2. No Title

279 14 8
                                    

Dipikir-pikir sekali lagi, rupanya aku ini sudah kuliah. Seorang mahasiswa. Hari ini aku ada jadwal siang. Aku sengaja datang lebih dulu dari murid-murid lain karena aku belum mengerjakan tugas yang diberi Dosen tempo lalu. Mumpung ada waktu, aku kerjakan saja sekarang.
   
“Mik? Lo ngapain di sini?” terdengar suara datar dari belakangku. Aku menoleh. Ternyata teman yang mata kuliahnya sama sepertiku. Anggap saja namanya Yu. Aku lagi malas mengarang nama. “Mana orang belum pada datang.”

“Gue belum bikin PR.” balasku pendek tak bertenaga.

Yu meletakkan tasnya ke meja, menatapku sama datarnya. “Maksud gue itu, lo ngapain ke kampus? Lo gak papa jauh-jauh dari rumah sakit?”

“Gue pengen bebas dari ruangan obat-obatan itu. Siapa juga yang betah terus-terusan berada di ruang medis?” Aku menoleh, menatap Yu dengan mata lesu. “Ngomong-ngomong, lo ngapain juga ngampus hari ini? Gue dengar tadi ada panggilan darurat dari ruangan lo.”

Yu mengembuskan napas panjang. “Sama kayak lo, Mik, gue mo bebas. Gue gak mau hidup sama alat bantu terus. Gue gak mau ngerepotin bokap ama nyokap gue. Setelah selesai kuliah, gue bakal kerja gantiin cari mereka uang. Lo tenang aja soal kerja. Kalo project gue berhasil, ntar gue masukkin lo ke perusahaan gue secara gratis.”

Aku sedikit senang mendengarnya. Jika itu orang lain, dia pasti berseru histeris, loncat-loncat kegirangan. Lain cerita jika itu aku. Toh, Yu juga tidak terlihat semangat akan perkataannya. Entahlah. Sepertinya kami berdua mempunyai kepribadian yang sama—datar bak triplek.

Keheningan melanda kami. Aku sibuk melanjutkan PR-ku. Yu sibuk memandangi langit biru lewat kaca jendela dengan mata kosong. Wajahnya benar-benar pucat pasi—sama sepertiku. Kantung matanya tebal. Yu tampak tak sehat hari ini.

“Lo punya mimpi gak, Mik?” tanya Yu memecah keheningan.

Aku menjawab tanpa berhenti menulis. “Mimpi ya … entahlah. Bokap ma Nyokap gue gak peduli ma gue. Gue tinggal berdua sama kakak perempuan gue yang banting tulang nguliahin gue. Kalo lo nanya soal mimpi, gua hanya mau ‘pergi jauh’ dari kakak gue. Gue gak mau nyusahin dia melulu.”

PLOK

Yu tepuk tangan dengan wajah sayu. “Kok lo samaan sama gue sih? Gue juga mo pergi dari jauh dari keluarga gue karena gue gak mau ngerepotin mereka.”

“Wow, hebat! Kita punya mimpi yang sama.”

“Kebetulan nih, Mik. Gue punya kenalan om-om yang kaya raya. Dia pernah ketemuan ama gue pas gue pulang kuliah (pas gak bareng lo). Penampilannya aristokrat banget, Mik. Pake baju hitam-hitam gitu. Terus kepalanya ditutup pake tudung kepala. Hoodie gitu.” Yu berkata riang, berbanding terbalik dengan wajahnya yang sayu.

“Lalu?” Aku menaiki satu alis ke atas.

“Waktu itu dia mo ngenawarin gue pergi jalan-jalan jauh. Dia yang naktir. Katanya sih bukan sembarang kota. Tempatnya jauh banget, di luar kota kita. Dia juga bilang hanya orang-orang spesial yang boleh masuk ke sana.” terang Yu singkat. Suaranya parau.

“Oh ya?” Aku merasa sedikit tertarik.

“Yaps. Om itu bilang: kamu harus mengajak temanmu yang bernama Mika itu. Dia termasuk ke dalam daftar orang spesial yang Paman sebutkan tadi. Begitulah …”

Aku bergumam pelan. Daftar orang spesial apa maksudnya? Perasaan, aku B aja deh. Gak ada yang spesial dariku.

TING!

Terdengar notif pesan masuk. Yu merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. Aku sudah menyelesaikan tugasku. Tinggal menunggu Dosen datang. Tapi, eh, aku baru sadar kalau kelasku hari ini agar kumuh dan kotor. Berdebu pula. Dan garis kuning apa itu di depan kelas?

“Baru diomongin …” gumam Yu membuat lamunanku buyar. Dia menoleh kepadaku yang kebetulan tengah menatapnya. “Dia mau mengajak kita pergi hari ini, Mik. Dia udah nunggu di luar kampus. PR lo udah done, kan? Kuy kita capcus.”

“Tapi, gue belom minta izin ama kakak gue.”

“Elah, ‘kan lo punya ponsel. Lo bisa minta izin lewat via HP. Yok lah. Om itu udah nunggu di depan.”

Aku hanya pasrah diseret oleh Yu keluar dari kelas—tentu aku sudah meletakkan tugasku ke meja dosen.

***
*Selepas keluarnya Mika dan Yu dari kelas, mereka tidak menyadari kalau ruangan tempat mereka mengobrol tadi sudah ditutup. Ada garis ‘Police Line’ di sana. Juga banner ‘dilarang masuk’. Satu lagi, ‘TKP harus diamankan’. Ruangan itu sudah tidak dipakai.*

***

“Nah, itu dia.” Yu menunjuk ke depan.

Aku mengikuti arah tunjuk Yu, langsung meneguk air ludah kasar. Tak jauh di depan kami, berdiri seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan jaket hoodie yang menutupi kepalanya. Dia mengangguk pelan begitu melihat sosokku dan Yu.

Yu tanpa basa-basi menghampiri pemuda itu. “Paman sudah menunggu lama?”

Dia menggeleng.

Aku menyusul langkah Yu, menatap pemuda itu dari atas sampai bawah. Penampilannya aneh sekali.

“Ini temanku, Mika, orang yang paman sebutkan ke dalam daftar ‘spesial’ kemarin.” ucap  Yu memperkenalkan diriku. Dia hanya menatapku sebentar, lalu kembali menatap Yu.

Aku berbisik. “Dia sepertinya tidak menyukaiku.”

Yu tertawa simpul. “Mungkin.”

Entah darimana datangnya, muncul sebuah pintu besar dengan tinggi tiga-empat meter (mungkin) di depanku dan Yu. Pintunya unik sekali. Ada gambar dua tengkorak sebagai kenop-nya. Pemuda itu mengangkat tangan. Pintu itu perlahan terbuka.

“Wow! Terbuka sendiri. Apa itu pintu otomatis?” seruku datar, sedikit antusias melihat pintu ajaib itu.

“Kata paman, pintu ini menuju tempat jauh khusus untuk orang-orang seperti kita berdua, Mik. Di sana ada kota indah dan damai. Kita bisa hidup berdua di sana.” Yu berkata, melangkah masuk lebih dulu ke pintu tersebut. Dia mengulurkan tangan padaku sambil tersenyum lebar.

Aku ikut tersenyum kecil, menerima uluran tangan Yu. “Tentu aku akan mengikutimu. Kita ‘kan teman”

Kami pun masuk ke dalamnya.

**

Alat monitor jantung yang terletak di samping cowok nan terbaring di atas kasur itu menunjukkan garis lurus.

END

Penulis
Pangeran_Gulali

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang