Anxiety Warning! - 2

11K 2.5K 736
                                    

"Dia cantik."

Gerakan tangan Yohan yang tadinya memotong kue terhenti saat mendengar perkataan mamanya. Ia lantas menoleh ke samping, menatap mamanya yang sibuk mengaduk kopi dan teh di sampingnya tanpa menatap ke arahnya. Ia membuka bibirnya sebentar, hendak membalas perkataan mamanya, tapi kemudian ia memilih mengatupkannya kembali bungkam sambil melanjutkan kegiatannya memotong kue.

"Dia seumuran sama kamu, Han. Kamu dokter muda, dia juga dokter muda. Selain cantik, dia juga sopan lho. Kari ayam di atas meja sana itu masakan dia. Mama harap kamu bisa akrab sama dia, Han."

Gerakan tangan Yohan kembali terhenti. Ia menatap mamanya, dan secara kebetulan mamanya juga membalas tatapannya. "Mama kenal dia dari mana?" tanyanya.

"Dia tetangga kita, baru aja pindah di samping rumah kita. Mama tadi pagi ketemu mama dia, tapi sekarang mamanya lagi ada kerjaan, jadi dia ke sini cuma sama papanya. Dia cantik ya?"

Yohan mengangguk tipis. Memang harus dia akui kalau gadis yang sedang duduk bercengkrama bersama ayahnya di ruang tamu sana memang cantik. Semua orang akan mengatakan kalau gadis itu memiliki paras yang cantik dengan wajah mungil dan rambut panjangnya. Meski ia tidak tertarik secara mendalam pada gadis itu, Yohan harus mengakui kalau gadis itu memang cantik.

Mamanya menyentuh bahunya perlahan, mengusapnya selama beberapa detik. "Mama akan seneng kalo suatu hari nanti punya menantu secantik dia. Wajahnya cantik, pengetahuannya luas, bicaranya sopan, orangnya ramah. Kamu tau, Han, saat mama lihat dia, mama ingat kamu. Dia cocok sama kamu."

Kemudian mamanya berlalu lebih dulu sambil membawa kopi dan teh di atas nampan, sementara Yohan masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak ingin menyalahkan orang tuanya yang selalu berharap bahwa ia seperti kebanyakan lelaki, yang akan melaju kencang saat dipertemukan dengan seorang gadis berparas rupawan seperti putri negeri dongeng, apalagi jika sampai sudah mendapat restu, tapi dirinya tidak. Alih-alih mengejar, ia justru ingin melarikan diri.

Yohan menggeleng beberapa kali dan membawa kue di dalam kotak ke ruang tamu, mengekor langkah di belakang mamanya sambil berusaha mengusir pemikiran-pemikiran gila yang mungkin saja hanya terjadi dalam rasa cemasnya, tapi belum tentu akan benar-benar terjadi.

"Oh, ini Yohan."

Yohan tersenyum dan meletakkan kotak kue di samping nampan kopi dan teh, kemudian duduk di samping ayahnya.

"Belakangan dia sibuk di rumah sakit, jadi kurang bisa pulang ke rumah. Untungnya walaupun nggak diawasi terlalu ketat, dia bisa mandiri," Mamanya mulai bercerita pada ayah si gadis yang duduk di samping ayahnya.

Gadis di depannya tersenyum ke arahnya, kemudian mengulurkan tangan untuk berkenalan dengannya. Sementara ayahnya menyikutnya untuk segera menyambut uluran tangan gadis itu, ia justru hanya diam sambil memandangi gadis itu. Kembali tertegun untuk kesekian kalinya.

"Wang Yireon."

"Kim Yohan."

Yohan tahu jika Yuvin tidak pernah membatasinya bergaul dengan siapapun atau sedekat apapun dengan teman-temannya, tapi tidak dalam ranah kepemilikan. Dengan siapapun ia dekat dan berteman, Yuvin sudah menangguhkan bahwa kepemilikan atas dirinya adalah hak sepenuhnya Yuvin. Siapapun yang mendekatinya dalam ranah kepemilikan, maka Yuvinnya tidak akan pernah tinggal diam dan akan terus mengingatkannya bahwa ia hanya memiliki seorang pemilik mutlak, baik atas perasaan atau bahkan tubuhnya.

Dan Wang Yireon, meski tidak bermain dalam ranah kepemilikan dengan dirinya, kedua orang tuanyalah yang memainkan Yireon dalam ranah kepemilikan. Entah apa yang mungkin orang tuanya pikirkan tentang dirinya dan Yireon, Yohan merasa bahwa jika Yuvin mengetahui hal ini, segala hal yang buruk tentang hubungan mereka pasti akan terjadi.

COASS COOPERATE 3.0 [Sequel of CC 2.0]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang