15. The Freedom I Wanted

137 7 0
                                    

"Pokoknya kamu nggak boleh keluar!" seru ayahku sebelum dia mengurungku di kamar ini. Aku pun ikut mengunci pintu dari dalam.

Masih bersyukur aku tidak dikurung di ruang bawah tanah, tapi tetap saja tidak adil. Di saat anak-anak seusiaku bersenang-senang di luar sana, aku malah terkurung di rumah yang bagaikan penjara ini. Padahal aku tidak melakukan hal yang salah.

Begitu aku pulang ke rumah di hari musim panas bermula, rumah berubah menjadi penjara bagiku. Penjara musim panas. Aku ingin bebas. Aku memiliki hak untuk menikmati musim panas ini!

Sudah berkali-kali aku mencoba kabur melalui pintu depan juga belakang, tapi hasilnya nihil. Ya, aku memang bodoh. Mana ada yang kabur melewati jalur itu.

Malam ini aku akan pergi menuju kebebasan. Aku akan keluar dari penjara musim panas ini.

Aku pun segera mengemas barang-barang dalam diam sebagai persiapan untuk pergi ke luar sana. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pasang pakaian, makanan ringan, uang tabunganku, juga ponsel dan powerbank.

Sekarang tinggal menunggu hingga waktu menunjukkan tepat tengah malam.

***

Semuanya telah terlelap dan jarum jam berada tepat pada angka dua belas. Waktunya untuk pergi.

Aku membuka jendela dengan perlahan lalu melemparkan tali tambang yang salah satu ujungnya telah kuikat pada kaki lemari pakaian.

Jantungku berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya begitu aku mengintip ke luar jendela. Bukannya aku takut ketinggian, melainkan aku sangat senang dan tak sabar.

Aku turun ke bawah dengan aman, tanpa membuat suara. Jalanan di depan rumah sangat sepi, biasanya ada sekitar satu atau dua motor yang lewat di jam ini.

Ah, itu tidak penting. Aku berlari secepat mungkin tanpa mengeluarkan suara yang berlebihan, menjauhi penjara terkutuk itu. Sejak musim panas dimulai, kata 'rumah' menghilang dari kamusku. Yang ada sekarang hanyalah kata 'penjara'.

Setelah jauh dari penjara, aku berhenti sejenak untuk mengisi tenaga kembali. Aku berada di pinggiran kota yang sunyi, ditemani lampu jalan yang sesekali meredup juga suara hewan-hewan malam yang bagaikan musik.

"Apa ada orang lain yang kabur dari rumah kayak aku?" kataku untuk diriku sendiri.

Mungkin kalau ada orang yang lewat, mereka akan mengira aku ini anak laki-laki yang sedang galau merana, haha. Tapi mana mungkin ada orang yang galau sambil senyum bahagia. Kalau ada berarti dia sudah gila.

Untuk sesaat aku merasa bahagia karena telah bebas dari penjara itu. Tapi, kenyataan pahit dunia ini seperti menamparku agar sadar dari hayalan yang berupa kebahagiaan tersebut.

Ketika aku hendak berdiri untuk melanjutkan perjalanan, ada sinar terang yang mengarah padaku disertai bunyi klakson yang begitu nyaring. Sepertinya ada supir truk yang sudah mengantuk atau mungkin sedang mabuk beserta truk olengnya yang melaju ke arahku.

Otakku memerintahkan untuk segera menghindar, tapi tubuhku ini tidak mau bekerjasama. Sebut saja aku ini lelaki pengecut yang bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhnya di situasi genting seperti ini.

Pada akhirnya, aku tidak bisa beranjak dari posisiku sama sekali walau dalam hati aku terus menjerit.

***

Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal serta keringat dingin yang membanjiri diriku. Begitu puas mengamati sekeliling, aku memejamkan mata dan mulai menenangan diri.

Setelah agak tenang, aku menguatkan diri untuk keluar dari rumah sederhana ini hanya dengan kaus putih juga celana abu-abu pendek yang entah dari mana datangnya.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang