan ini." Ucapku.

"Aku juga tak ingin sakit dan membuat orang lain khawatir." Gumamnya.

Aku mencium rambutnya, "Kalau begitu, jangan sakit lagi. Tetap kuat dan ceria seperti biasa agar orang lain tak khawatir, oke?"

"Jika bisa, aku juga ingin seperti itu, Jung."

"Dan kau pasti bisa, Mia."

"I'll try."

Aku tersenyum, "Aku percaya kau bisa, Min Areum." Kucium pipinya dengan sayang.

Dia tak menjawab, tersenyum dalam diam dan mengeratkan pelukannya terhadapku. Kuhela nafas panjang, aku sadar, aku menyayanginya. Sangat-sangat menyayanginya. Namun seberapa besar rasa sayangku terhadapnya, cukup aku dan Tuhan yang mengetahui.

-FIN-

[Jungkook x Mia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang