14. Petir dan Hujan

580 21 0
                                    

Petir bergemuruh, hujan turun tapi tak terlalu deras.

Segerombolan orang berbaju hitam semuanya ikut berkabung dalam kesedihan dengan payung di tangan mereka.

Ada yang terisak, meraung-raung, berteriak histeris sampai yang berusaha untuk tegar.

Beberapa wanita dan pria menepuk nepuk pelan pundak anak kecil yang berada di tengah tengah semua itu.

Bahkan anak itu masih terheran heran, memandangi makam yang bertuliskan nama kedua orang tuanya dengan tatapan kosong.

Entah kenapa air mata anak itu tak mengalir, tapi orang orang yang ikut datang kesana, semua menyemangatinya.

Sedangkan anak itu terdiam mendengarkan kalimat yang berbeda tapi hampir sama-yang keluar dari mulut masing masing dari mereka.

Kedua orang tua anak itu sudah pergi. Kini anak itu tak punya tempat lagi untuk bernaung. Hanya dirinya sendiri.

"Kau harus menjaganya! Dia hanya seorang anak 5 tahun, kau relasi terdekat Maria" bentak pelan seorang wanita, nadanya berusaha ia pelankan karena tak mau memancing pandangan orang orang.

Wanita yang menjadi lawan bicaranya, mengendus kesal, lalu menatap tajam perempuan itu, "Kau, apa maksudmu membawa bawa nama kakak ku dalam semua ini? Aku tak peduli, itu kan anaknya bukan urusanku."

"Lagi pula apa hubungan anak itu denganmu? Kau kan hanya teman baik kak Maria." Lagi lagi wanita itu membuka mulut, berbicara dengan datar dan ketus, tak lupa juga ia memutar bola mata nya malas.

"Aku tau, sebagai adik Maria, kau seharusnya menggantikan Maria menjaga nya!" Wanita itu memekik pelan. Membuat lawan bicaranya menyergitkan dahi.

Wanita itu memandangi batu nisan kakaknya, lalu menggeleng keras, "Merawat anak itu merepotkan"

"Arisa!" Pekik wanita yang dikenal sebagai sahabat Maria-ibu anak itu-dengan nada yang tak terkontrol lagi.

"Apa" balas datar Arisa memandanginya. Wajahnya terlihat acuh tak acuh.

Hujan juga terus mengguyur mereka. Di bawah naungan payung mereka berdua berdebat.

"Kenapa tak kau saja yang mengurusnya, kak Diana?" Ujar Arisa dengan penekanan di kalimat akhir sambil menatap tajam lawan bicara nya itu.

Diana menggeleng pelan, "ku harap aku bisa..."

Ia menarik nafas panjang lalu kembali berbicara."Temperamen suami ku sangat buruk, ia bisa saja memukul anak itu. Dan lagi kami bekerja terus, mungkin anak itu tak akan mendapatkan kasih sayang apapun."

"Heh!" Arisa memutar bola matanya malas, "emang kau tau apa aku akan memukul anak itu atau tidak? Bisa saja kan aku melakukan hal yang lebih buruk!"

Diana kembali menggeleng pelan, "Aku percaya kau tak akan melakukan hal seperti itu. Maria pasti juga berpikiran begitu."

Wanita itu menarik nafas panjang lalu memalingkan wajah, "kau harus menjaga nya" katanya dengan nada absolut. Sedangkan Arisa, hanya mengendus nafas kesal memandangi payung hitam yang sekarang ini sudah membelakanginya.

---//---

Pada akhirnya, anak itu dibawa pulang oleh Arisa. Setelah dipelototi banyak orang akhirnya ia angkat tangan dan membawa anak itu.

Meski tau Arisa hanya akan mengurusnya dengan setengah jiwa, tapi mungkin itu sudah cukup untuk anak itu.

Ia lumayan mengenal Arisa sebagai adik dari mendiang ibunya, Maria.
Anak itu juga mengerti sedikit tentang temperamen Arisa.
Meski begitu, mereka berdua tak terlalu akrab.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang