4. Tak Disangka

324 18 3
                                    

Kedua tangannya diangkat dengan sebelah sisi yang disatukan dengan sisi lainnya, Nadhira berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Tidak henti-hentinya ia berdoa di malam itu sambil berzikir, mengagungkan Sang Pencipta.

Di malam yang terasa tenang, perempuan itu berdoa dengan mata yang mengalirkan air sebening kristal.

Selepasnya, ia mengusapkan kedua tangannya yang tertutup mukena putih ke permukaan wajahnya sambil berucap, "Aamiin, Ya Robbal Alaamiin." Kemudian, ia melepas mukenanya dan melipatnya dengan rapi.

Nadhira merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ditatapnya langit-langit kamarnya dengan sendu. Matanya terasa berat, namun ia belum ingin memejamkannya. Lebih memilih untuk tetap terjaga di sepertiga malam ini.

Tapi, mengingat bahwa satu jam lebih lagi dia harus kembali bangun untuk sahur, perempuan ini memilih untuk tidur dahulu. Daripada mengantuk di jam sahur nantinya.

Setelah membaca doa tidur, Nadhira memejamkan matanya. Dan akhirnya, ia terlelap.

×××

Sebelum subuh, Nadhira sudah terbangun. Sekitar pukul empat pagi kurang sepuluh menit. Bergegas, perempuan itu menyiapkan makanan sahur untuk dirinya dan satu anaknya. Nadhira tidak tinggal sendiri. Ada anaknya, yang satu masih berusia tiga tahun. Tapi, Nadhira memutuskan untuk tidak membangunkannya. Masih terlalu kecil untuk ikut sahur. Mungkin ketika anaknya sudah berusia lima atau enam tahun, barulah ia mengajarinya untuk ikut berpuasa. Sementara anak yang satunya lagi, sudah berusia tujuh tahun. Sebentar lagi akan masuk Sekolah Dasar. Dengan wajah terkantuk-kantuk, ia ikut duduk di lantai, di hadapan piring dengan nasi dan lauk-pauk di atasnya.

Soal suaminya, jodohnya itu sudah tiada. Meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan. Padahal beberapa saat sebelumnya, suaminya itu sedang asyik menggoda Nadhira. Memang, ya, tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput.

Begitu selesai, Nadhira langsung memakan makanannya dengan lahap. Tentu saja ia sudah berdoa lebih dahulu. Baru beberapa suapan masuk ke dalam tubuhnya, dering ponselnya membuat perempuan itu harus menghentikan kegiatan sahurnya sejenak.

Buru-buru Nadhira menghampiri ponselnya karena nada dering kali ini berbeda. Spesial, sengaja dibuatnya begitu. Agar dirinya tidak menunda-nunda untuk menjawab panggilan tersebut.

"Assalamualaikum, Ra."

Nadhira tersenyum mendengarnya. "Waalaikumussalam, Ma. Sudah sahur?"

"Ini lagi sahur," jawab Mama, "Kamu udah sahur, Nak?"

"Iya, ini Nadhira juga lagi sahur," jawab Nadhira. "Oya, ada apa, Ma? Tumbenan nelpon pas jam sahur. Rindu, yaa?"

Terdengar tawa renyah dari seberang telepon, membuat hati Nadhira menghangat begitu mendengarnya. Ingin sekali ia ikut bergabung di sana dengan Mama dan keluarganya yang lain. Tapi apa daya, kondisi sangat tidak mendukung.

"Ya iyalah. Semua yang di sini rindu sama kamu, Ra." Jawaban Mamanya membuat perasaan Nadhira campur aduk. Bahagia karena dirindukan dan sedih karena belum dapat bertemu. Padahal, lebaran tinggal dua hari lagi.

"Nadhira juga rindu sama semua yang di sana. Pakai bangeeet," balas Nadhira dengan memanjangkan kata banget-nya.

Kemudian, diam sejenak di seberang sana. Nadhira tebak, pasti karena memikirkan dirinya yang tidak bisa pulang kampung kali ini. Ia kecewa pada dirinya sendiri yang menyia-nyiakan momen setahun sekali ini.

"Kamu beneran gak pulang, Ra?" Akhirnya, pertanyaan itu muncul.

Nadhira tersenyum sendu, meski tahu bahwa Mama tidak melihatnya. "Maaf, Ma. Nadhira pengeeeen banget padahal. Cuma, yaah, biaya. Tiket tahun ini mahal banget. Apalagi Khalil udah mau daftar sekolah, butuh biaya juga. Nadhira minta maaf, Ma."

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang