Why?

6.7K 610 18
                                    

Sabtu pagi, tanggal 28 September.

"Nanti sore aku ke Jepang, mungkin beberapa hari. Mau kubawakan oleh-oleh apa saat pulang nanti?"

Jungkook bertanya dengan ceria pada wanita yang duduk di kursi rias. Tampak tenang, tapi nyatanya tidak. Ada kecamuk tersendiri di kepala yang mendadak berdenyut sakit. Tapi lain hal dengan Jungkook, dia hanya sibuk memilah pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Harus, ya?" Mia bertanya, datar. Gerakan menyisirnya melambat.

"Mm, harus. Jarang-jarang kami mendapat kesempatan seperti ini."

"Oh ...."

"Kau mau oleh-oleh apa?" Jungkook menoleh ke belakang, menatap wajah istrinya melalui pantulan cermin.

"Apa saja, yang lucu."

"Oke. Ada lagi?"

"Tidak. Tapi aku harus berangkat sekarang."

"Hati-hati. Jangan sampai kelelahan."

Mia hanya tersenyum miris. Kecupan sayang dari Jungkook tak terlalu berarti. Ada perasaan lain yang lebih menyebalkan, membuatnya bergegas mengambil tas dan keluar dari kamar yang jadi saksi beragam situasi yang dihadapinya bersama suami. Hari ini jadwal kuliahnya padat, dari jam delapan pagi sampai sore.


***


26 jam kemudian.

Jungkook bergerak gelisah di tempatnya membaringkan diri. Kasur yang empuk tak lagi nyaman karena beban pikiran. Dua puluh enam jam, selama itu Mia tidak bisa dihubungi. Entah ponsel wanita itu dimatikan atau diatur dalam mode pesawat, Jungkook tidak tahu. Tiga jam yang lalu Mia sempat mengaktifkan sosial medianya, tapi tidak lama. Wanita itu kembali memutuskan semua hal yang bisa membuat mereka berkomunikasi, beberapa detik setelah Jungkook memiliki niat untuk menghubungi.

"Harus, ya?"

"Mm, harus. Jarang-jarang kami mendapat kesempatan seperti ini."

Jungkook tercenung mengingat percakapannya dengan Mia semalam. Ada yang ganjil. Tapi apa?

Satu dering pemberitahuan dari sosial media memecah suasana. Tanpa semangat, pria Jeon itu mengambil benda pintar keluaran terbaru miliknya. Ada pesan dari Jimin, bertanya tentang apa yang ingin dimakan oleh mereka siang ini—Hyung-nya itu memang sedang berjalan-jalan. Dan baru saja ingin membalas, satu panggilan lebih dulu mengubah suasana. Dari Mia, membuat Jungkook tak perlu berpikir dua kali untuk menjawab.

"Areum ...."

"Hmm? Miss me?"

Tawa yang khas mengalun melalui ponsel. Jungkook mengembuskan napas lega; gundahnya sedikit terobati. "Kau ke mana saja? Aku khawatir, tahu." Dia bertanya, lembut tapi menuntut.

"Maaf sudah membuatmu khawatir. Tapi aku baik-baik saja."

"Lalu, kenapa tidak bisa dihubungi?"

"Aku keasyikan bermain game. Maaf."

Mia terkekeh pelan, tampaknya benar-benar merasa bersalah atas apa yang dilakukannya sejak kemarin. Tapi tidak untuk Jungkook. Pria itu justru meneguk ludah, gundah di hatinya kembali muncul saat teringat satu kemungkinan yang mengacau perasaan.

"Mi ... aku salah, ya?" Dia bertanya dengan gugup.

"Salah? Salah apa?"

"Tidak ... hanya saja aku merasa seperti sedang melakukan kesalahan—tapi aku tidak tahu apa."

"Jung ...."

"Kau tidak seceria biasanya. Tawamu hambar. Sudah pasti aku melakukan kesalahan yang membuatmu sampai mematikan sambungan komunikasi." Jungkook tertunduk sambil menggigit bibir. Dadanya sesak tanpa diminta. Menyakitkan.

"Sudah kubilang aku keasyikan bermain game."

"Begitu asyiknya sampai lupa dengan suami yang memerlukan kabar dari istri?"

Hening beberapa saat, hingga Jungkook merasa bersalah sendiri dengan kata-katanya yang jelas memojokkan Mia. Diacaknya rambut yang tak disisir , membuatnya semakin berantakan. Dia harus meminta maaf. Ya, harus.

"Mi—"

"Jung—"

Mereka bicara hampir bersamaan. Jungkook menelan ludah, memersilahkan Mia untuk bicara duluan.

"Aku minta maaf karena terlalu asyik bermain sampai melupakan suamiku. Aku juga minta maaf karena tidak memberi kabar. Aku ... aku hanya tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan diri." Mia tersendat di akhir kata.

"Mia ... kenapa kau harus menenangkan diri, hmm?" Jungkook bertanya, sedikit merasa perih karena suara istrinya yang seperti menahan tangis.

"Aku ... tidak tahu."

"Mia ... Aku salah apa?" Pria Jeon itu benar-benar sakit dengan jawaban tak jujur istrinya. "Beritahu aku," mohonnya lemah.

"Kau tidak salah, Jung. Berhentilah bertanya."

"Kalau aku tidak salah, kenapa kau sampai menenangkan diri?"

"Itu karena—"

"Jujur denganku. Kumohon ...." Jungkook tidak punya kata-kata lain. Dia lemah jika terus seperti ini, tidak sanggup memikirkan hal lain. Mia adalah hal paling rumit dibanding rumus Matematika. Memahami apa yang di hatinya lebih sulit daripada memenangkan game level atas.

Hening kembali berkuasa, tapi Jungkook berusaha sabar dalam menunggu—meski dalam hati, dia benar-benar gelisah tak tertolong. Ada rasa sakit jika dia memikirkan seluruh kemungkinan yang kira-kira menyebabkan Mia seperti ini.

"Mia ...."

"Kenapa kau harus pergi di weekend seperti ini? Padahal aku sudah berharap weekend ini bisa bersamamu." Mia tersendat, sepertinya berusaha keras menahan tangis.

"Weekend selanjutnya 'kan ada, kita bisa—"

"Minggu depan aku mulai sibuk dengan persentase dan UTS, belum lagi persiapan praktek mengajar dan ulang tahun Miki. Aku tidak bisa bersantai seperti sekarang."

"Mia ...."

"Aku sudah pernah bilang kesibukanku, 'kan? Tapi kenapa kau lupakan??" Suara Mia bergetar saat bicara; tak bisa lagi menutupi perasaan sakit yang menggerogoti perasaan sejak hari ia ditinggalkan. "Aku berharap bersamamu, bukannya ditinggal," ucapnya getir.

"Kenapa tidak katakan dari awal kalau kau tidak ingin aku pergi?" Jungkook memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Bagaimana mungkin aku bisa mengatakannya jika kau terlihat sangat bahagia bisa liburan. Kau—"

"Seharusnya katakan saja, jadi tidak perlu membuatku merasa begitu bersalah."

Mia tak menjawab, hanya diam tanpa sepatah kata terucap. Meski nada suara Jungkook adalah pelan, tapi bisa dinilai bahwa pria itu sedikit kesal karena tingkah istrinya yang manja. "Kalau kau seperti ini, aku tidak bisa memelukmu karena jarak." Dia beralasan, berusaha agar wanitanya tak terlalu sakit.

"Aku mengerti,"—Mia bersuara—"maaf, karena selalu membuatmu kesulitan jika sudah berjauhan. Lupakan saja tentang ucapanku barusan dan nikmati liburanmu di sana."

"Mia, bagaimana mungkin aku bisa me—"

"Maaf, tapi aku harus mengerjakan tugas kuliahku."

"Mia—"

"Annyeong."

Nada sambungan yang terputus terdengar jelas di telinga Jungkook. Pria Jeon itu berdecak, ponsel mahalnya dilempar secara asal ke nakas samping tempat tidur. Jika sudah begini, bisa dipastikan Mia merajuk dan jangan berharap akan mendapat hal manis dalam beberapa hari ke depan. Ya Tuhan ... kenapa Mia serumit ini?


-FIN-


**Up jam 2 subuh :'D Jangan lupa tinggalkan jejak pokoknya mah :*

[Jungkook x Mia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang