8. Back to School

726 20 0
                                    

Manik cokelatku tidak pernah bisa lepas dari apa yang kutargetkan. Sekarang pun, aku terus memerhatikan huruf-huruf yang saling menyambung itu, meski hanya sedikit yang dapat dipahami oleh otakku.

Aku tidak menyalahkan kapasitas otakku. Aku juga tidak menyalahkan guruku yang berbicara dengan kecepatan cahaya. Apalagi kepada orang tuaku. Aku tidak akan menyalahkan mereka. Yang aku salahkan hanyalah kenapa aku harus terkurung selama delapan jam oleh pagar, gedung bertingkat tiga ini, dan ruang kelas yang memuat dua puluh kursi dan meja.

Apa ini adalah hukuman untuk seluruh umat manusia? Seandainya, Taman Eden masih bisa kutapaki, tidak mungkin aku bersusah payah seperti ini.

Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan beliau karena memakan apel. Kami semua juga terbuai dengan contekan. Mungkin, hanya beberapa orang yang tidak menyontek, salah satunya teman sekelasku.

Dia bukanlah murid dengan otak paling encer di sekolah, tapi murid yang selalu mengerjakan tugas tepat waktu, belajar setiap pulang sekolah, dan bermain di kala senggang. Dia selalu menunjukkan senyumnya ketika kami berpapasan. Memang tidak seindah primadona, tapi layak untuk diperjuangkan.

E-ehem!

A-aku hanya mengatakan yang sejujurnya.
“Rian, jawab pertanyaan nomor tiga!” perintah bapak berkumis yang belum lama ini menambahkan jumlah lilinnya hingga menjadi dua kali lipatnya usiaku.

Aku membaca soalnya dan segera menjawabnya. Mendadak, seisi ruangan menatapku. Aku mengedarkan pandangan dan semuanya sampai membuka mulutnya lebar-lebar.

Memangnya ada yang salah dengan jawabanku?

“Rian! Lo jenius, ya?! Gak ada yang bisa menjawabnya, lho! Jadi, selama ini lo cuma berpura-pura bodoh ya?” kata teman sebangkuku. Kini aku yang membuka lebar mulutku.

Aku memandang guruku yang kini menjulurkan kedua jempol tangannya padaku. Seriusan, aku tidak seharusnya mengatakan ini, tapi beliau terlihat aneh. Maafkan saya, Pak!

“Rian, temui Bapak sepulang sekolah ya! Baiklah, kelas hari ini selesai,” ucapnya dan keluar dari kelas dua jurusan yang dibenci karena kerumitannya. Aku sendiri tidak tahu kenapa memilih jurusan ini.

Tepat Pak Tatang keluar, teman-teman sekelas langsung mengerubungiku. Aku sampai sesak napas karena meja dan kursiku didorong. Mereka ini tidak punya perasaan ya!

“Rian, ajarin gua yang ini dong!” Itu kan pelajaran kelas satu!

“Rian, kalau yang ini udah benar belum hasil turunannya?” Oi oi, kita belum belajar itu!
“Rian, kerjain pr gua dong!” Ini manusia kurang ajar dari desa mana, hah?

“Rian, jangan lupa bayar hutang!” Cih, ketahuan!

“Rian, minta nomor adikmu!” Mimpi pun, gak akan kuberikan!

“Rian, aku suka sama Nisa!” Kasih tahu si Nisa, bukan aku woy!

“Sudah! Kalian makin aneh-aneh pembicaraannya! Aku juga butuh istirahat.” Para pengerumun langsung terdiam. Mereka pun meminta maaf dan satu-persatu pergi.

Aku memasukkan buku catatanku ke dalam tas dan mengeluarkan kotak bekal yang sudah dibuatkan oleh ibuku. Aku membuka tutupnya dan menutup mulutku kemudian.

Ibu ... akhirnya memasakkan aku nasi goreng seafood! Uwoooh!

Aku pun berdoa terlebih dahulu untuk makanan tersebut, kemudian mulai menyendok nasi goreng itu. Saat nasi itu berada di mulutku, aku mengunyahnya. Ya, rasanya ... biasa saja ....

Aku tidak kecewa. Ibuku yang baru memulai debutnya menggunakan pisau dan spatula, mana bisa menghidangkan makanan beraroma sedap yang akan membuat siapa pun meleleh. Makanannya layak dicerna saja, aku sudah bersyukur. Jadi, aku tidak akan meminta lebih untuk ibuku yang pas-pasan dalam memasak itu.

Ketika aku mau memasukkan sesendok nasi, suara teman sekelasku menghentikanku. “Rian, aku tahu kamu pintar! Kamu cuma terlalu malas saja.” Aku mendongak dan memandang Mia di depanku. Dia tersenyum manis seperti biasa.

Aku menaruh kembalu sendok yang kugenggam ke kotak. “Hahaha, aku kan sudah mengulang satu tahun, tentu aku bisa menjawabnya. Pak Tatang terlalu berlebihan.”

Mia menunduk. Sepertinya dia merasa bersalah mengungkit pengulangan kelasku. Aku tahu itu salahku yang terlalu malas, jadi aku tidak akan menyalahkan Mia.

“Kenapa mukamu begitu? Aku gak apa-apa, kok!” kataku sambil tersenyum. Mia masih terlihat menyesal.

“Tenanglah, aku akan berusaha di tahun ini.” Mia mengangkat kepalanya dan maniknya kembali bersinar.

“Semangat ya, Rian!”

“Makasih ya.”

Mia pun kembali ke bangkunya. Aku masih menatap tubuh kecilnya dari kejauhan. Beberapa saat kemudian, aku tersadar. Aku pun kembali menyantap makan siangku, tapi lebih lambat dari sebelumnya.

Aku mulai mengenang kembali kejadian dulu, saat aku berhenti sekolah karena kematian ayah. Saat itu, aku mencoba untuk menggantikan ayah bekerja, tapi ibu melarangku. Dia terus mengatakan betapa pentingnya sekolah untukku.

Dulu, keluarga ibuku tidak memiliki uang yang cukup untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah yang lebih tinggi.  Ibuku pun hanya sebatas lulusan SMP dan membuatnya kesulitan mencari penghasilan untuk menopang keluarga. Ibu pun bekerja sebagai pembantu rumah dimana-mana.

Aku tak tahan melihatnya pulang malam dengan wajah pucat, makanya aku berusaha membantunya. Tapi, ibu memarahiku sambil meneteskan air matanya. Sebagai seorang anak yang melihat ibunya menangis, pasti akan merasa perih juga. Aku tidak ingin ibu menangis, sehingga aku kembali ke sekolah.

Meski begitu, aku tetap membantu ibu dengan bekerja sampingan setiap akhir pekan dan menjual barang-barang yang masih layak dipakai. Aku juga mulai menghemat uang dan hanya membeli barang yang aku butuhkan saja. Kali ini, aku belajar lebih giat karena aku bertujuan mengambil SBMPTN.

Ketika kuliah nanti, waktu untuk bekerja pasti lebih banyak, sehingga ibuku tidak perlu menyiksa dirinya dengan pekerjaan dan aku bisa meringankan beban ibuku di usia tua nanti.

Ya, aku memang sudah bertekad, tapi menjalankannya tidak semudah itu. Terkadang, aku ingin bermain setelah pulang sekolah bersama teman yang lain. Aku ingin, tapi kutahan dan pulang ke rumah untuk belajar. Rasanya mungkin seperti ketika perempuan ingin diet.

Ting tong

Bel menyudahi istirahat 30 menit kami. Para murid yang di luar, mulai memasuki kelas. Aku pun menutup kotak bekalku dan memasukkannya ke dalam tas. Bu Vivi masuk dan mulai menerangkan metabolisme manusia.

Aku terus mendengarkan penerangan dari Bu Vivi dan tidak terasa 90 menit pun berlalu. Pelajaran berikutnya adalah sejarah. Karena ini sudah melewati jam satu ditambah suara monoton sang guru, banyak anak-anak menguap dan mulai menopang dagunya. Aku sendiri sedang berusaha keras untuk tidak memejamkan mata dengan menampar pelan pipiku.

Suasana ini pun akhirnya berakhir dengan bunyi nyaring bel pulang sekolah. Semua langsung terbangun dari mimpi singkatnya. Aku segera membereskan bukuku dan menyandang tasku di pundak.

Oh iya! Hampir saja aku pulang. Pak Tatang kan menyuruhku untuk menemuinya. Aku memutar arahku menuju ruang guru.

Di jalan, aku berpapasan dengan Pak Tatang dan beliau pun menyuruhku untuk menepi. Sepertinya pembicaraannya tidak begitu penting.

“Nak Rian nilaimu mulai meningkat. Bapak sempat berpikir kamu masih galau,” ucap Pak Tatang sambil tersenyum. Tidak lebar seperti biasanya, tapi aku bisa merasakan ketulusannya. “Semangat terus, Nak! Kamu ingin membantu ibumu, kan?”

“I-iya, Pak. Terima kasih ya, Pak!” Pak Tatang pun pergi setelah menitip salam untuk ibuku.
Aku juga mulai melangkah menuju gerbang sekolah. Langkahku terasa lebih ringan, daripada berangkat tadi.

Sekolah ... kurasa tidak seburuk itu.

Fin.

Penulis
s-elEVEN

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang