For Everything That Happened, I'm Sorry

12.6K 2.4K 556
                                    

Midam menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, kemudian mengulanginya hingga beberapa kali. Terus menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Bahkan ia tampak melakukannya dengan sangat serius meskipun hanya sekedar menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia dengar bahwa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan dapat membantu mengurangi kecemasan dan kegelisahan, jadi ia mencobanya berulang kali.

Hingga pada tarikan napas panjang untuk yang kesekian kalinya, ia mulai mengembuskannya lebih berat. Kecemasan bercampur kegelisahan itu tidak kunjung menghilang dari dalam dadanya, justru semakin menjadi dan malah membuatnya menggigil.

Malam ini tidak turun hujan seperti biasanya, tapi angin yang berhembus tetaplah membuatnya menggigil kedinginan di atas ketinggian. Terlebih lagi ia sedang sendirian, tak ada siapapun di dekatnya yang mampu membuatnya melupakan sejenak rasa dingin. Dan ia juga sedang menunggu seseorang, meski tidak kunjung datang.

Ia tidak ingat, kapan terakhir kali ia segelisah ini hanya karena akan bertemu seseorang. Beberapa jam sejak ia memutuskan bahwa mereka harus bertemu, ia sudah merasakan kegelisahan mulai naik ke dadanya, menggerogoti akal sehatnya dan membuat jantungnya berdetak lebih cepat tentang apa yang tengah dibayangkannya, juga tentang apa yang diekspektasikannya. Meski sesungguhnya ia harus cukup sadar diri bahwa ekspektasi tinggi tidak akan pernah berguna apapun.

Untuk belasan kalinya, ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia melirih arlojinya. Sudah sekitar 15 menit dari jam yang ditentukan. Ia tidak bisa menuntut mengapa keterlambatan ini terjadi. Pasti ada sesuatu yang bisa didengarkannya sebagai bentuk penjelasan. Meskipun harus menunggu, setidaknya menunggu membuat waktu lebih terulur dan ia memiliki sedikit waktu untuk mengatur segalanya.

Hingga pada beberapa ketukan langkah kaki di belakangnya, ia merasa bahwa semua yang telah dipersiapkannya sepanjang uluran garis waktu menghilang. Tanpa sadar, ia malah mengcengkram erat pagar pembatas di depannya. Seluruh tubuhnya menegang.

Seseorang berdeham tepat beberapa langkah di belakangnya. "Maaf telat. Tadi jalanannya macet. Udah lama nunggunya di sana?"

Midam berbalik. Ia harus mengakui bahwa lelaki di depannya selalu tampak mengagumkan di matanya, meski nyatanya hanya muncul menggunakan celana jeans panjang berwarna hitam, sebuah kaos berwarna putih, dan sebuah jaket berwarna merah.

"Cha Junho," katanya dengan suara datar, berusaha sedatar mungkin hingga tidak memperdengarkan ekspresi apapun pada suaranya. "Terlambat bukan ciri khas dokter," lanjutnya.

Secara sederhana, Junho tersenyum mendengarnya. Sebuah perkataan sederhana yang entah dari mana sisi menariknya, malah membuatnya tersenyum. "Maaf, dok. Saya benar-benar terjebak macet. Banyak anak remaja lagi hang out, jadi jalanan lebih ramai daripada biasanya," katanya membalas.

Midam memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaketnya. Matanya masih lekat menatap Junho, tidak pernah lepas. "Gimana stase Anak kamu?" tanyanya, mencoba topik paling ringan yang bisa dilakukan seorang residen pada koass yang pernah dibimbingnya.

"Lumayan. Nggak begitu bagus, sebagian besar waktu malah penuh emosi." Junho berjalan mendekat ke arah Midam, berdiri tepat di samping Midam, kemudian menumpukan kedua tangannya pada pagar pembatas.

Midam menoleh. Mau tidak mau, ia berbalik badan dan kembali membuatnya dalam posisi seperti semula. "Tinggal beberapa stase minor lagi, setelah itu selesai. Persiapan UKMPPD dan... selamat datang."

Junho menoleh menatap Midam dan tertawa pelan. Sedang Junho sibuk menertawainya, Midam justru tidak mengerti bagian lucu mana yang ada dalam perkataannya. "Dengan catatan, kalo semuanya berjalan lancar. Terkadang apa yang direncakan, nggak selalu berjalan mulus, dok. Selalu ada kendala, yang sialnya menghambat segalanya."

COASS COOPERATE 3.0 [Sequel of CC 2.0]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang