Marimong, Give A Little Help

12.1K 2.1K 218
                                    

Eunsang berdiri di depan pintu kamar papanya malam itu sambil beberapa menggigiti bibirnya. Ia sudah memikirkan hal ini beberapa kali sejak percakapan terakhirnya dengan Midam dan kembali mempertimbangkannya  sampai akhirnya keputusannya sudah sampai pada finalnya, dan membawanya berada di depan pintu kamar papanya.

Ia menarik napas panjang perlahan dan mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu kamar papanya. Tapi tidak sampai menimpulkan ketukan, tangan Eunsang justru terhenti ke udara. Ia menggenggam tangannya dan kembali mengurungkan niatnya.

Papa bakalan bereaksi gimana ya? pikirnya.

Ia menatap ke sekelilingnya. Lengang, kakaknya masih berada di rumah sakit, sedangkan ia tidak mendapat giliran jaga untuk malam ini. Sedangkan papanya pasti sudah persiapan istirahat setelah makan malam. Sebenarnya papanya bukan termasuk orang yang senang diganggu sewaktu jam istirahat, tapi Eunsang rasa bicara pada papanya saat makan malam bukan opsi yang tepat.

Tangannya kembali terangkat ke daun pintu. Sambil memejamkan mata dan menahan napasnya, ia mengetuk pintu kamar papanya perlahan. "Papa masih belum tidur? Kalo belum, Eunsang pengen ngomong sesuatu sama papa," katanya lirih.

Hening beberapa saat. Eunsang sudah berhenti mengetuk. Rasanya ia ingin kembali ke kamar saja, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, dan berhenti menganggu papanya.

"Masuk aja, Nak. Papa belum tidur kok."

Eunsang mengembuskan napas lega. Ia segera membuka pintu kamar papanya dan melihat papanya duduk bersandar di tempat tidur menggunakan sebuah kacamata bulan separo sambil memangku sebuah buku di atas pahanya. Walaupun sedang sakit, papanya selalu menyempatkan membaca sebuah buku sebelum tidur, entah buku bacaan tentang spesialisasi ilmunya saat menjadi dokter, buku bacaan lain, atau bahkan melihat album foto lama.

Perlahan Eunsang naik ke tempat tidur dan duduk di samping papanya. Ia memeluk papanya erat dan membiarkan kepalanya bersandar di bahu ringkih papanya.

Sang papa hanya tersenyum melihat bagaimana tingkat laku putra bungsunya. Ia lantas menutup bukunya dan beralih mengusap penuh sayang puncak kepala Eunsang di bahunya. "Kenapa, Nak? Kamu ada masalah hm? Mau cerita sama papa?" tanyanya dengan suara serak.

Eunsang mengangguk samar. "Papa kenapa nggak pernah cerita sama Eunsang kalo kak Midam selama ini yang biayain profesi Eunsang?" tanyanya sambil mendongak menatap papanya.

Tangan besar namun keriput papanya masih mengusapi puncak kepalanya, sambil sesekali mengecup helaian rambut halus Eunsang. "Kakakmu bilang dia nggak mau kamu kepikiran, Nak. Dia mau kamu fokus sama program profesimu, jadi papa diam," jawabnya.

"Tapi kasihan kakak. Dia juga lagi masa PPDS. Kapan dia sempat istirahat kalo terus gini?" Eunsang melonggarkan pelukannya di tubuh sang papa dan menatap papanya lembut. "Pa, Eunsang boleh ya ambil pekerjaan freelance buat bantuin kak Midam?"

Papanya menoleh, terlihat kaget dengan perkataan putra bungsunya. "Nak, nggak usah. Uang tabungan almarhumah mamamu udah cukup kok buat membantu. Kamu nggak usah ambil kerjaan freelance."

Eunsang menggeleng. "Eunsang pengen bantuin kakak, pa. Selama ini Eunsang udah banyak nyusahin kakak, jadi seenggaknya Eunsang mau sedikit bantuin kakak. Kalo Eunsang nggak bisa bantu banyak, paling nggak Eunsang bantuin bayar tagihan listrik sama air. Biar beban kakak jauh lebih ringan."

"Kakakmu nggak akan setuju ini, Nak. Kalo dia tau, dia juga nggak akan ngasih kamu izin buat ambil pekerjaan freelance," Papanya berkata sekali lagi.

Eunsang menundukkan kepalanya. "Kalo kakak bisa, Eunsang juga pasti bisa. Eunsang pengen bantuin kakak, paling nggak bantu ngeringanin beban kakak. Selama ini kakak udah berbuat banyak buat keluarga, jadi Eunsang juga mau berbuat banyak buat keluarga. Nggak selamanya hidup Eunsang harus ditopang kakak, sedangkan kakak sendiri juga banyak tanggungannya."

COASS COOPERATE 3.0 [Sequel of CC 2.0]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang