To My Parents

12.4K 2.4K 453
                                    

"Jadi dokter yang waktu itu bilang dia residen bedah, dia juga pacarmu?"

Yohan mengangkat pandangannya dan menatap sang mama perlahan. Ia tidak langsung mengangangguk dan memberi jawaban terkait status Yuvin dengannya, ia lebih memilih menatap mamanya yang berdiri beberapa langkah di depannya dengan raut wajah kecewa.

Mamanya menggeleng beberapa kali, menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. "Yohan, jawab. Dia benar pacar kamu?"

Yohan tetap tidak berani menjawab. Jika ia melakukan sesuatu yang benar dan disalahkan, ia akan bicara. Sekeras yang ia ingin katakan. Tapi kali ini ia sadar benar bahwa ia telah melangkah jauh melakukan sesuatu yang salah dan raut wajah kecewa orang tuanya, ia tidak bisa menyembunyikan bahwa ia tak senang melihatnya.

"Kamu anak kami satu-satunya. Harapan satu-satunya dalam keluarga. Kami berharap kalo kamu akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan begini," Mamanya berujar. Suaranya terdengar amat kecewa sambil diiringi beberapa kali helaan napas berat.

Yohan mengcengkram erat seprai tempat tidurnya dan kembali menunduk. Ia tidak berani menatap mamanya. Sejak kecil, ketika ia tertangkap basah melakukan kesalahan di hadapan orang tuanya, ia tidak akan pernah berani mengangkat kepala dengan tatapan menantang dan menjawab perkataan orang tuanya. Ia lebih memilih menunduk dalam dan diam, sebagai bukti bahwa ia pun merasa menyesal untuk kesalahan yang telah dilakukannya.

Ia mencoba mengangkat sedikit kepala dan pandangannya, mencoba membaca kembali raut wajah mamanya. Namun tak berlangsung lama, ia kembali menunduk. Raut kecewa masih begitu kentara di wajah ibunya.

"Kamu dibesarkan penuh kasih sayang, bahkan kamu dididik dengan baik. Mama dulu ngajarin kamu banyak hal, termasuk papamu. Kami merencanakan banyak hal buat kamu, supaya hidupmu lebih baik. Kami berharap kamu menjadi orang baik dan tumbuh sebagaimana yang kami inginkan."

Yohan menunduk semakin dalam. Ada rasa nyeri yang menyelinap ke dalam hatinya saat mendengar penuturan mamanya. Lebih daripada amarah yang menggebu berujung sebuah bentakan keras dan tamparan, kini mamanya lebih mengungkapkan kekecewaan yang begitu mendalam.

"Saat kamu bilang kamu ingin masuk Kedokteran, kami mengusahakan banyak hal biar kamu berhasil masuk ke Kedokteran. Kamu sendiri pun udah berusaha dengan baik, belajar dan berusaha keras. Kami yakin kalo kamu akan mendapat hidup yang lebih baik dengan bekal pendidikanmu. Kami berharap nantinya setelah kamu bekerja, kamu akan menikah dan punya seorang anak."

Tapi dirinya malah melampaui batas salah yang seharusnya ia jauhi. Bukannya menjauh, ia justru melangkah mendekat dan melampaui batasan seakan ia melupakan orang tuanya.

"Nggak pernah ada orang tua yang rela melihat anak semata wayangnya menyimpang, termasuk mama sama papa, Han. Saat kamu masih SMP, sewaktu kami tau kalo kamu satu-satunya di antara teman-temanmu yang nggak punya pacar, kami mengira kamu hanya mau fokus belajar dulu karena kamu pengen jadi dokter. Saat kamu bilang kamu nggak tertarik sama perempuan, kami berpikir kalo itu semua karena usiamu masih terlalu kecil buat tertarik sama lawan jenis. Tapi bukan begini yang kami mau, Yohan."

Yohan mengangkat pandangannya, berusaha menatap mamanya yang terus menatapnya penuh kekecewaan. "Ma, maaf..." lirihnya.

Mamanya membuang pandangan. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Mama kecewa sama kamu, Han. Kamu yang mama harapkan, kamu yang mama banggakan, kamu juga yang ngecewain mama."

Yohan tidak bergerak sama sekali saat mamanya akhirnya melangkah meninggalkannya di dalam kamar. Ia hanya diam dan menunduk menatap kedua kakinya. Dadanya masih terasa berdenyut nyeri saat satu persatu perkataan mamanya kembali terdengar dan terputar dalam ingatannya.

COASS COOPERATE 3.0 [Sequel of CC 2.0]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang